Jumat, 11 September 2015

Haji Bagi Yang Mampu, Cukup Satu Kali


          Dari sejumlah bandara di tanah air, kloter demi kloter jamaah haji Indonesia meninggalkan tanah air menujuh tanah suci, Mekkah. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, profesi, dan status sosial. Mereka berangkat ke baitullah setelah sekian lama menunggu. Animo masyarakat muslim yang sangat tinggi untuk berhaji memperpanjang antrian, menjadi semakin lama menunggu. Berangkat haji menjadi impian setiap orang Islam karena haji merupakan salah satu rukun Islam. Yang bila ditunaikan, seorang merasa sempurna keislamannya.
          Kewajiban haji berdasarkan firman Allah SWT, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS Al Imron:97) Dalam ayat ini ditegaskan bahwa kewajiban haji hanya dibebankan kepada mereka yang mampu. Al Quran menyebutnya istitha’ah.  Dalam kajian ilmu Fiqhi, istitha’ah dimaknai dengan beberapa kriteria atau prasyarat. Mereka yang terbebani istitha’ah untuk berangkat haji adalah mereka yang memenuhi kriteria atau prasyarat tersebut. Bila salah satu syarat tak terpenuhi maka gugurlah kewajiban haji.
          Adapun prasyarat istitha’ah tersebut adalah pertama, kemampuan fisik atau sehat jasmani. Dengan kesehatan tersebut seorang calon haji mampu melakukan perjalanan. Bila tak sehat, maka gugurlah kewajiban itu. Kecuali ia berkeyakinan, optimis sehat maka saat sehat wajib baginya menunaikan haji. Ini berdasarkan hadist Bukhari-Muslim. Dari Abdullah Bin Abbas RA, ia bercerita seorang wanita dari Khats’am bertanya kepada Rasulullah SAW. Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah diwajibkan untuk menunaikan haji saat dia sudah tak muda lagi (baca: sudah tua). Tetapi, dia tak mampu bertahan dalam melakukan perjalanan, apakah aku bisa mewakilkan haji untuknya? Rasulullah SAW menjawab, lakukanlah haji untuk mewakilinya. (HR.Bukhari-Muslim)
          Kedua, kemampuan finansial.  Artinya seorang yang akan pergi haji hendaknya memiliki bekal yang cukup. Bekal dalam artian segala hal yang berkaitan dengan biaya perjalan dari berangkat sampai pulang kembali ke tanah air. Dalam cakupan ini, orang yang ditinggalkannya pun (yang menjadi kewajibanya seperti anak atau lainnya) dapat dinafkahi selama ditinggalkannya. Jika syarat ini tak terpenuhi, maka gugur kewajibannya. Nabi Muhamad SAW bersabda, cukuplah dosa bagi seseorang (tatkala) ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggung jawabnya. (HR. Nasa’i dan Hakim)
          Kaitan dengan biaya  perjalanan, dibolehkan bagi seseorang untuk menabung guna mencukupi biaya perjalanan haji teresebut. Kebulatan hati, tekad yang kuat serta niat yang ikhlas untuk berangkat haji akan membuka berbagai jalan mewujudkannya. Maka dalam banyak kasus, calon jama’ah haji terkadang berasal dari kalanngan ekonomi kelas bawah seperti para buruh atau lainnya. Demikianlah apa yang dipahami dan diyakini oleh orang beriman  sebagai panggilan Allah SWT.
          Ketiga, faktor keamanan. Kewajiban haji berlaku saat ada jaminan keamanan dalam perjalanan atau tempat yang ditujuh. Bila ada ancaman keamanan yang dapat mengancam keselamatan jiwa calon jama’ah haji, misalnya, salah satu tempat manasik haji seperti Mina atau Muzdalifah dalam keadaan tak aman karena alasan tertentu maka kewajiban haji menjadi gugur untuk tahun itu. Kewajiban akan berlaku kembali saat situasi keamanan sudah kembali normal. Ini berdasarkan pada kaidah dalam Ilmu ushul Fiqhi, “La dhororo wa la dhiroro”. Artinya, tidak boleh ada faktor kemudharatan atau dimudharatkan.
          Sebaliknya, bagi mereka yang mampu tapi tak menunaikannya, Allah SWT mengecam dengan sangat keras. Dalam Al Quran ditegaskan, barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha kaya (tidak memelukan sesuatu) dari alam semesta. (QS.Al Imron:97) Artinya Allah akan berlepas diri darinya. Amal ibadah lainnya, tak dipandang oleh Allah SWT. Allah menganggapnya bukan dari bagian umat Islam. Kaitan dengan hal ini, khalifah Umar mengaskan, barang siapa yang mampu tapi tak menunaikan haji sama saja mereka seperti Yahudi atau Nasrani.
Haji Cukup Satu Kali
          Pada prinsipnya, kewajiban haji itu hanya satu kali dalam semur hidup. Tidak dianjurkan seorang mengulang-ulang haji. Apalagi saat kondisi antrian seperti di tanah air yang cukup lama bahkan mencapai hitungan puluhan tahun. Mengulang haji sama saja menutup kesempatan atau mempersulit saudara kita yang belum melaksanakannya. Demikian itu jelas tidak dianjurkan oleh agama. Dalam kajian ilmu Fiqhi ditegaskan hal yang sama. Diantara alasannya adalah bahwa Rasulullah SAW selama hidupnya hanya melakukan haji satu kali. Rasulullah SAW menunaikan haji pada tahun kesepuluh hijriyah walau haji telah diwajibkan sejak tahun keenam. Kaitan dengan hal ini, para sahabat nabi SAW, pernah menanyakan tentang mengulang-ulang menunaikan haji. Rasulullah SAW diam sejenak. Kemudian beliau menjawab, andai  aku katakan iya atau boleh, tentu akan menjadi wajib (mengulang-ulang haji sampai tiga kali lebih) sementara kamu tidak akan mampu melaksanakannya.
          Jawaban Rasulullah SAW di atas dipahami sebagai isyarat atau peringatan bagi umat Islam agar tidak berlebihan atau mengulang-ulang dalam melaksanakan ibadah haji. Walau demikian melakukannya (mengulang haji) masih diperbolehkan. Hanya ibadah haji tersebut  dikategorikan sebagai ibadah sunnah.
          Kemudian, ditambah lagi dengan latar belakang sosial masyarakat kita. Seperti disinggung sebelumnya, animo masyarakat menunaikan haji sangat tinggi dari hari ke hari. Waktu tunggu haji hari ini rata-rat lima belas tahun. Maka menjadi tak arif, tak adil, bila orang yang sudah pernah menunaikan haji diberi kesempatan kembali mendaftar.  Pemerintah selayaknya membatasi mereka untuk memberi kesempatan yang lebih luas kepada lainnya yang belum menunaikan.
          Akhir kata, haji adalah kewajiban setiap muslim. Dengan menunaikannya keislaman menjadi sempurna karena haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh mereka yang mampu. Namun demikian, bagi yang diberi kemampuan lebih tidak seharusnya mengulang-ulang haji. Berilah kesempatan kepada yang lain. Bukankah masih banyak amal ibadah lain yang lebih bermanfaat? Jangan beribadah dengan menyertakan emosi, apalagi dengan niat mencari gengsi, atau pamer. Bukankah amal yang tidak disertai niat yang ikhlas akan menjadi sia-sia? Rasulullah SAW mengaskan, sesungguhnya amal perbuatan manusia itu bergantung pada niatnya. Lebih baik memberangkatkan haji orang lain daripa mengulangnya.Wa Allahu A’lam
(Dimuat Di Harian Radar, Rabu, 16 September 2015)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar