Sabtu, 15 Oktober 2016

Dimas Kanjeng dan Gaya Hidup Instan


            Dimas Kanjeng ramai dibicarakan. Keberadaannya mampu menghipnotis masyarakat luas. Khalayak terkejut-kejut. Seorang seperti Dimas Kanjeng bisa membohongi ribuan orang dari berbagai kalangan. Bahkan tokoh nasional sekelas Marwah Daud Ibrahim turut jadi korban. Dan anehnya, sebagian mereka tak merasa tertipu. Mereka masih mempercayai yang bersangkutan.
          Seorang pengikut mengatakan, Dimas Kanjeng akan menyelamatkan ekonomi umat. Sebab itu ia berharap aparat hukum melepaskannya dari semua tuntutan. Bahwa untuk kepentingan bangsa dan negara,  Dimas Kanjeng sebaiknya dilepas. Bukan lagi mengasuh padepokan, melainkan direkrut menjadi pegawai pemerintah. Biar pemerintah nggak repot-repot memungut pajak. Cukup menggandakan uang yang sudah ada. Lucu bukan?
          Mungkin sebagian dari kita bertanya, sehebat apa Dimas Kanjeng sampai bisa mencuci otak orang seperti itu. Bagi saya, Dimas Kanjeng hanya penipu biasa. Tak ada yang spesial dalam menjalankan aksinya. Dia (seperti yang lain dalam meninpu) menggunakan simbol-simbol agama dalam memoles aksi. Justru saya melihat faktor gaya hidup instan masyarakat yang akut menjadi persoalan utama dalam kasus ini.
          Gaya hidup instan sering kita saksikan. Seorang artis menjadi terkenal hanya karena mengaku pernah menjadi selingkuhan politisi di Senayan. Tak perlu capek-capek, ia menjadi ngetop. Seorang pegawai (negeri atau swasta) karena tuntutan pekerjaan membeli ijazah tanpa berlama-lama melakoni kuliah. Seoarang petani menjual sawah  untuk berinvestasi pada perusahaan yang menawarkan penghasilan berlipatganda sekadar memotong jalan menjadi kaya. Ia cukup duduk manis di rumah, uang masuk ke rekeningnya setiap bulan.
          Demikian juga bagi mereka yang ingin kaya, kiranya tak perlu lagi repot-repot merintis bisnis dan melakukan ekspansi usaha. Cukup mengikuti ritual, kekayaan diharapkan bisa datang cepat. Untuk tujuan seperti ini Dimas Kanjeng dibutuhkan. Mereka ingin kaya tanpa usaha. Mereka bermimpi memilki uang banyak tanpa harus berkeringat.
          Ya, hidup instan menjadi pilihan banyak orang. Hidup instan menjadi gaya hidup sebagian besar masyarakat kita. Memilih jalan pintas merupakan sesuatu yang lumrah. Tidak salah. Walau untuk itu, hukum diabaikan. Norma agama, sosial dibuang. Ada banyak kisah terkait dengan jalan instan yang diambil oleh sebagian orang. Selain cerita keberhasilan, tak sedikit dari mereka yang menemui kondisi yang berkebalikan dari yang diharapkan.
          Jalan instan sejatinya bertujuan meringkas ruang dan waktu. Fokus pada hasil dan mengabaikan proses. Tapi hidup instan telah menghilangkan nalar kritis dari seseorang. Selain itu, mereka yang telah dirasuki pola pikir instan akan selalu menyederhanakan sesuatu hingga tak lagi memiliki kemampuan dalam menghadapi berbagai masalah. Selain itu kredibilitas dan integritas seseorang riskan tergadaikan.
Kenapa memilh instan?
          Menurut hemat saya, memilih jalan instan disebabkan beberapa hal. Pertama, rendahnya etos kerja. Etos kerja bangsa kita dikenal sangat lemah. Padahal seperti ditegaskan Jansen Sinamao etos kerja adalah kunci dan fondasi keberhasilan suatu masyarakat atau bangsa. Etos juga merupakan salah satu syarat bagi upaya peningkatan kualitas tenaga kerja atau SDM, baik pada level individu, organisasi maupun sosial.
Tidak hanya lemah, etos kerja masyarakat kita dikenal buruk. Dalam buku Manusia Indonesia, Mochtar Lubis (1977) menegaskan etos kerja orang Indonesia adalah (1) Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati; (2) Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam; 
(3) Berjiwa feodal. Gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi;  (4) Percaya takhyul. Gemar hal keramat, mistis dan gaib; (5) Berwatak lemah. Kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif, yaitu (6) Artistik; dekat dengan alam. Dengan melihat keadaan saat ini, ini merupakan kenyataan pahit, yang memang tidak bisa kita pungkiri, dan memang begitu adanya.
Maka, dalam meraih kesuksesan masyarakat lebih memilih jalan pintas. Bagaimana hidup sejahtera tanpa harus usaha. Bagaimana bisa kaya raya tanpa bekerja. Bagaimana bisa banyak uang dengan hanya berpangku tangan. Ini gaya hidup instan, dipilih mengabaikan kerja keras.
Kedua, mengabaikan akal sehat. Dalam logika akal sehat setiap sesuatu memiliki sebab akibat. Setiap sesuatu ada prosesnya. Hujan diawali dengan mendung. Kesuksesan dan keberhasilan diraih dengan kerja keras. Keuntungan diperoleh dengan usaha. Begitu seterusnya. Mengesampingkan sebab (baca:proses) pada dasarnya adalah mengabaikan akal sehat. Dan hidup instan merupakan akibat dikesampingkannya akal sehat.
Ketiga, rapuhnya karakter, mental dan kepribadian. Sikap tanggung jawab, kejujuran, kerja keras dan disiplin menjadi sesuatu yang langka. Rasa percaya diri, tekad bulat telah mengendor dalam diri setiap dari kita. Kesabaran, tahan banting, serta ulet menghilang dari diri kita. Ketika mental, karakter dan kepribadian rapuh, memilih jalan pintas, hidup instan tak terhindarkan.
Sebab itu, pendidikan atau penguatan karakter baik yang dilakukan oleh sekolah, keluarga atau masyarakat luas mutlak dibutuhkan. Revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi tak boleh berhenti di tempat. Harus diteruskan. Sehingga bangsa kita menjadi tangguh dan kuat. Tidak cengeng, terlebih memilih yang serba instan.
Akhir kata, budaya instan dalam segala hal kudu ditinggalkan. Raih kesuksesan dengan kerja keras. Mimpi setinggi langit memang sah. Tapi iringi mimpi itu dengan usaha. Jangan sekadar mimpi. Kemudian duduk manis mengharap bulan jatuh dari langit. Berkhayal jadi orang kaya raya itu boleh. Maka rajinlah bekerja untuk mewujudkan keinginan itu. Wa Allahu Alam



         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar