Rabu, 19 Agustus 2015

MENGENAL KECERDASAN MAJEMUK

          Dalam kelas masih ada guru yang beranggapan, memperlakukan peserta didiknya sebagai anak bodoh karena nilai-nilai latihannya jeblok, sering tidak mengerjakan PR, atau karena tak bisa menyelesaikan tugas. Guru rupanya masih beranggapan bahwa kecerdasan itu bergantung pada angka-angka hasil test yang mengacuh pada kemampuan pengetahuan peserta didik. Bila mengikuti perkembangan teori-teori kecerdasan, jelas cara pandang guru seperti itu salah. Karena kecerdasan tidak bisa dilihat dari hanya satu aspek, aspek pengetahuan misalnya dan nilai berbentuk angka juga tidak bisa menggambarkan seutuhnya kecerdasan seseorang. Sekarang telah dikenal apa yang disesbut Multiple Intelgences  dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kecerdasan majemuk, digagas oleh Dr Howard Gardner (1983). Howard Gardner adalah tokoh pendidikan dan psikologi terkenal, berkebangsaan Amerika yang lahir dengan nama lengkap Howard Earl Gardner pada tanggal 11 Juli 1943 di Scranton, Pennsilvania. Ia adalah co-director pada project Zero, sebuah kelompok penelitian (riset) di Havard School Graduate School of Education. Howard Gardner dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind: Teori Multiple Intelegences tahun 1983 mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan suatu masalah, menciptakan suatu (produk) yang bernilai dalam suatu budaya. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Howard_Gardner)
Kecerdasan majemuk dapat didefinisikan sebagai pendekatan perkembangan dalam belajar yang ditandai anak tumbuh dan berkembang sebagai suatu keseluruhan, tidak hanya satu dimensi saja yang berkembang dalam suatu waktu tertentu atau sebaliknya tidak semua dimensi memiliki kecepatan perkembangan yang sama.
Adalah Munif Chatib, pakar pendidikan Indonesia telah mengemas kecerdasan majemuk lebih menarik lagi. Menurutnya, yang membedakan teori Howard Gardner tentang kecerdasan di banding teori lainnya adalah pertama kecerdasan tidak dibatasi oleh test formal. Kenapa? Karena kecerdasan seseorang itu dinamis, selalu berkembang, tidak statis. Test yang dilakukan hanya dapat menggambarkan kecerdasaan seseorang saat itu, tidak untuk satu bulan, satu tahun apalagi untuk selamanya.Sumber kecerdasan seseorang adalah kebiasaannya untuk membuat hal-hal baru (baca:kreatifitas) dan kebiasaannya dalam menyelesaikan masalah (problem solving). Menurut Valentine Dmitriev, P.hD dalam bukunya Smart Baby, Clever Child menyebutkan ada dua faktor yang sangat dominan mempengaruhi perkembangan kecerdasan yaitu faktor gen (keturunan) dan faktor lingkungan. Untuk gen kita tak bisa banyak berbuat tapi untuk faktor lingkungan kita bisa melakukan banyak untuk meningkatkan potensi kecerdasan anak.
Kedua, kecerdasan itu multidimensi. Kecerdasan seorang anak dapat dilihat dari berbagai dimensi atau bisa juga disebut ranah. Gardner sendiri awalnya menemukan 6 dimensi atau ranah kemudian menjadi sembilan. Dan seiring berputarnya waktu saya yakin masih berkembang dan bisa jadi bertambah semakin banyak.
Ketiga, kecerdasan merupakan proses discovering ability. Yakni bahwa kecerdasan itu lebih menitikberatkan pada proses untuk mencapai kondisi akhir terbaiknya. Adakalanya seseorang menemukan kondisis terbaik (baca:kecerdasannya) pada saat usia sudah tak mudah lagi. Misalnya J.K Rowling adalah seorang penulis terkenal dan terkemuka yang sangat sukses tentu cerdas. Ia menemukan kecerdasanya dalam menulis saat berusia 43 saat menulis novel untuk pertama kalinya yang ia beri judul Harry Potter. Berbeda dengan Imam Syafii (salah satu imam madzhab fiqhi dalam Islam) dapat menghafal Al Quran dalam usia 7 tahun. Beliau menemukan kecerdasan yang ada pada dirinya dalam usia yang relatif sangat mudah.
Dimensi kecerdasan
          Dr Howard Gardner (1993) menyebutkan dimensi kecerdasan majemuk sebagai berikut, pertama, kecerdasan linguistik. kecerdasan linguistik atau kecerdasan berbahasa adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan pendapat atau pikirannya melalui bahasa verbal maupun non verbal. Adalah Agatha Christie seorang penulis novel misteri dari Inggris, walaupun ia didiagnosa mengalami learning diisablity, sangat lambat menerima pelajaran tetapi yang sangat cerdas di dimensi ini. Siswa yang memiliki kecerdasan ini biasanya pandai mengarang, menulis puisi, berpidato.
Kedua, kecerdasan logis matematis. Yaitu kecerdasan yang melibatkan keterampilan mengolah angka dengan baik dan atau kemahiran menggunakan penalaran atau logika dengan benar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada hubungan logis, hubungan sebab akibat, dan logika-logika lainnya. Proses yang digunakan dalam kecerdasan matematis-logis ini antara lain klasifikasi (penggolongan/pengelompokan), pengambilan kesimpulan dan perhitungan. Bill Gates, pendiri Microsoft merupakan tokoh dunia yang memiliki kecedasan luar biasa di dimensi ini.  Kecerdasan ini  dimiliki oleh peserta didik yang pandai ilmu berhitung seperti Matematika, IPA.
Ketiga, spasial visual. Yaitu kecerdasan yang  menunjukkan kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih mendalam hubungan antara objek dan ruang. Peserta didik ini memiliki kemampuan, misalnya, untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan.
Keempat, kecerdasan musikal. Menurut Howard Gardner, kecerdasan bermusik mencakup kepekaan dan penguasaan terhadap nada, irama, pola-pola ritme, tempo, instrument, dan ekspresi musik, hingga seseorang dapat bermain musik dan menikmati musik. Stevie Wonder misalnya, walau buta sejak lahir ia masuk dapur rekaman sejak usia 10 tahun. Kelemahannya (baca:buta) tak menghalanginya menemukan kecerdasan yang terpendam pada dirinya. Dalam belajar kecerdasan ini kita jumpai pada mereka yang gemar bernyanyi, menghafal lagu.
Kelima, kecerdasan interpersonal sering disebut sebagai kecerdasan sosial. Adalah kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain. Peka pada ekpresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi. Kecerdasan ini juga mampu untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain, mengerti pandangan, sikap orang lain dan umumnya dapat memimpin kelompok. Di kelas, peserta didik seperti ini biasanya selalu menjadi pemimpin bagi teman-temanya baik saat belajar kelompok atau lainnya.
          Keenam, kecerdasan intrapersonal, yakni kepekaan seseorang terhadap perasaan dirinya sendiri  sehingga mampu mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Peserta didik semacam ini senang melakukan instropeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa diantaranya cenderung menyukai kesunyian dan kesendirian, merenung, dan berdialog dengan dirinya sendiri.
          Ketujuh, Kecerdasan kinesteti atau kecerdasan anggota tubuh. Yaitu kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah.Hal ini dapat dijumpai pada peserta didik yang unggul pada salah satu cabang olahraga, seperti bulu tangkis, sepakbola, tenis, renang, dan sebagainya, atau bisa pula dijumpai pada peserta didik yang pandai menari, terampil bermain akrobat, atau unggul dalam bermain sulap..
            Kedelapan, kecerdasan naturalis. Yakni kecerdasan yang menunjukkan kepekaan seseorang terhadap lingkungan alam, misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, atau hutan. Peserta didik dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda angkasa, dan sebagainya.
          Bila melihat kemajemukan kecerdasan di atas, maka dapat disimpulkan sebenarnya  tidak ada peserta didik yang bodoh. Mereka semua dibekali Tuhan dengan kecerdasan yang berbeda satu sama lain. Kecerdasan-kecerdasan itu yang harus digali dan dikembangkan oleh para pendidik. Bila pendidik berhasil menggalinya,  berarti  telah berhasil proses belajar mengajar atau pendidikan. Bukankah tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia? Yaitu mengantarkan manusia menemukan potensi terpendamnya. Wa Allahu Alam. (Telah dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, Selasa 25 Agustus 2015)





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar