Sabtu, 15 Agustus 2015

Mengatasi Calon Tunggal Dalam Pilkada


          Dari tujuh daerah yang awalnya memiliki calon tunggal kepala daerah  dalam pilkada 2015 yaitu Surabaya, Pacitan, Blitar, Tasikmalaya, Samarinda, Timor Tengah Utara, Mataram,   kini setelah perpanjangan waktu pendaftaran berakhir kemaren, 11 Agustus 2015 tersisah empat daerah. Keempat daerah yang dinyatakan diundur pelaksanaan pilkadanya pada tahun 2017 karena hanya ada calon tunggal itu adalah Timor Tengah Utara, Mataram, Blitar, dan Tasikmalaya.
          Munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah  merupakan fenomena baru. Dan menariknya, muncul pada saat pilkada akan dilaksanakan secara serentak. Keadaan ini membuat gelisah berbagai pihak termasuk pemerintah pusat, dalam hal ini KPU. Pasalnya, karena hal itu penyelenggaraan pilkada serentak kembali dipertanyakan kesiapannya oleh beberapa pihak. Wacana pengeluaran Perpu sempat bergulir. Sampai akhirnya, memutuskan memperpanjang waktu pendaftaran.
          Fenomena bakal calon tunggal di beberapa daerah saat ini, menurut  Ardi Winangun (2015) dilatar belakangi oleh empat hal, pertama, karena faktor trauma. Seperti kita ketahui bersama sebelumnya, pemilukada selalu meninggalkan masalah bagi yang kalah juga yang menang. Biaya besar yang dihabiskan untuk modal pemilukada adalah masalah utamanya. Baik yang menang apalagi yang kalah sama-sama dililit hutang akibat pencalonan. Bedanya, yang menang bisa sedikir lega, dengan memutar otak bagaiman caranya modal bisa kembali. Berbeda dengan yang kalah, mereka harus gigit jari kehilangan harta dalam jumlah yang cukup banyak. Karena itu, tak sedikit dari mereka yang stres bahkan gila. Biaya besar dihabiskan untuk logistik kampanye, sosialisasi, menggerakan massa, sampai money politik atau membeli suara. Menegok hal itu, banyak bakal calon yang berpikir ulang. Mereka merasa takut. Ketakutan itu tak hanya dirasakan oleh bakal calon dari jalur independen, tokoh-tokoh partai pun merasakan hal serupa.
          Kedua, karena susahnya mencari kata sepakat antara gabungan partai politik yang akan mengusung. Kata sepakat akan sulit dicapai saat menentukan siapa kepala daerah dan siapa yang menjadi wakilnya. Tidak ditemukannya kata sepakat sampai detik akhir pendaftaran menyebabkan gagalnya pencalonan.
          Ketiga, faktor incumbent yang berprestasi yang mencalonkan kembali. Pencalonan mereka yang telah nyata-nyata dicintai rakyat karena prestasi dan keberhasilannya dalam memimpin dan mensejahterahkan mereka membuat calon lain berpikir ulang untuk berhadapan melawannya. Dalam hal ini, Walikota Surabaya, Tri Rismaharini contohnya.
Keempat, calon tunggal, bisa juga dikarenakan adanya kepala daerah yang dominan dan kuat. Partai politik dan DPR sepertinya tak berdaya atau ewuh pakewuh menghadapai kepala daerah semisal itu, yang hendak maju kembali dalam Pemilukada. Tokoh sentral nan kuat di sebuah daerah membuat tokoh-tokoh lain mati kutu, tak bisa berbuat banyak, termasuk mencalonkan diri.
Kelima, saya menambahkan, fenomena calon tunggal juga disebabkan lambatnya regenerasi kepemimpinan di partai politik. Itu terjadi tidak hanya di daerah bahkan di pusat. Keterlambatan itu karena keengganan kader senior untuk memberi kesempatan lebih luas pada generasi muda. Mereka kekeh mempertahankan diri di posisinya, termasuk dalam kaitan perebutan bakal calon kepala daerah. Dan saat mereka tumbang di awal laga saat pendaftaran, junior mereka belum atau tidak siap mengantisipasinya.
Bagaimana ke depan?
          Mengatasi permasalahan di atas, menurut hemat saya ada beberapa hal yang bisa diupayakan agar fenomena calon tunggal tak terjadi lagi di waktu yang akan datang pertama, regenerasi kepemimpinan yang baik dan cepat. Regenerasi adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan untuk menghindari terputusnnya kepemimpinan. Regenerasi biasanya dihambat oleh keengganan senior memberi kesempatan yang lebih longgar pada junior. Mustinya, senior bersikap bijak, tahu diri, jangan memaksa kehendak. Faktor lain yang menghambat regenerasi menurut  Asrinaldi A (2015)  adalah pertimbangan pragmatis justru menjadi dominan dalam menentukan pemimpin di partai politik. Karena itu, mendudukan kembali figur partai dalam kepengurusan menjadi pilihan mudah. Bahkan, tidak jarang kelompok yang mendukung status qua di kepengurusan tetap ingin memperjuangkan ketua lama kerena pertimbangan keuntungan yang mereka dapatkan (print Kompas.com, 11, April 2015) Hal demikian tidak hanya terkait pada persoalan kepemimpinan di internal parta, juga saat menyiapkan pemilukada. Di sisi lain, pragmatisme seperti itu menunjukkan keengganan generasi muda (baca:junior) mengambil alih kepemimpinan. Mereka lebih memilih berada pada zona nyaman dalam ketiak seniornya. Ke depan, kedua belah pihak (senior-junior) harus siap bekerja sama. Senior siap dan legowo untuk lengser. Junior siap mengambil alih kepemimpinan.
          Kedua, meminimalisir biaya. Dalam pimilukada, menjadi rahasia umum, anggaran terbesar yang harus siap digelontorkan oleh calon kepala daerah adalah memenuhi kebutuhan money politic, atau bagi-bagi uang pada pemilih. Bagi-bagi uang menjadi kebiasaan buruk para calon kepala daerah untuk meraih simpati dan suara. Money politk sebenarnya dilarang, dapat dijerat oleh hukum. Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999  menyebutkan, barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.  Namun demikian, pembuktiaannya sangat sulit. Karena kedua bela pihak (pemberi-penerima) sama-sama saling membutuhkan. Para pemilih memilih cara pragmatis karena menurut mereka memilih dalam setiap pemilihan baik kepala daerah maupun calon legeslatif tidak berpengaruh apa pun bagi kehidupan mereka. Ke depan, penegakan hukum dalam pencegahan dan penindakan money politik harus lebiih tegas. Ketegasan akan menghadirkan efek jerah sehingga diharapkan dapat meminimalisir praktek money politic.
          Walhasil, regenerasi yang baik dan pelaksanaan pemilukada yang efesien, efektif sangat berpengaruh dalam menghadirkan calon-calon pemimpin daerah yang siap tarung, berkompetisi dengan sehat. Sehingga, insya Allah, kita tidak akan terjebak lagi pada persoalan calon tungggal dalam setiap pemilukada di masa yang akan datang. Amin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar