Sabtu, 15 Agustus 2015

Terobosan Di Awal Tahun Pelajaran


          Di awal tahun pelajaran 2015-2016, Mendikbud membuat terobosan yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan bagi para guru atau dunia pendidikan pada umumnya. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut seperti penegasan kembali pentingnya penanaman nilai-nilai luhur, budi pekerti, karakter. Sebab apa yang yang ditegaskan dalam permendikbud sebenarnya telah dilakukan oleh guru dan sekolah, tentu tidak semua. Artinya ada juga yang belum dilaksanakan.
          Namun demikian, upaya Kemendikbud dalam penumbuhan budi pekerti pada siswa harus diapresiasi oleh semua pihak terkait. Kalangan pendidik harus lebih serius memperhatikan, menyikapi  hal-hal yang ditekankan, ditegaskan dalam permendikbud tersebut. Ini dapat dijadikan evaluasi bersama bahwa apa yang telah dilakukan selama ini seperti upacara bendera, berdoa sebelum belajar, bersalaman saat masuk dan keluar kelas, dan lainnya belum terlihat hasilnya secara maksimal. Alasan ini yang barangkali melatar belakangi lahirnya Permendikbud Nomor 21 tahun 2015 itu.
          Kemudian Permendikbud juga harus dimaknai sebagai peringatan untuk semua, terutama  pendidik dan orang tua bahwa penanaman nilai-nilai, karakter, budi pekerti membutuhkan waktu panjang. Yakni sebuah proses yang terus menerus dilakukan, berupa pembiasaan yang diharapkan menjadi  karakter peserta didik. Pembiasaan memerlukan lingkungan. Nah, menjadi tanggung jawab semua (di sekolah, di rumah, di masyarakat) untuk menciptakan lingkungan yang baik serta kondusif bagi berkembangnya pembiasaan-pembiasaan nilai-nilai positif. Lingkungan yang mendukung akan mempercepat pembiasaan nilai, budi pekerti menjadi karakter.
Terobosan, Permasalahan dan solusi
          Di samping sesuatu  yang biasa dilakukan seperti upacara bendera, berdoa sebelum dan sesudah belajar, bersalaman saat masuk dan pulang sekolah, dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti,  ada juga hal-hal baru yang dapat dikategorikan sebagai sebauh terobosan di dunia pendidikan kita saat ini. Terobosan ini menjadi istimewa karena diberlakukan di awal tahun pelajaran 2015-2016 ini. Berikut terobosan-terobosan itu. Pertama, keharusan orang tua mengantar anaknya di awal masuk sekolah. Ini berlaku buat semua peserta didik, tidak hanya siswa baru. Kalau bagi peserta didik baru kita sudah sering melihatnya, terutama di sekolah dasar atau sebagaian siswa baru pada tingkat menengah pertama. Untuk SLTA, kita jarang menemukannnya. Dalam peraturan Menteri tersebut semua peserta didik (baru atau lama) di semua tingkatan (SD, SLTP, SLTA) saat hari pertama sekolah harus diantar oleh orang tua mereka. Tidak cukup hanya itu. Mereka (orang tua) juga diminta menitipkan anak-anaknya pada guru di sekolah. Seperti serah terima tanggung jawab, masing-masing dari mereka (orang tua-guru) harus memahami kewajiban dan hak masing-masing baik saat anak-anak di sekolah atau di rumah. Kedua belah pihak diharapkan dapat bekerja sama dalam membimbing, mengajar, dan mendidik mereka.
          Kaitan dengan hal di atas, Menteri Anis Baswedan pernah  menegaskan bahwa  wajah masa depan kita memang  berada di ruang-ruang kelas. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa tanggung jawab membentuk masa depan itu hanya berada dipundak pendidik dan tenaga kependidikan di institusi pendidikan. Secara konstitusional,mendidik adalah tanggung jawab negara. Namun, secara moral, mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Mengembangkan kualitas manusia Indonesia harus dikerjakan sebagai sebuah gerakan bersama. Semua harus ikut peduli, bahu membahu, saling sokong dan topang untuk memajukan kualitas manusia Indonesia lewat pendidikan. (Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, di hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2015)
          Hanya menjadi pertanyaan kita semua, bisakah hal ini dilakukan oleh wali siswa? Di tengah kesibukan, apa mereka mau melakukannya? Sebab selama ini partisipasi langsung mereka sangat minim kalau tidak mau menyebutnya tidak ada. Mereka mempercayakan begitu saja pada pihak sekolah. Mereka seakan  tidak mau pusing. Apalagi bila anak mereka beranjak dewasa (SLTP-SLTA), orang tua dengan tanpa ragu berlepas diri. Mereka mempercayakan pada anak-anak mengurus urusan sekolah mereka sendiri
          Menyikapi hal di atas, pemerintah hendaknya segera melakukan sosialisasi yang cukup. Sosialisasi dapat di lakukan melalui televis, radio, media cetak.  Sosialisasi diharpakan bisa menumbuhkan kesadaran akan perlunya kebersamaan (baca:gerakan bersama) dalam mendidik anak. Orang tua selayaknya menyadari bahwa perkembangan pendidikan anak mereka tidak boleh diserahkan begitu saja pada guru di sekolah.
          Kedua, menyanyikan lagu nasional di awal pelajaran dan lagu daerah di akhir pelajaran setiap hari. Lagu nasional meliputi lagu wajib seperti Indonesia Raya atau lagu perjuangan, juga lagu kebangsaan. Untuk lagu daerah tentu masing-masing daerah berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk menamkan kecintaan pada tanah air, membangkitkan semangat kebangsaan, menumbuhkan rasa nasionalisme dan memperkenalkan keragaman daerah. Dari nyanyian tersebut peserta didik ditanamkan kesadaran diri sebagai warga negara yang harus mampu mengisi kemerdekaan dengan membangun bermodalkan keragaman potensi daerah. Ini makna bineka tunggal ika yang diupayakan tertanam dan tumbuh berkembang sejak dini.
          Dan menjadi tantangan bagi setiap guru untuk dapat melantunkan lagu-lagu tersebut dengan baik. Guru harus hapal lagu-lagu baik lagu nasional maupun lagu daerah. Selama ini masih ada (bahkan mungkin banyak)  guru yang belum hapal lagu-lagu dimaksud. Paling guru kesenian yang biasa banyak menguasai lagu-lagu itu. Guru mestinya menguasai sepenuhnya lagu-lagu itu sebagai contoh dan teladan buat anak didik mereka. Nah, untuk tujuan ini guru tak perlu merasa malu mempeelajari kembali lagu-lagu, bila perlu pemerintah memfasilitasi melalui diklat misalnya. Ini penting, agar tujuan permendikbud tersebut tercapai.
          Ketiga, menggunakan waktu 15 menit sebelum pembelajaran berakhir dengan membaca buku bebas, bukan pelajaran. Ini upaya menanamkan kecintaan pada buku dan membaca. Karenanya, di setiap kelas harus disediakan buku-buku bacaan. Bisa juga kliping dari surat kabar, majalah, atau lainnya. Bagi sekolah yang tidak banyak memiliki buku bacaan atau tidak mempunyai perpustakaan, guru dituntut lebih kreatif lagi  menghadirkan bacaan bagi anak. Misalnya, dengan gerakan sedekah buku, infaq bacaan. Usaha seperti ini dapat melibatkan wali siswa, intasnsi terkait, atau masyarakat luas.
          Akhirnya, kita semua harus memaknai penanaman budi pekerti sebagai serangkaian kegiatan non kuirkuler di sekolah yang bertujuan untuk menciptakan iklim sekolah yang menyenangkan bagi seluruh warga sekolah  dan menumbuhkan budi pekerti anak bangsa. Dan semoga langkah ini menjadi sebuah terobosan yang memajukan pendidikan di Indonesia. Amin.SELAMAT MEMASUKI TAHUN PELAJARAN 2015-2016 (Dimuat di Harian Radar, Senin 27 Juli 2015)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar