Sabtu, 22 Agustus 2015

Tentang Mega Proyek DPR


          Di tengah kemerian HUT RI ke 70 beberapa waktu lalu, hubungan Pemerintah-DPR kembali terusik. Pasalnya, Presiden Jokowi batal menandatangani prasasti Penataan Kompleks Parlemen yang diminta DPR usai pemyampaian pidato kenegaraan tentang nota keuangan RAPBN 2016 pada 14 Agustus 2015. Sebelumnya, Ketua DPR Setya Novanto dalam sambutannya meminta Presiden meneken prasasti. Tapi, ketika mengunjungi museum, Jokowi tak membubuhkan tanda tangan. Ia hanya melihat-lihat proyek tersebut bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pimpinan DPR selama sekitar 15 menit.
          Penolakan Jokowi menandatangani prasasti tentu beralasan, karena mega proyek tersebut baru sebatas wacana, belum menjadi bagian RAPBN sekalipun. Penolakan tersebut mendapat sambutan dan dukungan khalayak ramai. Paling tidak untuk dua alasan. Pertama, kondisi ekonomi Indonesia dan dunia tidak memungkinkan bangsa ini memenuhi keinginan berlebihan sekaligus mewah para (baca:sebagian) anggota  dewan. Karena konsentrasi anggaran negara bukan untuk kemewahan elite. Tetapi bagaimana ekonomi bangsa dapat selamat dan rakyat diselamatkan. Kedua, mega proyek DPR dipandang bukan sebagai kebutuhan tapi lebih tepat sebagai ambisi. Dan sejauh ini belum ada kajian yang dapat menjadi dasar rasional dari proyek ini.
          Sikap Jokowi menolak penandatanganan ditanggapi oleh anggota dewan beragam. Ada yang kecewa dengan penolakan tersebut. Mereka menunjukkan kekecewaannya sambil memaparkan argumentasi di balik mega  proyek itu ke publik melalui media baik cetak atau elektronik. Sebut saja Fahri Hamzah, poltisi kontroversial asal PKS ini dengan lantang menantang LSM yang menolak mega proyek. Fahri Hamzah meminta semua Lembaga Swadaya Masyarakat berhitung dengan benar. Dia berharap, LSM tak hanya menyebut angka, tapi juga membeberkan variabel dalam sebuah jumlah yang dihitung. Tapi ada juga yang menyadari sikap presiden. Merekalah yang dari awal tak menyetujui megaproyek yang digagas teman sejawat mereka, sesama anggota dewan.
         
Bagi saya, orang awam, mega proyek DPR mencerminkan dan menjelaskan beberapa hal, pertama, strategi bergaya premanisme yang dipilih anggota dewan yang terhormat dalam memuluskan keinginan dan ambisi. Terlihat, saat menjebak presiden untuk menandatangani prasasti, proyek besar yang baru sebatas wacana sebagian anggota. Padahal, dalam tata kelola negara hal yang tidak lazim dan tidak mungkin menandatangani proyek yang tidak ada dalam RAPBN. Mereka menghembuskan isu bahwa pemerintah sudah setuju dengan anggaran yang diajukan DPR, padahal sama sekali belum.  Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan bahwa pemerintah baru akan mengkaji 7 mega proyek tersebut.
          Kedua, arogansi anggota (tentu tidak semua )DPR. Sudah jelas, DPR  bukan lembaga eksekutif, kenapa mereka mengambil peran pemerintah? Mereka seakan menjelma menjadi kontraktor proyek kemudiam  menggiring (baca:menjebak) dengan  aroma memaksa pada eksekutif untuk menyetujui. DPR harusnya mengusulkan ke pemerintah dalam RAPBN kemudian membahasnya bersama pemerintah. Bila disetujui, baru dilaksanakan oleh pemerintah.
          Ketiga, ketergesa-gesaan DPR. Mega proyek belum menjadi kesepakatan atau keputusan bulat. Anggota dewan belum satu suara. Partai semisal Nasdem, Demokrat, PDIP mengaku, tak pernah ada pembahasan resmi dalam rapat-rapat DPR. Bahkan mereka merasa tak pernah dilibatkan, tidak diajak membicarakannya. Karenanya, Ruhut Sitompul menyebutnya sebagai jebakan Batman yang telah disirancang segelintir anggota dewan. Dan Jokowi selamat dari jebakan itu. (http://smeaker.com/)
Lebih gegabah lagi,  DPR telah menyelenggarakan sayembara desain gedung parlemen modern tersebut dengan total hadiah Rp 500 juta, padahal belum ada kejelasan apakah mega proyek tersebut akan dibangun atau tidak. Mereka berpikir pokoknya ada desain dulu. Ini aneh sekaligus mengherankan. Untuk apa itu? Dan menjadi pertanyaan publik, dana siapa yang dipakai untuk hadiah sayembara tersebut? Ini ironi.
Saran untuk Anggota Dewan Terhormat
          Melihat dan menyaksikan kejangggalan-kejanggalan cara berpikir dan cara kerja anggota dewan, sebagai rakyat biasa saya menyarankan kepada mereka yang terhormat, pertama, sudahlah, fokus bekerja. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Jangan menghayal terlalu jauh dengan membayangkan segala fasilitas serba megah dan mewah. Coba  berpikir seperti para pendahulu, apa yang dapat kita berikan kepada bangsa dan negara? Jangan dibalik, apa yang dapat negara dan bangsa berikan kepada kita?
          Kedua, intropeksi diri. Kejadian ini selayakanya dijadikan momentum untuk intropeksi diri anggota dewan. Coba mengevaluasi diri. Lihat program legislasi nasional (prolegnas). Masih banyak RUU yang mengantri, membutuhkan kerja nyata mereka. Kinerja DPR selama 10 bulan terakhir, baru menghasilkan  dua UU yang mereka bahas bersama pemerintah, itu pun tak sepenuhnya UU, karena salah satunya cuma mengundang-undangkan Perppu. Mari berkaca dengan Parlemen Korea Selatan misalnya. Dalam kurun waktu 4 tahun, mereka bisa menghasilkan lebih dari 1.000 UU. Bila dibuat rata-rata  berarti 250 UU per tahun atau 20 lebih UU perbulan. Itu baru luar biasa. Itu baru bekerja.
          Ketiga, mari kita jungjung tinggi moralitas dan etika dan aturan dalam setiap langkah. Berpolitik, memang sah dan dilindungi oleh konstitusi. Tapi alangka lebih elok bila kita melakukannya dengan tidak menghalalkan segala cara.
          Akhir kata, penolakan penandatangan prasasti oleh Presiden harusnya menjadi pembelajaran bagi para anggota dewan, juga kita semua. Bahwa segala sesuatu itu harus kita lakukan dengan taat aturan dan hukum. Lebih bijak bila dibarengi dengan menjungjung tinggi etika dan moralitas dalam pelaksanaannya. Apalagi bagi anggota DPR, harus bisa menjadi panutan bagi rakyat banyak. Bukankah mereka wakil-wakil rakyat? Bukankah mereka rakyat pilihan? Wa Allau Alam 
(Telah dimuat di harian Umum Radar, Senin 24 Agustus 2015)






           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar