Senin, 04 Mei 2015

MENULIS DULU DAN SEKARANG



Menulis sudah saya lakukan sejak masih di pesantren tahun 90 an kemudian dilanjutkan di bangku kuliah. Penyakit yang menimpa setiap penulis adalah  putus asa saat tulisan-tulisan kita tak bisa nongkrong di media (dulu sih Cuma koran atau majalah).  Saya termasuk yang mengalami hal tersebut. Zaman mesin tik, tulisan sudah berkali-kali direvisi. Untuk satu tulisan puluhan lembar kertas terbuang. Dibantu tip-ek, maklum tulisan saat itu belum bisa di-delete di detskop komputer seperti sekarang. Dikirim ke redaksi lewat pos, eh tak kunjung dimuat.  Seringkali tema tulisan basi di jalan. Begitu sampai di meja redaksi sudah tidak aktual lagi.  Tak dimuat deh, dan berakhir di tempat sampah.Sedih bukan?
          Di era internet seperti sekarang keadaan di atas sedikit  terbantu. Ada media sosial facebook, twiter atau lainnya yang bisa menampung tulisan kita tanpa sortir dari siapapun. Kita bisa menulis apapun, gagasan, pengalaman, ide, atau sekedar unek-unek. Cukup satu klik tulisan  bisa langsung tayang dan dapat dibaca oleh orang banyak di seluruh dunia. Enak bukan? Media (facebook, twiter,dll) ini bisa dijadikan tempat latihan sekaligus menggantikan koran, majalah. Selayaknya dimanfaatkan dengan baik. Karena prihatin juga melihat facebook, twiter digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat seperti memfitnah, berkonflik dengan yang lain.
          Terasa puas dan bahagia bila tulisan kita dibaca oleh orang lain, terpapang di depan mata setiap yang melihatnya. Jerih paya (karena tidak mudah juga menulis itu) selama menulis terasa terbayar. Lebih-lebih bila tulisan kita dihargai dengan honorium. Wah, lengkap sudah kebahagiaan itu. Tapi tak berarti putus asa tak lagi mampir pada diri kita. Tetap saja penyakit itu  menghalangi kita menulis.  Guru menulis saya, Roesli Lahani Yunus mengatakan mengirim tulisan itu anggap saja seperti membuang sampah. Tapi tentu bukan sampah biasa. Artinya, jangan melihat hasilnya. Dipilih  atau tidak oleh redaktur, bisa dimuat atau  tidak yang penting menulis dan menulis. Titik. Diawali putus asa karena tulisan kita tidak dimuat berakhir dengan kemalasan dalam menulis yang bisa berkepanjangan.
          Selesai kuliah (1998) saya mulai jarang menulis hampir sudah tak menulis lagi kecuali terpaksa karena tuntutan pekerjaan seperti menulis laporan, membuat proposal, menulis naskah khutbah Jumat. Selainnya tidak. Tahun 2O1I saya mulai bersentuhan dengan dunia maya, aktif di facebook. Minat menulis muncul lagi. Saya menulis status di facebook layaknya menulis untuk surat kabar atau majalah yang dulu saat kuliah sering saya lakukan. Saya masih ingat betul hampir setiap minggu saya ke kantor pos mengirim artikel ke redaksi Wawasan, Suara Merdeka, Republika, Harian Pelita.  Sekarang teman-teman fesbooker menyebut saya sebagai seorang penulis, tapi penulis status. Lumayan juga sih,,pikir saya . Entah kapan pasti  akan berubah menjadi penulis betulan saat saya sudah bisa menerbitkan buku misalnya.  Sebenarnya sewaktu aktif mengirim tulisan tidak semua tulisan berakhir di sampah redaktur, ada beberapa tulisan yang sempat dimuat di harian Wawasan, Pelita, juga Suara Merdeka. Tapi perbandingannya sangat jauh. Puluhan tulisan dikirim paling satu tulisan yang bisa dimuat oleh surat kabar. Di sini kesabaran para penulis pemula seperti saya diuji. Berbeda dengan yang sudah memiliki nama besar, bagi mereka sebaliknya radaksi menanti tulisan-tulisannya.
April 2015 yang lalu saya bergabung di Kompasiana. Saya merasa menemukan tempat baru untuk mengasah kemampuan dan ketajaman menulis saya. Kompasiana bukan saja media yang bisa menampung tulisan tetapi juga menjadi perpustakaan online karena tersaji ratusan tulisan setiap harinya dengan berbagai macam tema. Pilih saja apa yang disukai. Plus kita bisa berkomentar terhadap tulisan-tulisan itu. Diskusi secara online pun menambah kemerian di Kompasiana.
Sabtu kemaren (2 Mei 2015) tulisan saya yang berjudul Hari Buru dan Guru dimuat di harian Radar Cirebon.  Tulisan itu juga saya poskan di sini. Tak terbayangkan sebelumnya, setelah bergabung dengan Kompasiana (kurang lebih satu bulan) tulisan saya sudah dianggap layak di baca oleh khalayak ramai. Semoga ini bukan yang terakhir. Masih menurut Rosli Lahani Yunus, penulis itu harus istiqomah, terus menerus, tidak putus-putus, tidak pernah merasa puas baru bisa berhasil. Penulis itu jangan cepat puas, dan jangat pernah putus asa. Upayakan menulis itu menjadi kebutuhan selayaknya kebutuhan makan dan minum.
Mendengar, Membaca, Menulis
          Mendengar, membaca, menulis adalah tahab budaya yang harus dilalui oleh setiap bangsa dalam membangun peradaban. Pertama, budaya mendengar. Ini tahap awal dimana orang tak bisa membaca atau belum gemar membaca. Informasi diperoleh hanya dari mendengar. Kata kuncinya adalah katanya, katanya. Informasi disampaikan dalam bahasa verbal atau bahasa tulisan. Kedua, selangkah lebih maju budaya membaca. Menerima informasi tidak hanya dari katanya, atau bahasa lisan yang disampaikan oleh lawan bicara. Tapi melalui membaca. Membaca buku, koran, majalah, atau lainnya dijadikan sumber informasi dan refrensi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk sekarang sumber bacaan sangat beragam dan banyak. Tidak terpaku dalam tulisan di atas kertas, tapi lebih dari itu sistem digital telah mendominasi dalam kehidupan saat ini. Ketiaga, budaya menulis. Ini tahapan tertinggi. Puncaknya kita harus banyak mendengarkan informasi, membaca refrensi kemudian menulis segala hal yang kita pahami dan kuasai agar pikiran, gagasan kita bisa sampai ke orang lain, menembus ruang dan waktu. Tulisan kita menjadi karya yang akan dinikmati oleh banyak generasi. Karena bahasa lisan hilang saat orang berhenti bicara, tapi bahasa tulisan akan abadi. Tulisan kita akan dibaca oleh bukan saja orang yang sejaman dengan kita, tapi anak cucu kita pun bisa mewarisi pemikiran kita dalam tulisan tersebut.
          Sekarang bagaimana dengan kita semua? Berada di posisi keberapa? Merasa nyaman di budaya mendengar? Atau sudah gelisah merambah ke membaca dan menulis?
          Pengamatan saya, (semoga saja salah) bangsa kita ini masih pada tahapan bangsa pendengar. Budaya kita baru pada tahapan katanya, katanya. Ukuran sederhanaya,  kita ini baru dinyatakan melek aksara beberapa tahun yang lalu. Sebelumnya masih banyak anak bangsa yang belum dapat membaca. Yang dapat membaca malas membaca. Mari mengintropeksi diri, mari kita mengukur diri. Sehari kita membaca berapa halaman? Berapa buku? Jujur harus diakui masih jauh. Jangankan masyarakat biasa masyarakat terdidik saja misalnya guru-dosen, juga siswa atau mahasiswa tidak sedikit yang malas bahkan jarang membaca. Padahal semestinya membaca menjadi teman bagi mereka. Coba tanyakan kepada mereka sebulan berapa buku yang dibeli? Mungkin hanya sebagian kecil dosen, guru  atau  atau mahasiswa yang biasa membeli buku. Itu pun saat masih di kampus. Begitu lulus, menjadi sarjana mereka berlebur dengan yang banyak menjadi malas kembali membaca, apalagi menulis. Membeli buku? Tentu tidak.
          Maka tidak ada pilihan lain untuk kemajuan kita, membaca kemudian menulis adalah dua hal yang harus menjadi teman sehari-hari. Mari kita sisikan uang saku kita untuk membeli buku dan buku. Koleksi buku akan menjadi refrensi berharga dalam hidup. Tulisan akan menjadi karya nyata dalam hidup, yang bermakna buat orang banyak. Dan akhirnya berpulang kepada kita semua.

         

         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar