Selasa, 26 Mei 2015

MASIH ADA KASTA DI SEKOLAH KITA




          Minggu-minggu ini para orang tua sudah mulai sibuk mencari, memilih dan menyiapkan segala persyaratan untuk memasukan anak-anak mereka ke sekolah baru. Yang anak-anak masuk ke TK, yang lulus TK ke SD, dari SD ke SLTP. Begitu seterusnya. Untuk keperluan ini tidak sedikit uang yang harus disiapkan. Bagi yang berduit mungkin tidak terlalu masalah tapi bagi yang berkantong cekak alias pas-pasan, nah terasanya di kepala. Pusing tujuh keliling. Memasukan anak sekolah sekarang menjadi problema tersendiri. Pertama, banyaknya informasi yang mengampiri kita. Semua menawarkan lembaga (baca:sekolah) masing-masing. Dan semuanya mengklain yang terbaik. Tidak ada kecap nomor dua, istilahnya. Ini bisa membingungkan sekaligus juga menjebak. Tidak sedikit dari orang tua yang menyesal setelah memasukan anaknya di sebuah sekolah. Kadang sekolah tak cocok bagi anaknya. Ini masalah serius bagi anak-anak kita. Tidak bisa dibayangkan anak sekolah tidak nyaman, tidak happy, tidak betah di sekolah? Bagaimana nanti belajarnya? Menurut Muhamad Alwi (2014) dalam bukunya Anak cerdas Bahagia dengan Pendidikan positif, belajar itu harus dilalui dengan bahagia dan berakhir dengan kebahagian hidup saat dewasa meninggalkan bangku sekolah. Banyak kasus orang sukses tapi tak bahagia. Bisa jadi karena sejak di sekolah mereka tak bahagia dalam belajarnya. Kedua, hampir semua informasi yang diterima baik lewat brosur, pamlet, atau di media online tak tertinggal mencantumkan baged masing-masing. Entah uang pakalnya, uang pakaian, uang buku, atau bantuan pendidikan (bulananya). Orang tua harus teliti menghitung, mengukur kemampuan. Sebab  seringkali antara keiinginan (baik anak maupun orang tua) dan kemampuan tak singkron. Ini masalah juga.
          Perbedaan masing-masing latar belakang lembaga sekolah menciptakan kasta bagi sekolah. Lahirlah sebutan sekolah elit, sekolah mahal, sekolah internasional, sekolah menengah, sampai sekolah kelas bawah atau sekolahnya  kaum pinggiran. Masuk tidaknya calon peserta didik di satu sekolah ditentukan oleh keadaan ekonomi orang tua mereka. Ada juga yang mengacuh hasil tes. Bagi yang bodoh jangan mimpi masuk ke sekolah elit. Demikian juga berlaku bagi yang tak berduit. Ini salah satu kastanisasi dalam dunia pendidikan kita.  Sebelum lebih jauh mari kita pahami bersama apa kasta itu? Istilah kasta saya analogikan pada istilah yang digunakan saudara-saudara kita yang beragama Hindu. Yaitu Sistem kasta telah menentukan bahawa masyarakat beragama Hindu boleh dibahagikan kepada beberapa kumpulan dan peringkat. Pada umumnya, kelas tertinggi ialah para Brahmin atau Brahmana, manakala kelas terendah ialah kaum pariah atau dikenali sebagai "mereka yang tidak boleh disentuh" atau dalam bahasa Inggeris "untouchables". (http://ms.wikipedia.org/wiki/Sistem_kasta) Secara sederhana kastanisasi dalam pendidikan adalah pengelompokan, pembagian peserta didik dalam tingkatan-tingkatan dalam kegiatan belajar mengajar. Satu kelompok berbedah dan dibedakan, berpisah dengan yang lainnya.
Kastanisasi Yang lain
          Kastanisasi dalam dunia pendidikan  kita tidak terbatas pada persoalan status sekolah, elit, menengah, pinggiran. Masih ada pengelompokan-pengelompokan lain yang mirip dengan kasta (baca:Kastanisasi) Berikut diantaranya:
1.Kastanisasi rombongan belajar. Begitu masuk, peserta didik dikelompokan ke dalam rombongan belajar atau kelas. Biasanya kelas ditentukan berdasarkan tes masuk. Yang nilainya tinggi dikumpulkan dalam satu kelas. Disebutnya kelas A, kelas B untuk yang nilainya dibawahnya, begitu seterusnya C, D. Peserta didik diklasifikasikan berdasarkan hasil nilai tes masuk. Malang bagi mereka yang nilainya rendah. Mereka disebut sebagai kelas bawah, kelasnya anak-anak nakal dan bodoh. Mereka seringkali tersiasiakan oleh sistem di sekolah. Guru pun kerapkali memilih tidak masuk di kelas mereka.  Pembagian kelas ke A, B, C dan seterusnya melahirkan kasta sosial bagi peserta didik. Ini tentu tidak sehat bagi lingkungan sosial di sekolah. Kedepan ada baiknya  kita tak membaginya lagi seperti itu. Adalah Munib Chatib dan Irma Nurul Fatimah (2014) dalam bukunya, Kelasnya manuisia menyarankan agar memberi nama kelas berdasarkan beberapa hal.Pertama, menyesuaikan jenjang pendidikan seperti untuk TK diusahakan menggunakan nama-nama yang sangat mudah diketahui dan disebut semisal seperti nama hewan pemeliharaan di rumah sebut saja kelas kucing, kelas kupu-kupu dan sebagainya. Kedua, nama kelas bisa menyesuaikan visi misi sekolah. Contoh visi sekolah adalah ramah lingkungan bisa saja menamai kelas dengan kelas gunung, kelas merapi, kelas sungai, hutan dan lainnya. Ketiga nama kelas juga bisa mengambil nama tokoh seperti kelas 7 Habibi, kelas 7 Sukarno. Juga lainnya. Keempat, nama kota atau tempat tertentu bagus juga untuk nama kelas. Contoh kelas Madinah, kelas Cairoh. Nah, dengan demikian tidak ada lagi kasta sosial antara kelas di sekolah. Semua peserta didiik dipandang sama. Pengelompokan bisa berdasrkan abjad nama mereka, atau berdasarkan urutan mendaftar.
2.kastanisasi mata pelajaran. Awalnya ilmu terdikotomi menjadi ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu umum mendapat tempat lebih tinggi, lebih bergengsi daripada ilmu agama. Dikotomi ilmu umum dan agama merupakan warisan penjajah Belanda yang masih mengkristal dalam kehidupan masyarakat kita. Terbukti sampai hari ini pegelolaan pendidikan  ditangani oleh dua departemen. Kementerian pendidikan menyelenggarakan pendidikan umum (TK-SD-SLTP-SLTA-PT). Sementara kementerian agama menyelenggarakan RA, MI, MTs, MA, dan PTAIS (Perguruan Tinggi agama Islam seperti UIN atu dulu IAIN). Berikutnya kastanisasi lebih detail lagi yaitu  dalam bidang studi. Kastanisasi dalam bidang studi meliputi:
Kelas 1 yaitu bidang studi Matematika dan ilmu pengetahuan alam (IPA)
Kelas 2 yaitu ilmu  pengetahuan sosial (IPS)
Kelas 3 yaitu (kelas bawah) meliputi ilmu agama, budi pekerti, kesenian, ketrampilan
Sampai hari ini di kampus-kampus  fakultas atau jurusan yang mencerminkan bidang studi kelas 1 sangat disegani, bergengsi, serta eletis misalnya fakultas kedokteran, fakultas teknik. Sementara fakultas keagamaan, fakultas sastra hanya menjadi fakultas buangan yang menampung calon mahasiswa yang tak lulus di fakultas favorit. Hal seperti ini juga terjadi dalam penjurusan tingkat SLTA. Ke depan harusnya kastanisasi seperti ini ditiadakan dan jangan dipegangi lagi. Bukankah ilmu itu bebas nilai? Bukankah semua ilmu itu sama?
3.Kastanisasi dalam ranking. Dulu dalam rapot tertulis ranking masing-masing peserta didik. Saat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diberlakukan ranking itu ditiadakan. Tapi orang tua (baca:wali siswa) tetap  menuntut ke guru untuk meranking anak-anak mereka. Upaya menghilangkan ranking yang dilakukan oleh pemerintah belum sepenuhnya berhasil karena telah mengakarnya sistem ranking pada masyarakat. Ranking yang awalnya bertujuan untuk memetakan kemampuan siswa berdampak pada pengelompokan-pengelompokan lain. Peserta didik terbagi tiga lapisan. Pertama, siswa-siswi pandai yang berada di sepuluh besar. Kedua, siswa menengah (baca:kategori sedang) berada di kisaran ranking  belasan. Ketiga , siswa bodoh, ranking mereka berada di urutan 10 dari bawah. Ranking telah menciptakan kasta dalam kelas. Nampak terlihat dampak negatif dari kastanisasi ini saat mereka belajar bersama, berdiskusi, membentuk kerja kelompok dan lainnya. Lapisan ketiga (kelompok anak-anak yang dianggap tidak pandai) kerapkali tersia-siakan oleh kelompok lain. Padahal menurut teori multiple intelgences yang dikembangkan oleh Howard Gardner menegaskan bahwa manusia itu memeiliki kecerdasan majemuk. Sehingga tidak ada anak bodoh. Semua anak pandai dan cerdas di bidangnya masing-masing. Jalaluddin Rahmat dalam pengantar buku, Buku Kerja Multiple intelgences karya Thomas R Hoer menyindir, “anak-anak yang kita anggap istimewa  adalah anak-anak dengan kecerdasan yang tidak diapresiasi budaya kita. Rasyid dan Dani punya kecerdasan visual yang menakjubkan, tetapi sekolah-sekolah kita mengabaikannya”. Alhasil ranking tidak bisa dijadikan acuan pemetaan peserta didik lagi. Karena ranking hanya mengukur kecerdasan knowledg sedang kecerdasan manusia sangat majemuk.
          Orang tua yang bijak tentu tak  akan memasukan anak-anaknya ke sekolah yang masih memberlakukan sistem kasta. Karena kastanisasi dalam pendidikan sangat berpengaruh negatif dalam proses belajar mengajar anak. Wa Allahu Alam
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar