Selasa, 26 Mei 2015

JANGAN PILIH SEKOLAHNYA ROBOT



         
Menentukan dan memilih sekolah buat anak bukan hal mudah di tengah arus informasi yang beragam dan serba cepat. Hai ini yang sedang dirasakan para orang tua hari-hari ini (setelah UN untuk semua tingkatan telah dilaksanakan) untuk memenuhi kewajiban memasukan anak-anak mereka ke sekolah. Pasalnya hampir semua sekolah atau lembaga mengklaim dirinya sebagai sekolah terbaik. Mereka menawarkan berbagai fasilitas, program unggulan, guru profesional, lokasi strategis mudah terjangkau, lingkungan kondusif cocok sebagai tempat belajar,  serta pendekatan pembelajaran yang akan digunakan. Ditambah lagi tidak sedikit lembaga sekolah yang dikelola dengan orientasi bisnis yang mengedepankan keuntungan layaknya sebuah perusahaan. Persainagan di antara lembaga sekolah menjadi hal yang tak dapat terhindarkan. Orang tua dituntut jeli dan teliti dalam menerima setiap informasi yang berkaitan dengan penerimaan siswa baru (PSB). Bila tidak hati-hati bisa jadi orang tua akan salah pilih sekolah. Dan ini akan berpengaruh pada perkembangan belajar anak.
          Menurut hasil penelitian Munif Chatib (2009), banyak sekolah dinegeri ini yang jauh dari ideal. Beliau menyebutnya dengan istilah sekolahnya robot.  Yaitu sekolah yang tidak memperlakukan peserta didiknya selayaknya manusia baik dalam proses belajar mengajar, target keberhasilan sekolah, sampai pada sistem penilaiannya. Sekolah semacam itu akan membuat peserta didik tertekan saat belajar. Di sekolah merasa di penjara. Kelas ibarat sel tahanan yang mengekang. Gurunya dikenal keras, galak, killer sebutan lainnya. Sekolah model ini jelas tidak representatif untuk belajar anak-anak kita.
Sekolahnya manusia
          Berlawanan dengan sekolahnya robot, Munif Chatib menyebutnya sebagai sekolahnya manusia. Yaitu sebuah istilah untuk sekolah-sekolah yang secara sungguh-sungguh menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran anak secara manusiawi atau tegasnya sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian universal. Sekolah yang menawarkan kebahgian peserta didik dalam kelas karena guru dan metode yang digunakan sangat menyenangkan, tidak menjenuhkan apalagi menyulitkan. Sekolah yang menghargai semua bakat yang dimiliki peserta. Sekolah yang memperlakukan peserta didik secara sama., tidak membedakan satu dengan yang lain. Tidak membedakan antara yang bodoh dan yang pandai karena sekolahnya manusia beranggapan bahwa semua anak pandai dan cerdas sesuai bakatnya masing-masing. Sekolah yang semua elemen di dalamnya membawa pesan dan spirit yang merangsang semangat belajar peserta didik.Lantas bagaimana kriteria atau ciri sekolahnya manusia itu? Berikut beberapa hal yang membedakan sekolahnya manusia dari sekolahnya robot.
          Pertama, Sekolahnya manusia meyakini bahwa setiap peserta didik memiliki kecerdasan majemuk mengikuti teori multiple intergeces. Sebuah teori yang terakhir di kembangkan oleh Dr Howard Gardner (1983), pemimpin Project Zero Harvard University yang telah mengubah makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya. Perubahan itu terlihat jelas pada tiga paradigma mendasar yaitu : 1)Kecerdasan tidak dibatasi oleh tes formal. Sebab setelah diteliti ternyata kecerdasan itu selalu berkembang dinamis, tidak statis.Tes yang dilaksanakan saat ini pasti tidak mencerminkan kecerdasaanya sebulan, setahun mendatang dan seterusnya. 2)Kecerdasan itu multidemensi dan selalu berkembang. Sampai saat ini Dr Howard Gardner telah menemukan 9 ranah kecerdasan. Berikut diantaranya kecerdasan Linguistik, kecerdasan logis matematis, kecerdasan spasial visual, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, Kecerdasan kinestetis, kecerdasan naturalis. 3)Kecerdasan itu sebuah proses discovering ability. Kecerdasan lebih dititikberatkan pada proses untuk mencapai kondisi akhir terbaik. Kadang seoarang menemukan kondisi akhir terbaiknya di saat usia sudah tidak mudah lagi. Penulis novel terbaik dunia, J.K Rowling menemukan kondisi terbaiknya sebagai penulis pada usia 43 tahun. Sementara Sayyid Muhamad Husein Thabathaba’i dari Iran menemukan kondisi terbaiknya dalam menghafal dan memahami makna Al quran pada usia 5 tahun. Ia memperoleh gelar dokter kehormatan Al Quran dari salah satu universitas Inggris di usia muda, 7 tahun.
          Nah, dengan demikian sekolahnya manusia memeperlakukan semua anak didiknya sebagai sang juara di bidang dan sesuai bakatnya masing-masing. Tugas guru dan sekolah untuk menggali, menemukan,  serta mengembangkan bakat (baca:kecerdasan yang dimiliki) setiap anak. Kemudian mengantarkannya pada kondisi terbaiknya. Bagi sekolahnya manusia tidak ada siswa bodoh.
          Kedua, di sekolahnya manusia gurunya merupakan the best teacher. Yaitu para pendidik dan pembimbing yang berperan sebagai fasilitator dan katalisator, memperlakukan peserta didik sebagai subyek bukan obyek serta melaksanakan proses belajar mengajar dengan the best proccess. Yakni proses belajar mengajar  yang berkualitas dan menyenangkan untuk semua kondisi dengan multi strategi. The best teacher adalah guru-guru yang terbebas dari virus 3 T yaitu  1)Talking time, guru yang menggunakan metode ceramah sepanjang masa, tidak  pernah menggunakan metode lain. Guru yang menyelenggarakan pembelajaran searah dari guru ke murid. Guru yang menghabiskan 80%  jam pelajaran, sedang sisanya diberikan ke peserta didik untuk mengerjakan latihan, menulis PR. Peserta didik tidak diberi keluasaan untuk berbicara, beraktivitas. 2) Task analysis, guru yang mengajar langsung ke materi, tidak  terbiasa menjelaskan kegunanaan, penerapan, atau urgensi materi yang akan diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, semua dari kita mungkin bisa mengerjakan soal tentang pohon faktor, tapi bila kita semua ditanya untuk apa pohon faktor itu? Kita tak bisa menjawab. Kerena guru kita dulu tidak menjelaskannya. 3) Traking, yaitu mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan kognitifnya. Contoh, kelas terbagi ke A, B, C. Kelas buat mereka yang pandai, kelas B yang sedang, kelas C yang bodoh. Contoh lain adalah kelas akselerasi yaitu kelas khusu yang diperlakukan berbeda dengan kelas lainnya.
          Ketiga, sekolahnya manusia memperlakukan peserta didik secara sama. Tidak dibedakan antara yang kaya dan yang miskin, antara yang pandai dan yang bodoh. Di sekolahnya manusia tidak mengenal ranking bagi peserta karena ranking menciptakan kasta dalam pergaulan sosial di sekolah dan melahirkan sikap membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Di sekolahnya manusia semua mata pelajaran dipandang sama. Tidak mengenal mata pelajaran berkelas elit yang didewakan seperti anggapan orang banyak terhadap pelajaran matematika dan IPA. Sebaliknya pelajaran yang selama ini dianggap ecek-ecek seperti kesenian diperlakukan secara proposional.
          Keempat, sekolahnya manusia mendefinisikan prestasi sebagai tindakan meraih, menyelesaikan, menacapai dangan usaha dan kinerja yang sukses. Prestasi bukan dilihat dari hasil akhir tapi lebih sebagai sebuah proses yang berkualitas. Sekolahnya manusia menjadikan peserta didik bintang, juara, berprestasi pada bakat dan kemampuan mereka masing-masing.
          Dan akhirnya semuanya  kembali ke tangan orang tua. Mampukah mereka menentukan pilihan terbaik buat pendidikan anak-anak? Orang tua sebagai guru terbaik tentu tidak akan memilih asal sekolah, Munif Chatib menyebut sekolahnya robot untuk anak mereka. Karena salah memilih sekolah akan berpengaruh negatif pada perkembangan dan kemajuan pendidikan anak.
Wa Allahu Alam
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar