Sabtu, 15 Agustus 2015

CATATAN TENTANG PASAL PENGHINAAN PRESIDEN


          Seperti diketahui oleh khalayak, internet dengan kemudahan yang ada telah menjadi tempat pertentangan, perselisihan, dan saling hina. Media sosial seperti Facebook, twiter, BBM, Whatsapp, atau lainnya dijadikan media saling ejek, saling hina, melahirkan permusuhan sesama anak bangsa. Ironisnya yang terjebak pada prilaku tak terpuji itu bukan hanya masyarakat awam seperti buruh kasar, tukang ojek,  tetapi seluruh lapisan masyarakat. Tak sedikit dari kalangan terdidik seperti para politisi, artis, kaum selebriti, bahkan agamawan. Ironis memang.
          Di antara yang menjadi sasaran empuk penghinaan adalah Pak Jokowi, presiden kita. Sejak masih menjabat Walikota Solo, hinaan, cacian kerap kali terarah padanya. Menjadi presiden tidak menjadi penghalang, orang tetap saja menghina beliau dengan berbagai cara. Dari yang sederhana sampai yang sangat keji dan kejam. Hinaan pada Jokowi memang awalnya berlatar belakang mengkritisi kebijakan, sikap, atau keputusan  yang diambil. Karena kebencian yang tertanam (Baca: bisa jadi dendam) kritik tidak lagi membangun dan memberi solusi tapi berakhir dengan cacian, makian, dan hinaan. Kritik tidak lagi berdasarkan logika, melainkan nafsu membara. Sebagai orang nomor satu di negeri ini, juga sebagai warga negara biasa sebenarnya bisa saja beliau memidanakan para penghinannya., namun selama ini tidak dilakukannya.
          Dan sedihnya lagi, penghinaan itu dilakukan juga oleh para kesohor dan tokoh di negeri ini.  Alih-alih menjadi teladan bagi orang kecil atau orang biasa, mereka justru mempertontonkan kekejian yang dilakukanya. Anda masih ingat, Mantan KSAU, Marsekal (Purn) Chappy Hakim menyebut Jokowi idiot di Twitter atas pemilihan Panglima TNI. Politisi PKS, Fahri Hamzah menulis di Twitter  bahwa ide Jokowi menjadikan 1 Muharram sebagai hari santri adalah sinting. Roma Irama, si raja dangdut dengan keji menuduh ibunda Jokowi sebagai seorang non muslim. Ahmad Dani, musisi kesohor negeri ini menyebut beliau sebagai pengecut dan ingusan. Dan Masih banyak lagi.
          Selama ini Pak Jokowi hanya diam menyaksikan hinaan dan cacian dari rakyatnya. Saya tertarik mengutip tulisan Susy Haryawan untuk  membandingkanya dengan Pak Karno. Pendiri bangsa sekaligus presiden pertama itu pernah marah besar kepada kelompok mahasiswa yang menulis di tembok rumah istri beliau dengan kata lonte.  Beliau katakan,  dia itu istriku, kalian anakku. Kalian mengatakan ibumu lonte? Presiden, itu adalah pemimpin kita, bapak kita, meskipun tidak memilih, mau tidak mau kita semua harus mengakui beliau sebagai bapak atau orang tua kita sendiri. (http://www.kompasiana.com/paulodenoven/presiden-bukan-simbol-negara)
          Beberapa waktu lalu Presiden (baca:pemerintah) mengusulkan pasal tentang penghinaan presiden dalam revisi KUHP yang baru. Jokowi mengungkapkan, pasal penghinaan presiden yang diajukan kali ini sebenarnya memberikan penjelasan tegas antara fitnah dan kritik. Sebelum revisi, menurut presiden, seorang pengkritik presiden bisa lebih rentan dipidana karena masih banyak celah hukum yang ada. Langka Jokowi kaitan dengan ini menuai banyak kritik, terutama dari kalangan aktivis demokrasi dan poliktikus kontra pemerintah. Mereka beranggapan lima pasal terkait penghinaan Presiden dan Wapres tersebut bagaikan pasal karet yang rentan disalahgunakan. Pasal itu tidak menyebutkan secara tegas dan pasti batasan-batasan perbuatan yang digolongkan sebagai penghinaan. Lebih jauh  pemerintah dianggap menentang putusan pengadilan dengan memasukkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi setelah melalui uji materi atau judicial review pada 2006.
Catatan Buat Kita Semua
          Terlepas dari pro kontra yang ada, menurut hemat saya ada beberapa catatan yang barangkali dapat dijadikan renungan dan pemikiran kita semua, pertama, bahwa mengkritiksi pemerintah merupakan tanggung jawab kita semua. Artinya pemerintah harus kita kontrol bersama. Jangan sampai melenceng dari rel, janji-janji yang pernah diucapkan saat kampanye. Kritik harus dipandang sebagai pelengkap yang dapat memperbaiki sekaligus mengontrol jalanya roda pemerintah. Kemudian kritik harus mengedepankan semangat membangun, bukan menjatuhkan.
Kedua, sebagai negara demokrasi, pemerintah harus selalu siap dikritik dan menerima masukan dari masyarakat. Untuk itu, pemerintah selayaknya selalu membuka ruang dialog dengan publik. Pemerintah tidak boleh alergi dengan semua kritik dari siapa pun.  Kesiapan menerima kritik menunjukkan kedewasaan pemerintah, yang akan direspond positif oleh rakyatnya.
          Ketiga sebagai bangsa yang berbudaya dan berkarakter, kritik harus dibangun secara santun, mengedepankan etika dan moral. Kritik jangan sampai terjebak pada caci maki, saling menghina, atau membunuh karakter. Ketika kritik dilakukan dengan cara tidak bermoral seperti itu, kemurnian kritik dapat disangsikan. Bisa jadi kritik itu sebenarnya bukan kritik membangun tapi lebih dekat pada nafsu ingin menjatuhkan, atau dendam kusumat. Dan pastinya, kritik semisal itu tak akan menyelesaikan masalah, atau memperbaiki keadaan. Bahkan kritik semacam itu akan melahirkan konflik yang berkepanjangan, yang menghabiskan energi kita semua.
          Bila hal-hal di atas kita (pemerintah dan rakyat)  pahami, pegang teguh serta berkomitmen menjaga dan menjalankannya, maka tak ada persoalanya apakah pasal penghinaan itu ada atau tidak.  Ada atau tidak adanya pasal-pasal yang sekarang menjadi polemik itu tidak akan menjadi masalah buat pemerintah atau Presiden, juga buat rakyat yang mengkritisinya. Masyarakat leluasa mengkritisi, sedang pemerintah membuka setiap masukan. Kedua bela pihak saling menghargai, menjungjung tinggi etika, dan moralitas.
          Nah, saatnya sekarang menunjukkan kedewasaan kita semua. Masih banyak persoalan penting bangsa ini yang harus diselesaikan. Persoalan usulan pasal penghinaan presiden biarlah mengikuti proses hukum yang ada.  Toh, masih sebatas usulan. DPR pun pasti akan mengkajinya lebih jauh. Semoga mereka dapat menyelesaikannya dengan bijak. Amin. (Dimuat di harian Radar, Kamis, 13 Agustus 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar