Sabtu, 15 Oktober 2016

Bangun Budaya Literasi dari Rumah


          Jika masuk rumah orang kemudian kita tanya, apa bisa numpang salat? Jawabannya pasti bisa. Rumah dalam masyarakat Indonesia biasa disiapkan ruangan khusus untuk salat. Menyediahkan tempat salat dalam rumah seperti kewajiban. Rumah menjadi tak sempurna jika tak memilki tempat salat. Tempat salat menjadi bagian pokok rumah seperti halnya kamar tidur.
          Tapi coba anda tanya, apa ada buku bacaan? Atau apa ada ruang baca? Saya yakin jawabanya tidak ada. Mugkin seribu satu rumah yang menyediahkan ruang baca terlebih perpustakaan yang menyimpan  sejumlah koleksi buku. Ini fakta. Masyarakat kita belum menganggap penting buku bacaan, apalagi perpustakaan dalam rumah. Budaya literasi bangsa kita masih sangat lemah.
          Sebuah laporan penelitian menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Penelitian di bidang literasi yang dilakukan oleh  Central Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
          Lebih jauh UNESCO menyebutkan persentase minat baca bangsa Indonesia hanya 0,001 persen. Dari persentasi tersebut dapat dipahami bahawa dari 1000 orang hanya satu yang terbiasa membaca. Ini sangat minim sekali. Juga memprihatinkan. Minat baca bangsa kita masih sangat lemah.
Membaca fakta dan data di atas, kita semua harus bekerja keras dalam mendorong budaya baca atau membangun budaya literasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Balai Pustaka, yang dimaksudkan dengan literer adalah (sesuatu yang) berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan menulis dan membaca masyarakat dalam suatu Negara.

Dalam kajian kontemporer, Kirsch dan Jungeblut (1993) dalam bukunya Literacy: Profiles of America’s Young Adults, seperti dikutip Mutia Zata Yumni literasi dipahami sebagai  kemampuan seseorang dalam memanfaatkan infiormasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas. (http://www.kabarindonesia.com/)
Mulai dari rumah
          Dari mana kita mulai? Dalam membangun budaya literasi, menurut hemat saya kudu dimulai dari rumah. Sebab rumah atau keluarga merupakan sekolah atau lembaga pendidikan pertama dan utama. Peran keluarga sangat penting dalam mencetak sebuah generasi berbudaya literasi.
          Idris Apandi (2016) mengilustrasikan rumah ideal sebagai tempat berkumpulnya keluarga inti yang meliputi ayah, ibu, anak, atau ditambah anggota keluarga yang lainnya. Selain tempat berkumpul, rumah juga merupakan tempat berlindung dari cuaca panas, terik, dan binatang buas. Rumah yang aman, nyaman, penuh kedekatan dan kehangatan dalam hubungan anggota keluarga tentunya sangat diharapkan oleh semua orang. (Kompasiana.com)
          Nah, rumah seperti di atas mustinya bisa berperan lebih dalam membangun budaya literasi. Dalam rumah, orang tua harus menjadi teladan. Orang tua kudu mencontohkan semua hal yang baik termasuk membaca. Sebelum memerintahkan anak membaca buku, orang tua sudah terbiasa dulu membaca. Pemahaman dari membaca diceritakan, dikomunikasikan, didiskusikan ke anak. Ketika mereka mulai tertarik baru memerintahkan mereka untuk membaca. Anak tak mungkin akan menolak. Justru sebaliknya, mereka akan bersemangat mencari buku bacaan yang direkomendasikan oleh orang tua.
          Kemudian rumah juga membutuhkan perpustakaan. Paling tidak ruang membaca. Kewajiban orang tua untuk menyisihkan uang belanja guna membeli buku bacaan untuk keluarga. Buku di Indonesia memang tidak murah. Mungkin lebih tepat menyebutnya sangat mahal. Di sini kelihaian orang tua dalam mengelola keuangan keluarga menjadi penting. Tapi saya yakin jika ada kemauan dan tekad jalan keluar pasti selalu ada. Sangat disayangkan bagi mereka yang secara ekonomi lebih namun tak ada tekad untuk itu. Mereka lebih memilih membelanjakan uangnya untuk yang lain dibanding untuk buku bacaan.
          Sediahkan fasilitas membaca sesuai kemampuan. Jika menghadirkan ruangan khusus tak mampu buatlah sudut baca dalam rumah. Pajang buku yang dimilki. Fasilitas memang penting, tapi yang terpenting adalah membakar semangat anak-anak dan anggota keluarga yang lain dalam membaca buku. Fasilitas lengkap pun akan tak bermanfaat banyak jika spirit budaya literasinya lemah.
          Bacakan cerita, dongeng atau apa saja untuk si kecil yang belum dapat membaca. Membacakan sesuatu untuk anak sangat bermanfaat. Kurangi kegiatan menonton. Menonton TV yang berlebihan misalnya tak baik untuk perkembangan budaya literasi anak-anak. Penelitian terbaru mengungkap anak usia balita yang terekspose dengan banyak bacaan di rumah memperlihatkan pola aktivasi otak yang berbeda dengan anak yang jarang dibacakan buku cerita. Ini artinya, membacakan buku cerita kepada anak kecil dapat membantu menyiapkan otak mereka untuk belajar membaca. American American Academy of Pediatrics merekomendasikan agar orang tua yang memiliki anak di bawah usia tiga tahun mendongengi bayinya sebagai bentuk stimulasi belajar tahap awal. (http://www.republika.co.id/)
          Kemudian ajaklah anggota keluarga ke tokoh buku. Dekatkan mereka dengan buku. Tanamkan kegemaran membeli buku. Sebelum berangkat, ajaklah mereka mendiskusikan tema-tema bacaan yang dibutuhkan. Hadirkan tema-tema yang menarik. Di sini penguasaan orang tua terhadap permasalahan yang lagi populer atau buku baru dibutuhkan. Sehingga ketika sudah sampai di tokoh buku, mereka lebih bersemangat mencari buku yang diinginkan.
          Bisa juga mengajak mereka ke perpustakaan terdekat. Ke perpustakaan sekolah, atau perpustakaan daerah misalnya. Tujuannya tak lain untuk mendekatkan anak-anak ke sumber bacaan sekaligus menanamkan kecintaan mengunjungi perpustakaan.
          Lebih jauh, anak pada batas tertentu dilatih menuliskan hasil bacaan. Belajar menulis wajib dibiasakan sedini mungkin. Orang tua kemudian menyediahkan media untuk memasangnya. Buat mading di sudut rumah. Menampilkan karya anak sangat baik bagi motivasi mereka guna terus berkarya dan berkarya.  Maka dari rumah diaharpkan akan lahir generasi penulis.
          Singkatnya, budaya literasi harus dibangun. Membangunya dimulai dari rumah kita masing-masing. Bukankah rumah adalah sekolah pertama dan utama? Tak ada alasan bagi kita, bangsa Indonsia  untuk tidak bergerak, tidak berbuat sesuatu ketika budaya literasi tertinggal jauh dengan bangsa lain. Wa Allahu Alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar