Rabu, 09 September 2015

Jangan Pernah Berkata "Bodoh" ke Anak Didik (Kiat Tumbuhkan "Crystallizing Expriences")


          Ada sebagian guru yang terkadang (karena tak bisa menahan emosi) megucapkan kata negatif seperti “bodoh, “ nakal”,  ‘bandel” atau lainnya pada peserta didik. Ucapan itu keluar, tentu ada alasannya. Bisa jadi karena sang peserta didik tak bisa mengerjakan tugas, atau tidak mampu menjawab pertanyaan guru.  Bisa juga karena peserta didik tersebut susah diatur, gemar membuat kegaduhan, tidak bisa diam, mengobrol seenaknya saat pembelajaran di dalam kelas. Lebih dari itu, ada  guru yang lepas kontrol dengan menghukum siswanya dengan menampar, memukul, membentak, atau memerintahkanya berdiri dengan satu kaki di halaman sekolah.
          Bagi peserta didik, perlakuan guru seperti di atas bila dilakukan berulang-ulang akan berpengaruh (baca:berbekas) pada situasi kejiwaannya. Perlakuan tak seharusnya seperti itu membuatnya sedih, minder, merasa takut. Dalam ilmu psikologi keadaan tersebut disebut Paralyzing Expriences. Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia  dapat diartikan sebagai pengalaman yang melumpuhkan. Istilah yang digagas oleh Thomas Armstrong itu didefinisikan sebagai jenis pengalaman yang memalukan begitu parah sehingga menghasilkan respon negatif dalam waktu lama untuk situasi yang sama.        
          Karena efek negatif yang serius bagi perkembangan jiwa anak didik, maka selayaknya bagi guru untuk berhati-hati, jangan sampai mengucapkan perkataan negatif atau melakukan tindakan yang menyebabkan  Paralyzing Expriences pada peserta didiknya. Untuk itu, menurut hemat saya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan seorang guru untuk menghindari dan mengantisipasinya, pertama, menganggap semua anak cerdas. Guru harus meyakini bahwa Tuhan tak pernah menciptakan produk gagal. Guru harus memahami kecerdasan majemuk yang ada pada setiap didiknya, siapa pun dia. Anak didik kita adalah para bintang yang akan cemerlang di bidangnya. Mereka para juara yang bersinar sesuai bakat yang ada pada dirinya. Hanya bakat-bakat itu masih terpendam. Nah, tugas guru, juga orang tua menemukan dan mengembangkannya.
          Kedua, nilailah kemampuan anak didik dari sudut pandang yang luas. Maka, dari setiap anak didik akan ditemukan  kelebihan dan keunggulannya. Jangan menilainya dari satu sudut atau satu aspek saja. Sebab bila menilainya dari satu sudut saja, guru akan mudah menemukan kesalahan yang memancing emosi. Dalam bukunya, Gurunya Manusia,  Munif Chatib (2012) menjelaskan bahwa kemampuan anak-anak kita itu seluas samudra. Sayangnya orang tua, guru, sekolah atau sistem pendidikan telah mereduksi, mempersimpit, mengecilkan kemampuan anak itu. Sehingga samudra itu berubah menjadi selokan-selokan kecil.
          Ketiga, menghindari segala hal yang berbau kekerasan terhadap anak.  Menurut Moore (dalam Nataliani, 2004), kekerasan atau perlakuan salah terhadap anak pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, antara lain kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan emosional.
Melawannya dengan Crystallizing Expriences
          Dalam kajian psikologi, anak yang terkena Paralyzing Expriences atau pengalaman melumpuhkan, mengatasinya harus dengan tindakan atau ucapan yang dapat menumbuhkan Crystallizing Expriences. Crystallizing Expriences dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai pengalaman yang mengkristal atau pengalaman yang positif. Crystallizing Expriences adalah jenis pengalaman yang menghasilkan memori yang positif dan menarik sehingga aktivitas akan dicari berulang kali dan kemungkinan akan menghasilkan bunga seumur hidup, bahkan gairah seumur hidup. 
        Untuk menghadirkan Crystallizing Expriences pada peserta didik guru harus mengulang-ulang hal-hal berikut, pertama, mengapresiasi setiap karya anak. Apa saja yang dikerjakan anak dalam kegiatan belajar mengajar guru harus mengapresiasinya. Apresiasi bisa dalam bentuk nilai, pujian, atau lainnya. Menilai dalam bentuk angka hendaknya guru memberinya dengan murah, jangan pelit. Sebab, angka itu hanya simbol yang relatif, yang belum tentu menggambarkan apa yang sebenarnya dikuasai oleh anak didik. Memberi pujian dapat menggunakan kalimat atau kata positif seperti, kamu pintar, pandai, bagus, cerdas atau sejenisnya.
          Pengalaman saat kuliah, dosen-dosen yang pelit dalam memberi nilai, bahkan terkesan menjegal mahasiswa, mereka dijuluki dosen killer. Yakni dosen yang membunuh banyak harapan, juga  potensi mahasiswa. Kelas mereka menjadi sepi. Mahasiswa lebih memilih dosen lain. Berbeda dengan di kampus, siswa SLTA, SLTP atau SD barangkali tak memiliki pilihan,  tak bisa menghindar dari situasi dan keadaan karena mereka tidak menggunakan sistem SKS seperti di perguruan tinggi.
          Kedua, sering-seringlah memberi pujian pada peserta didik. Pujian tidak hanya diberikan pada saat mereka berprestasi, bila perlu pada hal-hal sepele pun guru memberinya. Pujian akan menanamkan nilai positif pada kejiwaan anak. Sebaliknya hindarilah mengejek, mencela, menyalahkan. Apalagi menyalahkan yang tak memberikan jalan keluar atau solusi.
          Ketiga, berbagi kegembiraan. Berbagi kegembiraan pada peserta didik menaburkan kegembiraan pada mereka. Dan saat bergembira, proses belajar mengajar akan lebih mudah mencapai tujuan karena kondisi kejiwaan anak dalam kondisi baik, terbuka, siap menerima setiap informasi yang masuk. Oleh karena itu, sangat baik bagi guru bila kerap kali menceritkan sesuatu yang dialaminya, yang membuatnya bergembira. Sebaliknya, jangan sering menceritakan hal yang menyedihkan atau berbagi kesusahan di dalam kelas saat KBM.
          Keempat, memberi motivasi dengan menghadirkan contoh-contoh orang sukses. Cerita orang sukses, apalagi dari orang terdekat siswa akan sangat membantu dalam membangkitkan semangat meraih cita-cita, menggali potensi yang ada pada dirinya.
          Mengakhiri tulisan ini saya ingin bercerita. Seorang  murid (sebut saja Mahdi namanya)  datang terlambat. Guru kelas memarahi, dan menghukumnya dengan berdiri di depan kelas selama beberapa menit. Hari itu, Mahdi tak bisa terseyum apalagi tertawa karena beban rasa malu yang dirasa. Belajar terasa sangat lama dan menjenuhkan. Jangan tanya, apa pelajaran hari itu dapat diterimanya? Lain dengan Mahdi, Imelda sepulang sekolah berlari-lari sambil menyanyi. Di depan rumahnya ibunya bertanya, kenapa kau terlihat gembira? Imelda menjawab polos, guruku berkata, kamu pintar. Aku pintar, teriak hatinya kegirangan.
          Mahdi adalah korban Paralyzing Expriences sedangkan Imelda hari itu mendapatkan Crystallizing Expriences. Nah, menjadi tugas guru, para orang tua, dan kita semua untuk sedapat mungkin berkata atau bertindak kepada anak-anak yang menghadirkan Crystallizing Expriences, jangan sebaliknya. Wa Allahu Alam

         
         
       

        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar