Sabtu, 15 Agustus 2015

TIDAK SEKADAR PASANG BENDERA


Beberapa hari terakhir lingkungan  kita ramai dengan nuansa merah putih. Ada bendera, spanduk, umbul-umbul dan lainnya. Semua menggambarkan simbol bendera negara. Dari halaman kantor pemerintah, pusat perbelanjaan, perbankan, perusahaan swasta,  pasar daerah sampai di depan rumah. Di sepanjang jalan raya, lorong-lorong sempit, sampai perkampungan kumuh, semua memasang bendera. Bendera merah putih terpasang di mana-mana. Pemasangan bendera itu bertujuan untuk menyambut, memperingati  Hari Ulang Tahun RI yang ke 70.
          Pemasangan bendera menjelang HUT RI menggambarkan beberapa hal, pertama, menunjukkan identitas diri sebagai bangsa. Pengakuan sebagai sebuah bangsa diperlihatkan dengan menunjukkan identitas. Dan bendera adalah salah satu identitas suatu bangsa atau negara. Dalam insklopedi bebas Indonesia, bendera diartikan sebagai sepotong kain, sering dikibarkan di tiang, umumnya digunakan secara simbolis untuk memberikan sinyal atau identifikasi. Hal ini paling sering digunakan untuk melambangkan suatu negara untuk menunjukkan kedaulatannya. (id.wikipedia.org/wiki/Bendera)
          Menunjukkan identitas diri sebagai bangsa didasari pada rasa bangga pada bangsa sendiri. Tanpa perasaan bangga, tak mungkin orang menunjukkan identitas diri. Perasaan bangga sebagai bangsa adalah sebuah kesadaran diri bahwa ia bagian yang tak terpisahkan dari bangsa dan negara.
          Kedua, semangat cinta tanah air. Pemasangan bendera juga menandakan semangat cinta tanah air yang kita miliki. Bendera sebagai simbol negara dikibarkan, dijunjung tinggi, dihormati menunjukkan kecintaan kita pada tanah air masih cukup kuat.  Kecintaan diungkapkan, diapresiasikan melalui bendera sebagai simbol negara juga bangsa.
          Ketiga, memeriahkan hari jadi. Fenomena pemasangan bendera menggambarkan kebersamaan, kekompakan kita semua dalam merayakan hari jadi negara dan bangsa tercinta, RI. Kemerian seperti itu bisa dimaklumi. Bukankah kemerdekaan merupakan sesuatu yang sangat mahal, yang barang kali tak ternilai harganya. Jadi wajar bila HUT RI dirayakan oleh segenap rakyat. Kemeriaan itu juga bisa dilihat dari digelarnya berbagai macam lomba (di berbagai tempat oleh berbagai lapisan masyarakat) yang menghibur seperti lomba balap karung, makan  kerupuk, tarik tambang sampai panjat pinang. Hanya yang menjadi pertanyaan, apa benar kita sudah merdeka?
Merdeka atau setengah merdeka
          Menyambut, memeriahkan, dan memperingati HUT RI setiap bulan Agustus harusnya tidak sekadar memasang bendera tapi menjadikannya sebagai monentum bersama untuk mengevaluasi diri, apa benar kita telah merdeka? Atau jangan-jangan kita hanya setengah merdeka, bahkan mungkin juga belum merdeka.
          Untuk menjawabnya mari kita mulai dengan memaknai dan mengartikan kemerdekaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka diartikan sebagai 1 bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri; 2 tidak terkena atau lepas dr tuntutan; 3 tidak terikat atau tergantung pada pihak tertentu; leluasa. (Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008)
          Melihat arti di atas, merdeka dalam konteks kebangsaan dapat diartikan sebagai terbebas dari penjajahan sehingga bisa berdiiri sendiri, tak bergantung dengan negara lain, leluasa beerbuat apa pun untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta kemajukan bangsa dan negara. Nah, sekarang mari kita bercermin, mengevaluasi kemerdekaan kita. Apa kita memang benar-benar merdeka atau sebaliknya?
          Melihat bahwa negeri kita tidak dalam keadaan terjajah secara fisik oleh satu negara manapun tentu kita berani menyebut merdeka. Tapi, bagaimana dengan penjajahan jenis lain secara ekonomi misalnya, apa kita merdeka? Jika bangunan ekonomi bangsa  yang ditopang oleh utang luar negeri yang mencekik,  tentu kita tidak bisa berteriak “merdeka”.  Demikian politik. Saat setiap kebijakan politik pemerintah terkontrol oleh kehendak asing dalam hal ini dunia internasioal masih tepatkah  mengatakan bahwa  kita bangsa yang merdeka, berdaulat? Jawabanya jelas tidak tepat lagi. Belum lagi budaya kita? Hukum kita? Ringkasnya, masih banyak yang harus kita evaluasi untuk membuktikan bahwa kita benar-benar merdeka. Merdeka dalam segala hal dan bidang. Merdeka di setiap saat dan keadaan. Merdeka yang memberikan keleluasaan dan kemandirian untuk menentukan nasib ke depan. Tujuh belas Agustus adalah momentum yang pas untuk tujuan itu.
Mengisi Kemerdekaan             
          Karenanya ditegaskan kembali, tak cukup memperingati HUT RI dengan sekadar memasang bendera. Kita harus berbuat, mengisi dan memaknai kemerdekaan yang sesungguhnya. Ada beberapa point penting dalam mengisi kemerdekaan, diantaranya adalah pertama, menjaga persatuan, kebersamaan. Persatuan adalah modal dasar pembangunan. Persatuan ibarat pondasi yang akan mengantarkan Indonesia meraih kemajuan. Sebagai negara dan bangsa yang mejemuk baik secara agama, geografis, etnis, ideologi, budaya dan lainnya Indonesia memiliki potensi konflik yang cukup menakutkan. Karenanya pemahaman Bhineka Tunggal Ika harus menjadi ideologi final tentang kemajemukan bangsa. Bhineka Tunggal Ika menjadi harga mati yang tak boleh ditawar, yang semangatnya harus dijaga terus. Kita bisa bercermin dengan negara-negara Timur Tengah, konflik berkepanjangan yang berawal dari koyaknya persatuan dan kebersamaan membuat mereka terjajah oleh keadaan. Perang saudara tak berakhiran.
          Kedua, mempertahankan, mengamalkan Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang telah digali oleh para pendahulu dari akar budaya yang kokoh harus dipertahankan, dijaga selamanya. Jangan biarkan bila ada pihak yang mengganggu, apalagi berniat menggantinya. Karena Pancasila terbukti menjadi solusi tepat bagi kebersamaan kita sebagai bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Taufiq Keimas, mantan ketua MPR RI, menyebut Pancasila, NKRI,  Bhineka Tunggal Ika , juga UUD 1945 sebagai pilar negara yang harus dijaga. Bila pilar itu runtuh, maka runtuhlah Indonesia.
Ketiga, mengutip ungkapan yang sering diucapkan presiden Jokowi kita harus kerja, kerja dan kerja. Kita harus memberi kontribusi pada bangsa dan negara dengan apa yang dapat kita lakukakan. Para penyelenggara negara (baca:pemerintah) mengemban amanat dengan jujur dan baik adalah pengabdian sekaligus wujud nyata mengisi kemrdekaan. Ambilah kebijakan yang mensejahterakan, jangan mengecewakan rakyat yang telah memberikan kepercayaan. Dan rakyat jangan tinggal diam, berpangku tangan. Jangan manja. Bangkit songsong masa depan dengan bekerja siapa pun anda. Berilah dukungan pada program-program pemerintah, tentu yang positif. Kekompakan kita semua akan mempercepat mengantarkan kita kepada  kemerdekaan sebenarnya.
Akhirnya, memaknai kemerdekaan jangan terjebak pada kegiatan seremonial yang simbolik semisal pemasangan bendera, upacara, lomba-lomba. Maknailah kemerdekaan dengan melakukan pembangunan. Bekerja, bekerja, dan bekerjalah. Sekecil apapun peran kita, akan berpengaruh signifikan bagi bangsa dan negara. Semoga. (Pernah dimuat di harian Radar, Selasa 11 Agustus 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar