Sabtu, 29 Oktober 2016

Menghadirkan Generasi Berkarakter


            Belum lama, teman saya bercerita. Setelah menandatangani fakta integritas, ia disodori sebuah kertas bertuliskan daftar uang syukuran. Ia diminta menuliskan nominal yang akan deberikan sebagai ungkapan syukur, lulus serangkaian proses menjadi kepala sekolah. Teman saya tersebut mengikuti seleksi kepala sekolah sejak setengah tahun yang lalu dengan berbagai tahapan. Sekarang, katanya tinggal menunggu SK dan pelantikan.
          Kalau cerita di atas benar sungguh memilukan hati. Juga lucu. Bagaimana tidak, setelah tanda tangan fakta integritas justru dilakukan pungli. Pungli yang sedang gencar diperangi pemerintah nyatanya tak membuat jerah oknum bermental korup dalam birokrasi pemerintahan. Cerita itu juga memunculkan tanya, seriuskah pemerintah (dari pusat hingga daerah) dalam memberantas segala tindakan beraroma pungli?
          Cerita tersebut meyakinkan saya bawa pungli, korupsi atau sejenisnya merupakan permasalahan karakter bangsa ini. Segala upaya pemerintah memberantasnya akan tak efektif jika tak diiringi perubahan mental bangsa ini. Revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi sungguh nyata dibutuhkan. Persoalanya, bagaimana kita melakukannya?
          Pentingnya karakter atau dalam terminologi Islam disebut akhlak sejatinya telah lama diajarkan pada kita, umat Islam khususnya. Nabi Muhamad SAW sudah mengaskan, aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Sabda nabi Muhamad SAW tersebut sekaligus menegaskan misi para nabi dihadirkan ke bumi, yakni memperbaiki karakter atau akhlak manusia.
          Menurut hemat saya, revolusi mental itu kudu dilakukan dengan pendidikan, yakni menanamkan karakter baik kepada anak cucu kita sejak dini. Pentingnya Pendidikan karakter memang sedang didengung-dengungkan oleh pemerintah dan para pendidik. Tapi yang jadi soal, siapkah dunia pendidikan kita memikul tugas berat itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, pemerintah harus membenahi secara terus menerus sistem pendidikan di tanah air. Termasuk menyiapkan para pendidik profesional yang mampu menghadapi tantangan dan tuntutan zaman. Ya, pendidik yang selalu belajar dan belajar. Dalam istilah Anis Baswedan disebut guru pembelajar.
Pendidikan  Karakter
          Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave”(Ryan and Bohlin, 1999: 5). Kata“to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987: 214).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, karakter diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir.(Koesoema, 2007: 80)
          Muhammad Alwi (2014) memaknai pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral, dan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memeihara yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari  dengan sepenuh hati.
          Menurut Piaget (1967), muatan pendidikan karakter secara psikologis harus mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour  (pengetahuan bermoral, perasaan bermoral, dan prilaku bermora) atau dalam arti utuh sebagai moralitas mencakup moral judgment dan moral behaviour, baik yang bersifat prohibition-oriented morality maupun pro-social morality.
          Moral reasoning diartikan sebagai upaya kita memecahkan masalah moral dengan menggunakan logika sehat. Dalam berlogika secara sehat seseorang harus mampu memahami dengan baik masalah yang sedang dihadapinya sebelum memutuskan pemecahan masalah seperti apa yang akan diambilnya. Setelah masalah teridentifikasi dengan jelas, orang tersebut harus ber-reasoning:yaitu membuat pertimbangan-pertimbangan (pertimbangan hukum, agama, dampak, lingkungan dll) dengan cermat. Secara teori, semakin banyak pertimbangan, semakin baik keputusan yang akan diambil.
          Moral feeling atau perasaan bermoral merupakan kondisi psikologis seseorang ketika merasakan baik-buruk sesuatu. Perasaan itu muncul bisa jadi karena pengetahuan yang dimilikinya tentang baik atau buruknya sesuatu. Moral feeling juga hadir disebabkan kebiasaan seseorang memilih sesuatu yang baik, menghindari yang buruk. Perasaan bermoral berkaitan dengan emosi. Ketika anak berbuat tidak benar menimbulkan rasa bersalah, dan ketika anak mampu menyenangkan orang lain timbul rasa bahagia.
          Sedangkan moral behaviour adalah prilaku yang diterima oleh masyarkat. Moral behavior berbentuk tindakan dan perbuatan. Dalam bahasa agama moral behviour disebut sebagai akhlak mulia.
Keteladanan
          Dalam pendidikan karakter, pendidik diminta menampilkan keteladanan. Keteladanan sangat berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak. Dan ini menjadi PR kita bersama. Pasalnya, negeri ini miskin teladan. Para pendidik sebagai ujung tombak wajib menampilkan akhlak mulia. Mereka akan dicontoh oleh peserta didik. Jika mereka tak mampu menemukan teladan pada guru, kepada siapa lagi anak kita belajar menjadi manusia berkarakter? Guru bukan hanya sosok pengajar yang hanya pandai menyampaikan materi pelajaran. Lebih dari itu,  seorang guru wajib memberikan contoh dengan tingkah laku atau perbuatan.
          Pepatah mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlar. Ini menunjukkan besarnya pengaruh seorang guru untuk menjadi   teladan   di lingkungan   sekolah   maupun   di   luar   sekolah.   Apa   yang dilakukan oleh guru akan ditiru oleh siswa. Keselarasan antara kata dan tindakan   dari   guru   akan sangat berarti dalam membentuk karakter anak didik.
          Singkat kata, mengutip firman Allah SWT (QS:61:02), Hai orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan, mari kita semua (pendidik, orang tua, masyarakat luas) berusaha menjadi teladan yang baik bagi anak cucu kita. Keteladan berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak. Jika anak-anak kita berkarakter maka akan hadir generasi baru, generasi Indonesia yang berkarakter. Jika generasi berkarakter telah hadir, saya yakin penyakit sosial seperti pungli atau sejenisnya tak akan ada lagi.Wa Allahu Alam



          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar