Senin, 31 Agustus 2015

Saling Menyalahkan, Apa Budaya Kita?


          Banyak yang  menyebut, saat ini Indonesia di ambang krisis. Itu ditandai dengan makin melemahnya nilai tukar rupiah, meroketnya harga berbagai bahan kebutuhan, lesunya perekonomian nasional dan lainnya. Tidak sedikit yang mengkhawatirkan krisis 1998 bakal berulang kembali. Di tengah kekhawatiran berbagai pihak, kita menyaksikan pro kontra dalam masyarakat. Pro kontra terkait penyebab keadaan dan apa solusinya ke depan. Dan yang menyedihkan hal itu mendorong kita semua saling menyalahkan satu sama yang lain. Saling menyalahkan sudah sampai pada akar rumput. Media sosila semisal FB menjadi tempat pelampiasan untuk itu. Coba ikuti pemberitaan akhir-akhir ini, akan terlihat jelas. Orang awam pun dapat memahaminya.
          Kita awali dari DPR. Anggota dewan (sebagian besar) terutama mereka yang dari KMP menyalahkan pemerintah. Mereka beranggapan pemerintah yang dikomandani Jokowi tidak tanggap, tak terampil menghadapi berbagai masalah. Kabinet kerja Jokowii – JK tak kompak, malah cederung bergerak sendiri-sendiri. Adalah Misbakhun, anggota fraksi partai Golkar yang menyesalkan pemerintah yang kerap kali berpolemik satu sama lain di depan publik.  Hal ini diamini oleh Akbar Faisal dari Hanura. Ia  meminta kepada pemerintah agar satu suara mengatasi kemelut ekonomi. Minimal, kata dia, setelah mengakui krisis ekonomi, pemerintah lantas mengukuhkan konsolidasi tiap kementerian. Hanya saja, publik kembali disuguhkan sikap saling menyalahkan antar kementerian, keluhnya. (http://www.republika.co.id/)
          Lebih keras lagi disuarakan oleh Fadli Zon. Dalam twitrer-nya @fadlizon pada Minggu (28/6/2015). Menurutnya, kondisi perekonomian Indonesia sudah dalam kondisi gawat. Ekonomi Indonesia dalam bahaya. Gejala dan tanda krisis begitu nyata. Rupiah terus melemah. Pemerintah tak punya strategi alias planga-plongo menghadapinya. Politikus asal Gerindra ini memang dikenal kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah.
          Menyalahkan yang lain bukan hanya dilakukan oleh yang berada di luar pemerintahan,  tetapi bagian kabinet kerja juga melakukan hal yang sama. Sebut saja, Menteri Sofyam Djalil saat masih menjabat menko ekuin beranggapan bahwa melemahnya nilai tukar rupiah karena kesalahan kebijakan pemerintah sebelumnya yakni SBY-Boediono. Pernyataan ini pun memancing emosi partai Demokrat.
          Dan terakhir, giliran Pak SBY menyalahkan pemerintah Jokowi-JK yang dianggap lamban mengatasi masalah serta lebih sering beretorika di depan rakyat. Pak SBY menegaskan, tolong berhenti beretorika, retorika ideologis. Rakyat tidak membutuhkannya, mereka ingin barangnya ada, untuk membeli terjangkau. Harga tengah bergejolak, tapi dengan retorika enggak akan selesai masalah. Menurutnya, saat ini ekonomi Indonesi sudah lampu kuning. Sebaiknya berhati-hati, jangan sampai menjadi merah. Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kondisi lemahnya ekonomi saat ini terjadi karena faktor dunia.
Kita paham benar Pak SBY, kita tak underestimate (pelemahan Rupiah), tapi langkah-langkah ini langkah sedunia. Jadi memang kita melemah ke dolar AS, tapi tidak ke mata uang yang lain," jelas JK, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (25/8/2015). Lebih jauh, JK mengatakan daya beli Indonesia sama dengan China. Bila dibandingkan dengan negara tetangga, daya beli dalam negeri lebih kuat dibandingkan Malaysia. Memang kita lemah kepada dolar AS, karena dolar kuat tapi yang lainnya tidak. Dolar AS bukan satu-satunya pegangan dan ukuran. Yen juga ukuran. Yen dengan kita tak berubah tetap 1 yen masih Rp 120. Menurut JK,
situasi sekarang jauh dari krisis yang terjadi pada 1998‎ lalu. Salah satu pembeda adalah daya beli masyarakat. JK mencontohkan bila 10 tahun lalu 1 dolar AS, dengan kurs sekitar Rp 9.000, cukup untuk makan di restoran Padang. Tapi diukur nominal tahunannya jangan samakan rupiah 10 tahun lalu dengan sekarang. Kalau dulu 15 tahun lalu Rp 16 ribu, sekarang Rp 14 ribu mendekati, ya memang, tapi itu 15 tahun lalu beda nilainya, tegas JK
. (http://bisnis.liputan6.com/)
            Mengamati pro-kontra, saling menyalahkan  terkait kondisi ekonomi nasional saat ini saya ingin beranalogi. Kalau seandainya di sekitar kita ada kebakaran, kira-kira apa yang akan dilakukan orang? Mencari penyebab kebakaran? Menyalahkan orang yang menyalahkan rokok? Menyalahkan orang yang bawah korek api? Menyalahkan ibu-ibu yang sedang memasak? Kemudian dengan serta merta kita mencaci-maki mereka sebagai sumber kebakaran. Saya yakin tidak seperti itu budaya bangsa kita. Tidak seperti itu karakter Indonesia. Karakter dan budaya kita adalah gotong royong, saling membantu, bahu-membahu dalam setiap permasalahan apalagi saat darurat atau krisis. Demikian juga menghadapi kesulitan ekonomi nasional seperti sekarang ini. Harusnya kita tak mengahabiskan banyak waktu dan energi hanya untuk berpolemik, saling menyalahkan. Harusnya kita saling bahu-membahu menghadapinya. Semua potensi bangsa (siapa pun kita, pemerintah, politisi, pakar ekonomi, pelaku pasar dll) harus bekerja sama, kompak. Bersatu menyelamatkan perekonomian nasional dari ancaman krisis berkepanjangan. Dan itu budaya kita.
Catatan  untuk semua
          Sebagai bagian dari bangsa ini, saya ingin memberikan  catatan terkait permasalahan di atas. Catatan ini anggap saja sebuah renungan untuk kita semua dengan berharap dapat mengambil hikmah atau pelajaran. Pertama, mendahulukan kepentingan bangsa di atas segala kepentingan. Menurut hemat saya, sikap saling menyalahkan terkait kondisi ekonomi sekarang itu karena kita lebih mendahulukan kepentingan politik, kepentingan kelompok, juga kepentingan pribadi. Kepentingan bangsa yang lebih besar telah diabaikan. Inilah problema generasi kita. Kita lebih berpikir pendek dan pragmatis. Tidak berpikir jauh ke depan. Mengeruk keuntungan sesaat, mengabaikan kemudharatan jangka panjang. Cara pandang seperti ini harus diubah. Ini bagian penting dari revolusi mental yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia.
          Kedua, kritik itu harus dibarengi dengan semangat memberi solusi bukan mencari kambing hitam. Memberi kritik dan saran tidak harus memaksa. Kebiasaan tak terpuji yang sering dilakukan, mengkritik sekadar mengkritik dengan menyalahkan serta tak memberi solusi. Kritik semacam ini harus dihindari.
          Ketiga, menegedepankan semangat kebersamaan untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Kebersamaan dan persatuan mutak dibutuhkan dalam membangun mewujudkan cita-cita bersama. Kesadaran hal itu harus selalu tertanam dalam setiap langkah, termasuk saat mengoreksi keadaan kita sendiri.
          Walhasil, saling menyalahkan tidak akan memberi jalan keluar. Bisa jadi memperkeruh dan mempersulit. Karenanya harus ditinggalkan.  Saling menyalahkan bukan budayah, bukan karakter bangsa kita. Tidak ada pilihan bagi kita kecuali menghadapi kesulitan ini secara bersama-sama, bersatu paduh, saling menopang dan mendukung. Dan insya Allah, badai pasti akan berlalu. Kesulitan berganti kemudahan. Amin.Wa Allahu Alam

         


       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar