Selasa, 26 Mei 2015

MENIMBANG PENGAPUSAN SKRIPSI



          Kabinet pemerintahan Jokowi-JK belum genap setahun tapi berbagai gebrakan telah dilakukan. Gebrakan yang mengejutkan banyak pihak itu diambil oleh para pembantunya, tentu mengikuti arahan presiden. Adalah menteri Susi Pujiastuti, walau awalnya diragukan banyak orang keberaniannya membakar dan menenggelamkan kapal-kapal asing membuat rakyat tercengang kagum.  Menpora Imam Nahrowi membubarkan PSSI membangkitkan amarah bola mania. Tapi disadari banyak pihak kebijakan mengangkat tim transisi itu ibarat pil pahit yang menyembuhkan prnyakit kronis dalam tubuh persepakbolaan di tanah air. Menteri ESDM Sudirman Said membubarkan Petral menjadikan mafia migas meradang. Anies Baswedan menangguhkan kurikulum 2013 mengejutkan dunia pendidikan. Yang tak kalah mengejutkan sekarang Menristek PT Muhamad Nasir berencana menghapus kewajiaban penulisan skripsi bagi mahasiswa tingkat akhir.Wacana kontropersial ini mengguncang dunia kampus. Akademisi bergejolak, mempertanyakan dan menyangsikan wacana tersebut.  Muhamad Nasir beralasan bahwa penyusunan skripsi di perguruan tinggi syarat dengan palgiat, penjiplakan, jual beli yang hanya melahirkan generasi copy paste. Sebagai penggantinya menristek PT mengusulkan pengabdian ke masyarakat dan penelitian di laboratorium.
Untuk menimbang perlu tidaknya pengapusan skripisi sebaiknya memahami terlebih dahulu latar belakang kecurangan yang biasa dilakukan. Berikut beberapa alasan kenapa sebagian mahasiswa melakukan kecurangan dalam penyusunan skripsi baik menjiplak, plagiat, atau jual beli. Pertama, pola hidup instan. Ini menjadi virus dalam berbagai sisi kehidupan. Bangsa kita dalam banyak hal terjebak pada gaya hidup instan. Yang penting cepat, segera menikmati hasil tanpa memikirkan bagaimana prosesnya? Dengan cara apa memperolehnya? Gaya instan adalah hidup hanya diambil praktisnya saja, tidak siap bersusah-susah, enggan berusaha. Hidup instan menghasilkan generasi pemalas, hedonis, dan pragmatis. Kedua, faktor dosen killer. Dosen killer adalah sebutan untuk dosen yang gemar marah di ruang kuliah, hanya bisa menyalahkan mahasiswa tanpa memberi solusi, dan biasanya pelit dalam memberi nilai bahkan terkesan mematikan dan menyulitkan mahasiswa. Dosen semacam ini ditakuti banyak mahasiswa. Kelas dalam mata kuliah yang diampuh sepi, mahasiswa berlarian memilih dosen lain. Dosen killer punya andil dalam menggiring mahasiswa melakukan kecurangan dalam proses penyusunan skripsi. Mereka yang tak memiliki mental kuat memilih jalan pintas melakukan plagiat atau membeli skripsi untuk menghindari kesalahan dan kemarahan dalam proses bimbingan dengan sang dosen killer. Ketiga, lemahnya penegakan aturan. Kaitan dengan teknis pembuatan skripsi sebenarnya telah disusun banyak aturan. Aturan-aturan itu dibuat untuk mengatur tata cara atau mekanisme penyusunan skripsi mulai pengusulan judul, sidang proposal, proses bimbingan, usulan sidang dan sebagainya.  Hanya saja aturan baku yang dibuat oleh perguruan tinggi seringkali dilanggar oleh akademisi sendiri. Kelonggaran-kelonggaran itu yang memicuh kecurangan. Contoh ketika usulan judul yang mirip, atau yang pernah diteliti sebelumnya mudah disetujui oleh ketua jurusan maka otomatis mempermudah mahasiswa untuk melakukan penjiplakan atau plagiat. Keempat, menjamurnya perguruan tinggi atau sekolah tinggi.  Akhir-akhir ini kita menyaksikan bermunculannya PT atau sekolah tinggi di berbagai daerah. Setiap daerah lebih dari tiga perguruan tinggi bersaing ketat, bahkan kampus telah menembus ke perkampungan.  Pendirian sekolah tinggi bahkan universitas terkesan  sangat mudah. Pemerintah membuka peluang lebar-lebar pada masyarakat mendirikan sekolah tinggi. Kehadiran perguruan tinggi baru pada satu sisi sangat membantu untuk mendorong lebih banyak lagi lulusan SLTA meneruskan pendidikanya. Tapi sisi lain perguran tinggi baru relatif sangat longgar pengawasanya terhadap praktek kecurangan dalam penyusunan tugas akhir. Bahkan untuk beberapa kasus, justru pihak kampus yang melakukan kecurangan dengan penyediaan jasa pembuatan skripsi oleh dosennya sendiri. Asal ada mahasiswa, soal skripsi bisa diatur berikutnya.
          Wacana pengapusan skripsi ditanggapi beragam oleh kalangan akdemisi terutama mahasiswa. Bagi mereka yang merasa terbebani skripis tentu menjadi kabar gembira. Mereka sangat setuju karena skripsi di samping membutuhkan keuletan dalam meneliti juga kepiawaian dalam menulis. Dan tak semua mahasiswa bisa menulis dan mau berlatih. Lebih lagi berdasarkan pengalaman skripsi juga menghabiskan dana lumayan besar untuk pengetikan (sekarang menggunakan komputer tentu harus dengan printernya), kertas HVS, transportasi dalam meneliti, membeli buku refrensi, sovenir untuk responden dan sederet kebutuhan tak terduga lainnya. Namun tidak sedikit yang menyayangkan rencana pengapusan tersebut karena skripsi dipandang sebagai satu-satunya pembeda dengan jenjang pendidikan dibawahnya yang mencirikan keilmuan dunia kampus.
          Terlepas pro-kontra di atas kebijakan yang  diambil oleh pemerintah seharusnya selaras dengan tri darma perguruan tinggi yaitu 1)pendidikan dan pembelajaran, 2)penelitian, dan 3) pengabdian masysarakat. Skripsi sebenarnya sudah mengarah  ke tiga hal di atas andai tidak ada kecurangan. Karenanya penggantinya (bila dihapus) harus lebih menggambarkan kehidupan kampus yang ilmiah, edukatif, dan mengabdi pada lingkungan sekitarnya. Sebenarnya  pengabdian pada masyarakat dan penelitian di labioratorium sebagai ganti skripsi pun tidak ada yang menjamin pelaksanaanya akan bersih dari kecurangan dan pelanggaran. Bisa jadi sistem baru modus kecurangan pun ikut baru, lebih canggih.
Saran Untuk Pak Menteri
          Menghadapi permasalahan di atas ada beberapa pemikiran, barangkali dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan sebagai solusi. Pertama, penerapan sanksi yang tegas bagi pelaku kecurangan baik dalam penyusunan skripsi, maupun pada opsi lain bila skripsi dihapus. Ini menjadi kelemahan kita, aturan lengkap penegakannya lemah. Misalnya mengenai plagiat skripsi, menurut UU Sisdiknas Pasal 25 ayat 2 bila terbukti maka gelarnya bisa dicabut. Lebih jauh lagi, tidak hanya dicabut gelarnya, lulusan yang terbukti menjiplak karya ilmiah orang lain juga diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta (Pasal 70 UU Sisdiknas).  Mengenai penjiplakan karya ilmiah Menteri Pendidikan lebih terincih telah menerbitkan permendiknas khusus yaitu permendiknas No. 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Dalam permendiknas tersebut dijelaskan pengertian plagiat, tata cara memproses pelaku, sampai penanggulangannya. Ringkasnya, aturan sudah lengkap tinggal penerapan dan ketegasan dalam penegakannya.
            Kedua, untuk menopang penerapan aturan maka sistem pengawasan perguruan tinggi harus diperketat. Kaitan dengan hal ini Prof. Nanat Fatah Nasir, mantan rektor UIN Gunungjati Bandung menyarankan perombakan, dan tata ulang terhadap sistem pembinaan dan pengawasan. Lebih jauh beliau menyarankan mengaktifan kembali kopertis/kopertais untuk tujuan pembinaan dan pengawasan. Kalau tidak kopertis, bisa dibuat lembaga baru agar peran dan fungsinya lebih tajam.
          Ketiga, memperketat pendirian perguruan tinggi swasta. Ini terlihat tidak ada korelasinya, tapi terbukti kampus-kampus baru seringkali mengabaikan kualitas karena berorentasi pada perolehan mahasiswa termasuk soal kelonggaran penerapan aturan terkait penulisan skripsi. Lebih baik kita meningkatkan kualitas dan pelayanan, dibanding mendirikan PTS baru. Atau kita menegrikan PTS yang dianggap sudah layak yang sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 Tahun 2014 tentang pendirian perguruan tinggi negeri.
          Dan pada akhirnya kembali ke tangan pak menristek PT, semoga apa yang diputuskan semata-mata untuk perbaikan sistem pendidikan tinggi kita. Amin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar