Selasa, 26 Mei 2015

PEMALSUAN IJAZAH, POTRET PENDIDIKAN KITA



         
Wajah para pendidik dan dunia pendidikan hari-hari ini kembali tercoreng dengan munculnya dugaan kasus pemalsuan ijazah di beberapa perguruan tinggi di tanah air. Terakhir terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Adhi Niaga Bekasi. Laporan dan aduan dari masyarakat yang memaksa Menristek PT, Muhamad Nasir melakukan sidak ke kampus yang dikelola Yayasan Adhi Niaga tersebut. Sekolah Tinggi itu diduga  menerima ribuan  mahasiswa namun sedikit dari para mahasiswa itu yang menjalankan perkuliahan seperti biasa. 
Berdasarkan sidak yang dilakukan, Menristek PT menilai bahwa kampus itu tidak lazim digunakan untuk perkuliahan apalagi sampai mendapatkan ijazah. Dari data yang didapat saat sidak, Adhy Niaga menerima sekitar 800 sampai 1.000 mahasiswa setiap semester. Keseluruhan ada 3.500 mahasiswa, jadi bagaimana mereka bisa ditampung? Tegas sang menteri. Ini sangat memalukan. Kasus ini mengundang keprihatinan banyak pihak termasuk Muhaimin Iskandar, ketua DPP PKB menegaskan, ini menghancurkan moralitas bangsa. Pelaku utama dan semua yang terlibat harus ditindak tegas. Begitu pula dengan pengguna ijazah palsu, harus diproses secara hukum. Sebagai bangsa yang mengedepankan akhlaqul karimah, berbudaya dan menjunjung moralitas, hendaknya kita menghargai hakikat kejujuran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apalagi dalam dunia pendidikan.
          Kaitan dengan ijazah palsu memang bukan barang baru. Sudah lama menjadi bahan gunjingan masyarakat luas. Banyak kasus yang sudah diperkarakan hingga ke pengadilan. Berbagai kalangan tersandung kasus ini mulai dari para pejabat, anggota dewan, kepala daerah, sampai praktisi pendidikan sendiri seperti guru atau dosen. Ijazah asli tapi palsu (baca:aspal) sudah menjadi rahasia umum, dan ironinya menjadi lumrah. Orang tanpa kuliah, secara tiba-tiba bertitel S1, S.2, bahkan S.3.
Ada beberapa alasan (baca:motif) orang memalsukan ijazah.Pertama, mengejar gengsi. Orang yang memiliki kedudukan  di pemerintahan, ormas, parpol, atau di tengah masyarakat kadang buta mata untuk menjaga gengsi dan martabatnya rela menggadaikan kejujuran menukarkannya dengan ijazah palsu. Kedua, Mengejar mimpi, menggapai ambisi. Saat menginginkan sesuatu jabatan atau kedudukan yang bersyaratkan pendidikan orang mau mengorbankan idealisme dan moralitas  dengan  membeli ijazah. Ketiga, menjadi rahasia umum ijazah palsu mudah didapatkan asal berkantong tebal, dan siap membeli. Kemudahan itu yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang miskin kejujuran. Bukankah di negeri kita bertaburan penyelenggara pendidikan? Maaf sebagiannya adalah lembaga abal-abal, yang tak jelas perijinanya, kualitasnya, akriditasinya. Karena pemerintah juga terlalu mudah memberikan izin pendirian sebuah lembaga pendidikan baik sekolah maupun kampus.
Pendidikan miskin kejujuran
          Ungkapan di atas tidak berlebihan karena nyata dan kita bisa menyaksikan. Hanya kita tak bisa berbuat banyak sebab ketidakjujuran telah menggurita dan menjadi sistemik. Pemalsuan ijazah hanya bagian kecil dari berbagai kecurangan dalam dunia pendidikan kita, ibarat gunung es yang tak terekspos lebih banyak lagi. Ujian nasional (di semua tingkatan) dari tahun ke tahun menjadi uji nyali mampukah dunia pendidikan berbuat jujur? Dan nyatanya masih belum mampu terbukti hampir setiap tahun pelaksanaan ujian nasional tercoreng dengan kasus kebocoran soal, jual beli kunci jawaban di berbagai daerah. Bahkan terakhir saat UN tidak seperti dulu lagi, saat UN tidak menentukan kelulusan tetap saja ketidakjujuran mewarnai. Coba amati, kebiasaan mencontek peserta didik belum bisa dihilangkan di setiap jenjang pendidikan. Plagiat menjadi rahasia umum dalam penyusunan karya ilmiah seperti skripsi, tesis, bahkan desertasi. Kaitan dengan hal ini menristek PT Muhamad Nasir (2015) bahkan telah mewacanakan penghapusan penulisan skripsi. Karena penulisan skripsi hanya mencetak generasi copy paste. Pro kontra pun sekarang bermunculan. Ini semua menjadi tantangan berat dunia pendidikan di saat Indonesia membutuhkan SDM berkualitas, berkarakter dalam membangun negeri ke depan. Dan tantangan berat ini harus disadari oleh emua elemen bangsa. Semuanya harus bisa berperan melawan ketidakjujuran di dalam dunia pendidikan.
          Tentu kita tidak boleh berpangku tangan melihat keadaan di atas. Kita harus siap mengobarkan semagat revolusi melawan ketidakjujuran. Kenapa revolusi? Karena ungkapan reformasi tak mampu lagi melawan kecurangan dan ketidakjujuran masif dan sistemik seperti sekarang. Revolusi itu dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan terdekat, sampai masyarakat luas. Bukankah hal ini yang menjadi inti pesan presiden Jokowi dalam semagat revolusi mentalnya? Pendidikan harus menjadi tanggung jawab bersama. Menteri Anis Baswedan dalam sambutan pada hari pendidikan 2 Mei  beberapa waktu lalu menegaskan, wajah masa depan kita berada di ruang-ruang kelas, memang. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa tanggung jawab membentuk masa depan itu hanya berada di pundak pendidik dan tenaga kependidikan di institusi pendidikan. Secara konstitusional,mendidik adalah tanggung jawab negara. Namun, secara moral, mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Mengembangkan kualitas manusia Indonesia harus dikerjakan sebagai sebuah gerakan bersama. Semua harus ikut peduli, bahu membahu, saling sokong dan topang untuk memajukan kualitas manusia Indonesia lewat pendidikan.
          Gerakan revolusi melawan ketidakjujuran harus dimulai dengan penegakan hukum yang tegas, tak pilih kasih terhadap pihak-pihak yang melakukan kecurangan sekecil apapun dalam dunia pendidikan. Bukankah perangkat hukum kita sudah lengkap? Contoh mengenai pemalsuan ijazah dalam Pasal 69 ayat [1] UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa  setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
          Kemudian gerakan ini harus sistemik, dari atas ke bawah. Selama ini dilemanya adalah saat guru-guru (yang berada di level bawah) siap menegakan kejujuran dalam UN misalnya dengan tidak memberi bantuan ke siswa dengan merubah hasil kerja mereka berhadapan dengan kebijakan kepala sekolah yang berlawanan. Dan saya yakin kepala sekolah pun merasakan hal yang sama, mereka diminta oleh atasanya untuk menyikapi hasil kerja peserta didik. Menyikapi diterjemakan berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Anda pasti memahami maknanya.
          Dan terakhir gerakan bersama juga membutuhkan keteladanan dari para pemimpin. Karena keteladan memiliki energi kuat dalam mendorong proses perubahan. Kita dalam segala mengalami krisis keteladanan. Sebagai dorongan moril untuk mengingatkan kita semua, Rasulullah SAW menegaskan kejujuran itu membawa kepada kebaikan. Kebaikan membawa  ke surga. Dan dusta menjerumuskan ke malapetaka (baca:dosa). Dosa menggiringi pelakunya ke neraka. Wa Allahu ‘Alam
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Radar, Senin, 25 Mei 2015









Tidak ada komentar:

Posting Komentar