Sabtu, 09 Mei 2015

MENDIDIK MANUSIA TIDAK MANUSIAWI



Hari-hari ini sedang ramai dibicarakan di pemberitaan baik cetak maupun online juga media sosial tentang seorang guru di Shanghai Tiongkok yang  dibuly dan dihujat oleh kalangan nitizen karena diketahui meminta dipayungi oleh muridnya selama pikinik di Peace Park. Foto yang di-posting via Weibo pada 30 April 2015 tersebut menunjukkan seorang anak laki-laki yang mengangkat payung untuk meneduhkan kepala perempuan. Setelah gambar-gambar itu beredar, guru perempuan tersebut dituduh menyalahgunakan jabatannya untuk menyuruh muridnya memayungi dirinya. Walau yang bersangkutan sudah meminta maaf, hujatan tetap saja berlanjut. Menjadi guru atau pendidik memang bukan sesuatu yang mudah, tanpa resiko. Sebaliknya mendidik manusia adalah pekerjaan yang memiliki banyak kesulitan. Karena yang menjadi obyek pekerjaan adalah makhluk tuhan termulia, manusia yang memiliki akal pikiran, berbeda dengan makhluk lainnya.(QS:95:04) Mendidik manusia hendaknya dengan cara-cara yang manusiawi. Yaitu  menempatkan dan memperlakukan peserta didik layaknya manusia. Ini tugas berat yang dilakoni seorang guru. Ketika memperlakukan peserta didik secara tidak manusiawi, mendidik akan jauh dari hasil yang diinginkan.
Meminta dipayungi oleh murid mungkin bisa dimaklumi, paling tidak masih ada alasan yang masuk akal.  Bisa jadi  hanya sikap guru yang sedikit lebay, minta perhatian dari anak didiknya. Walau sebagian orang menganggapnya sebagai tindakan yang tidak manusiawi karena dianggap telah menyalahgunakan peran dan jabatan sebagai pendidik. Tapi bila kurikulum, strategi, metode, cara mengajar yang tidak manusiawi  masih diterapkan oleh para guru kita tentu menjadi problem serius bagi dunia pendidikan saat ini. Sering kita menyaksikan di pemberitaan seorang guru diadukan ke kantor polisi oleh wali siswa karena tindak kekerasan yang dilakukannya dalam proses belajar mengajar di kelas. Atau siswa tidak mau masuk ke kelas karena takut pada gurunya. Ada lagi anak tak mau sekolah karena sekolah dianggap seperti penjara yang memenjarahkan perasaan dan jiwanya. Di sekolah banyak aturan katanya. Ini tidak boleh, begini dilarang, begitu diancam. Wal hasil di sekolah tidak seperti di taman siswa, konsep belajar yang digagas Ki Hajar Dewantara yang menyenangkan.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, guru diwajibkan memiliki empat kopetensi, yaitu 1)kompetensi pedaagogik, 2)kompetensi kepribadian, 3) kompetensi profesional,  4) kompetensi sosial. Kompetensi pedagogik ialah kemampuan mengelola pembelajaran  dalam kelas. Guru dituntut memahami karakter, watak, dan sifat siswa agar bisa mengajar dan membimbing mereka dengan menyenangkan. Dalam KBM guru harus menyusun perencanaan, melaksanaan pembelajaran yang menyenangkan, dan mengevaluasi hasil belajar.
Dalam kompetensi kepribadian, guru dituntut menjadi teladan bagi anak didik juga lingkungannya. Orang tua kita mengartikan guru dengan digugu dan ditiru. Guru harus berakhlak mulia, memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewas, arif dan berwibawa. Kompetensi profesional adalah penguasaan guru terhadap materi pembelajaran yang luas dan mendalam sehingga ia dapat membimbing siswa menuhi standar yang ditetapkan. Sedangkan kempetensi sosial adalah kemampuan guru bergaul, berhubungan serta berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, orang tua peserta didik dan masyarakat luas.
Mendidik Secara Manusiawi
          Untuk menjadi gurunya manusia yang mendidik secara manusiawi guru disamping harus memiliki empat kompetensi di atas juga harus mampu memperlakukan peserta didiknya selayaknya manusia. Menurut Munif Chatib (2011), guru harus menganggap dan memperlakukan seluruh siswanya sebagai siswa cerdas dan pandai. Setiap anak adalah juara sesuai bakat yang dimilikinya. Tidak ada peserta didik yang bodoh. Menjadi tugas guru menemukan, menggali dan mengembangkan bakat siswanya. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia sebaik-baik bentuk dan ciptaan?(QS:95:04) Dengan demikian guru tidak akan lagi menyebut bodoh siswanya. Guru memperlakukan siswanya secara sama. Ranking tidak berlaku lagi bagi gurunya manusia. Apalagi dijadikan alat untuk membedakan mereka. Sekali lagi tidak.
          Gurunya manusia mengajar dan mendidik dengan hati. Mengajar dan mendidik dengan ikhlas mempercepat hubungan harmonis dan nyaman dengan siswa. Satu sama lain saling menghargai dan menyayangi. Keikhlasan hati dan kasih sayang akan menghindarkan guru dari kekerasan dalam mengajar dan mendidik baik kekerasan fisik maupun pisikis (baca:non fisik). Tidak ada bentakan, marah-marah apalagi pukulan. Bila ada guru yang sering marah, membentak sana-sini, bisa jadi ia sedang menutupi kelemahanya karena tidak bisa mengajar dan mendidik dengan hati yang tulus dan kasih sayang.
          Gurunya manusia berperan sebagai fasilitator. Ia tidak dominan menggurui, mentranfer ilmu pada anak didiknya. Guru fasilitator bukan penceramah yang mengandalkan dan selalu menggunakan metode ceramah di kelas. Lehernya menjadi membengkak karena sehari-hari berbicara panjang lebar di depan kelas tanpa menghiraukan dan memahami apa yang menjadi kebutuhan siswanya. Sebaliknya gurunya manusia menganggap siswanya sebagai teman diskusi,teman gobrol sehingga ia hanya membimbing mereka dalam memahami dan menerapkan pelajaran. Sebagai fasilitator guru mendorong siswa-siswinya untuk bertanya, memotifasi mereka untuk mengkaji lebih dalam. Ciri guru fasilitator adalah banyak mendengar, sedikit bicara. Ia menampung semua pembicaraan siswa, dan cukup hanya mengarahkan pembicaran mereka sesuai rencana pembelajaran. Anak-anak dibiarkan aktif berkreasi, dan berpendapat.
          Gurunya manusia juga mengajar dengan cara yang menyenangkan. Ki Hajar Dewantara sebagaimana sudah saya singgung di atas menyebut dan menamai sekolah yang didirikanya dengan sebutan taman siswa. Taman itu sesuatu yang indah yang akan mempesona setiap orang yang memasukinya. Secara filosofi beliau berpesan kepada kita bahwa pembelajaran itu harus menyenangkan, tidak menjenuhkan, tidak membosankan, apalagi menyedihkan. Saat anak kita masuk TK (kepanjanganya taman kanak-kanak) terlihat mereka gembira. Saat ke sekolah dasar (apa karena sebutan taman sudah tidak ada lagi) kebahagian dan kegembiraan mereka mulai sirna. Begitu seterusnya,di SLTP, SLTA, bangku kuliah yang tersisa hanya kepenatan dan kesulitan dalam pembelajaran. Nampaknya ada yang hilang  di sekolah-sekolah kita. Apa yang hilang? Guru yang menyenangkan, jawabnya.
          Nah, saatnya kita semua menjadi gurunya manusia karena saat kita mengajar dan mendidik secara tidak manisiawi bukan keberhasilan yang akan kita peroleh justru kegagalan peserta didik yang akan kita temukan. Wa Allahu a’lam. (Tulisan ini dimuat di harian Radar Cirebon, edisi 12 Mei 2015)


         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar