Sabtu, 15 Oktober 2016

Politik Akrobatik Pilgub DKI


          Tak bisa dipungkiri, Pilgub DKI Jakarta adalah pilkada 2017 yang “terseksi”. Terseksi dalam pengertian banyak menarik perhatian publik. Tak hanya di Jakarta, khalayak ramai dalam kurun waktu cukup lama memperbincangkannya. Dari sekian banyak tema, saya ingin melihatnya dari sisi politik. Saya menyebutnya sebagai politik akrobatik.
          Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akrobat diartikan sebagai kemahiran dalam melakukan berbagai ketangkasan (seperti berjalan di atas tali, naik sepeda beroda satu, menerbangkan pesawat udara). Akrobatik dalam wikipedia.org dimaknai  sebagai penampilan luar biasa yang melibatkan keseimbangan, ketangkasan, dan koordinasi motorik. Hal ini dapat ditemukan pada banyak seni pertunjukan, acara olahraga, dan seni bela diri.
          Kenapa politik akrobatik? Sebab saya melihat di Pilkada  DKI Jakarta para politisi menampilkan sikap yang tak lazim. Mereka cepat berubah. Mereka menghalalkan segala cara. Merka saling melempar isu, fitnah. Mereka tak pernah lelah menyerang lawan. Di awal, hampir semua politisi menyerang petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sampai pada akhirnya membentuk tiga poros yang dikomanandoi tiga tokoh nasional yakni Megawati Soekarno Putri, Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyona (SBY).
Politik tak lain adalah cara menggapai kekuasaan. Dalam berpolitik segala hal dapat dimainkan, digunakan. Agama yang sakral sekalipun kerap dijadikan alat politik. Tapi, di Pigub DKI  tidak sekadar itu. Saya melihatnya lebih jauh lagi. Politisi tak sekadar  cepat berubah. Mereka menjilat ludahnya sendiri tanpa malu. Mereka berbalik arah, menikung di tengah jalan. Menyerang kanan-kiri. Kawan jadi lawan, juga sebaliknya. Poiitisi di Pilgub DKI laksana para akrobatik yang memainkan aksi di tengah kerumunan massa. Begitu cepat, lincah gerak mereka. Hampir sepanjang tahun 2016 panggung politik di Jakarta memanas, bergelora dan  membara.
Akrobat politik
          Coba perhatikan aksi akrobatik para politisi di  Pilgub DKI Jakarta. Pertama, Ahok, PDIP dan Teman Ahok. Karir politik Ahok dimulai dari Belitung sebagai Bupati. Ahok sempat kalah dalam Pilgub Bangka Belitung. Gubernur Jakarta itu pernah aktif di Partai Indonesia Baru (PIB). Lompat ke Golkar, Ahok menjadi anggota DPR RI. Tahun 2012 bergabung dengan Gerindra dipasangkan dengan Jokowi memenangkan Pilgub DKI. Kemudian menjadi gubernur setelah Jokowi menjadi Presiden. Dan akhirnya, Ahok pun hengkang dari Gerindara karena berbeda pendapat dengan partai tersebut soal pemilukada.
          Sebagai politisi non partai, Ahok pernah bermaksud maju dalam Pilkada Jakarta lewat jalur independen bersama komunitas relawan, Teman Ahok. Sukses menggalang 1 juta,  Teman Ahok sempat menjauhkan Ahok dari PDIP. Ahok terpaksa berhadapan dengan hampir semua partai politik termasuk PDIP. Konforntasi Ahok bersama Teman Ahok dengan PDIP pun meruncing.
          Akhirnya, Ahok pun mengubah haluan mengurungkan niat menggunakan jalur independen memilih partai. Teman Ahok mengalah, merelakan. Bersama Nasdem, Hanura, Golkar dan PDIP, Ahok didaftarkan sebagai Cagub bersama Djarot Saepul Hidayat dari PDIP.
          Lawan menjadi kawan. Edi Marsudi seteru Ahok di DPRD kini menjadi ketua tim sukses Ahok-Djarot. Ketua DPRD Jakarta yang pernah menuduh Ahok telah melakukan deparpolisasi tersebut sekarang harus memikul tanggungjawab mensukseskannya menjadi Gubernur kembali. Tak hanya Edi Marsudi,  politisi PDIP lain seperti Masinton Pasaribu yang semula menyerang sang petahana kudu tunduk pada keputusan partai, mensukseskan Ahok menuju DKI-1. Demikian juga dengan Teman Ahok. Sekarang mereka bergandengan tangan dengan partai-partai yang sebelumnya dikritisi.
          Kedua, Anis Baswedan, politik santun dan mafia. Anda pasti terkejut menyaksikan Anis Baswedan diusung oleh Gerindra dan PKS sebagai Calon Gubernur bersama Sandiago Uno. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dikenal santun itu sekarang berjuang menuju DKI-1 bersama mereka yang dulu menjadi lawan politiknya di Pilpres 2014.
          Anda pasti ingat, sebagai juru bicara Jokowi-JK bagaimana keras Anis menyerang Probowo. Dalam sebuah kesempatan ia menegaskan kenapa pilihannya jatuh ke Jokowi? Sebab  Jokowi tidak memiliki beban moral. Prabowo dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang memiliki sejumlah beban moral. Lebih dari itu, Anis menuduh bahwa Prabowo didukung oleh para mafia karena Capres nomor urut satu itu bagian dari mereka. Sekarang Anis telah berdamai dengan tuduhannya sendiri. Tanpa malu, ia menjilat ludahnya sendiri.
          Sekejap Anis Baswedan dinilai khalayak berubah. Dalam waktu singkat dibalik kata-kata santu Anis meluncur politik kotor. Demi ambisi meraih DKI-1, Anis mengabaikan peran Ahok tentang bersihnya sungai di Jakarta. Ia beragumentasi bahwa gagasan sungai bersih dicetuskan Gubernur sebelumnya, Fauzi Bowo. Anis Baswedan sekarang bersekutu dengan mereka yang dulu dituduhnya sendiri sebagai mafia menjatuhkan Ahok, merebut kursi DKI-1.
          Ketiga, Agus dan SBY. Agus Yudhoyono dicalonkan bersama Sylviana Murni oleh Koalisi Cikeas yang terdiri Partai Demokrat, PPP, PAN, dan PKB. Kehadiran Agus di panggung politik Jakarta mengejutkan banyak pihak. Pasalnya sebelumnya ia merupakan anggota TNI aktif berpangkat infantri. Publik bertanya, kenapa SBY mengorbankan karir anaknya di militer? Bukankah ia prajurit yang cerdas, karirnya juga bagus?
          Pertanyaan di atas bukan tanpa sebab. Pasalnya, SBY pada tahun 2009, saat memberikan pengarahan kepada para perwira lulusan akademi TNI dan Polri yang bakal dilantik mengingatkan agar para prajurit TNI sebaiknya tidak bercita-cita menjadi kepala daerah mulai dari tingkat bupati, walikota, atau gubernur. Seyogianya, cita-cita yang tertanam dalam sanubari para prajurit adalah menjadi jenderal, laksamana, atau marsekal. Nah, Kenapa sekarang SBY mengingkari ucapanya sendiri? Apa ucapan dan nasihatnya hanya berlaku untuk prajurit lain, bukan untuk anaknya?
Tidak haya itu, SBY juga telah mengingkari janjinya pada Yusril Ihza Mahendra guna mengusungnya sebagai Cagub. Mantan Mensegneg yang tak lain pengacara hebat itu hanya bisa gigit jari. SBY seperti halnya Ahok, Anis juga politisi lain. Mereka adalah para politisi ulung yang pandai berakrobatik. Pandai berkata-kata, pandai bersilat lidah.
Pelajaran buat kita
          Kalau politisi berakrobatik mengedepankan kepentingan dan ego diri dan kelompoknya, kenapa kita masyarakat awam ikut-ikutan? Membela mereka mati-matian. Menyerang orang lain yang bersebrangan. Dan sayangnya lagi, jika para politisi kawan-lawan sangat cair kapan saja bisa berubah, kita justru bermusuhan selamanya. Para politisi bisa sangat cepat berpindah haluan sementara rakyat di bawah tetap setia dengan apa yang diyakini. Jadi ironis sekali, jika rakyat bermusuhan karena urusan politik akrobatik Pilgub DKI. Lebih sayang lagi jika masyarakat luar Jakarta yang melakukannya. Apa kepentingan mereka?
          Walhasil, mendukung calon kepala daerah, partai politik, atau caleg itu wajar dan lumrah. Yang tak wajar itu kita bermusuhan karena mempersoalkannya. Bagi mereka (politisi-partai) kawan-lawan sangat cair, kenapa kita membeku dalam pertentangan, permusuhan dan konflik?Wa Allahu Alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar