Selasa, 16 Agustus 2016

Aku Siap Menjadi Hamba Bagimu, Guru


                Satu tahun terakhir, dunia pendidikan di tanah air diwarnai berbagai kasus menyedihkan juga memilukan. Para pendidik atau guru yang mustinya mendapat perlakuan baik, penghormatan justru menjadi obyek tindak kekerasan.  Dan ironisnya, kekerasan itu dilakukan peserta didik yang sedang dididiknya. Guru tidak dipandang sebagai orang yang wajib dimuliakan. Guru tidak lagi dihargai, dihormati. Justru sebaliknya mereka kerap menerima perlakuan yang tak pantas.
          Kasus kekerasan terhadap guru bermunculan. Belum lama, seorang dosen  Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) bernama  Nur Ain Lubis (63), tewas setelah ditikam mahasiswanya, Roymardo Sah Siregar (20), pada Senin (2/5/2016) sekitar pukul 15.00 WIB. Nur Aini Lubis dibunuh di lingkungan kampus. Ketika ke kamar mandi, ia dibuntuti oleh pelaku. Saat hendak mengambil air wudhu, sang dosen ditikam dengan pisau oleh mahasiswa semester akhir tersebut.
          Di Sidoarjo, seorang guru bernama Sambudi dilaporkan polisi karena dituduh mencubit siswanya, SS. Guru SMP Raden Rahmad Balongbendo itu mencubit karena yang bersangkutan tidak mengkuti kegiatan shalat duha bersama. SS memilih bermain di tepi sungai. Tidak terima perlakuan sang guru, orang tua SS Yuni Kurniawan melaporkannya ke Polsek Balongbendo. Yuni Kuriniawan yang merupakan anggota Kodim 0817 Gresik berpangkat Serka dari satuan intel itu menilai tindakan Sambudi sudah keluar dari konteks mendidik.
          Paling mutahir, Dasrul, guru di SMK Negeri 2 Makasar dianiaya oleh murid bersama orangtuanya. Berawal ketika  Dasrul diduga menampar muridnya,  Muh Alif (15), karena tidak membawa perlengkapan menggambar dan buku. Muh Alif kemudian menelpon ayahnya dan menceritakan kejadian tersebut. Setelah itu, orang tuanya,  Adnan  Achmad datang ke sekolah dan langsung memukul sang guru karena tidak terima anaknya dianiaya dan disuruh keluar. Dan lebih sedih lagi, sang murid  ikut memukuli gurunya.
Saya teringat ungkapan Imam Ali Bin Abi Thalib ra, aku siap menjadi hamba bagi mereka yang mengajariku walau satu huruf. Ungkapan tersebut menjelaskan betapa tinggi kedudukan seorang guru. Guru tidak sekadar wajib dihormati, dihargai dan dimuliakan. Lebih jauh,  guru pantas menerima pelayanan layaknya seorang tuan. Apa yang ditegaskan Imam Ali Bin Abi Thalib jauh dari prilaku peserta didik kita sekarang.
 Budaya hormat kepada guru telah terkikis habis seiring berputarnya sang waktu. Murid sekarang berbeda dengan zaman saya belajar. Dulu anak didik tidak sekadar menghormati guru, sebagian mereka bahkan hanya untuk bertemu saja merasa takut, malu. Guru dianggap segalanya.  Sekarang siswa saya tidak sekadar tak takut, tak malu tapi kelewat berani dalam perkataan dan prilaku. Kedudukan guru sudah tak sakral seperti dulu lagi.
Dalam berbagai riwayat diceritakan bahwa para sahabat selalu menundukkan wajah ketika berjumpa Rasulullah SAW. Mereka tak berani menatap wajah sang rasul secara berlebihan. Saat Rasulullah SAW melakukan pembelajaran (baca:menyampaikan ajaran agama) di masjid, semua sahabat duduk menunduk seakan di atas pundak mereka ada burung.  Mereka diam, khusu’ dan fokus mendengarkan semua yang disampaikan Rasulullah SAW. Demikian sakral kedudukan seorang rasul yang tak lain adalah maha guru umat manusia
          Kedudukan guru yang mulia nan tinggi tersebut tak lepas dari peran dan jasa mereka. Mengibaratkan dengan bahasa agama, guru itu membawa manusia dari kegelapan (kebodohan) menuju cahaya (ilmu). Dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, sang maha guru Alquran menyebutnya, minadhulumati ilannur.
          Konon, setelah mendapat laporan bahwa Jepang takluk kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom, Kaisar Hirohito menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa. Dengan sekitar 250.000 guru yang masih hidup, Kaisar Jepang menyatakan tekad, dalam satu generasi, Jepang akan lebih maju dari kondisi sewaktu ditaklukan. Pada 1960-an, Jepang membuktikan dapat lebih unggul dalam teknologi dan ekonomi daribanyak negara Barat penakluknya. .Jepang menjadi negara maju. Demikan gambaran peran guru dalam membangun peradaban manusia.
          Sekarang kenapa berubah?Kenapa guru tak dimuliakan lagi? Menurut hemat saya ada beberapa hal yang melatarbelakangi. Pertama, pergeseran nilai akibat kebebasan informasi. Arus globalisasi di segala bidang membawa berbagai budaya asing dalam kehidupan kita. Serangan budaya asing tersebut memporakporandakan pondasi budaya setempat. Persoalannya adalah ketika kita tak siap membentengi budaya  sendiri. Maka tak bisa dihindari pergesearan nilai pun terjadi. Apa yang dulu dinilai baik menjadi tak baik lagi. Apa yang dulu diharuskan tak perlu dilakukan lagi. Begitu seterusnya. Budaya hormat guru mengalami pergeseran tajam. Guru dinilai  sejajar dengan siswa.
          Kedua, guru tak lagi diguguh dan  ditiru. Filosofi Jawa itu sangat tepat, selaras dengan firman Allah SWT. Dalam Alquran disebutkan, Sesungguhnya telah ada pada  Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu  bagi orang yang mengharap  Allah dan  hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Guru itu idealnya adalah teladan. Guru kudu menjadi contoh bagi peserta didik  dalam segala hal. Akhlak guru menentukan wibawa dirinya di depan peserta didik. Ketika guru tak diguguh dan ditiru, maka kedudukan, wibawa, kehormatannya akan menghilang. Poin ini kudu menjadi bahan interopeksi diri bagi para guru.
          Ketiga, salah memahami HAM. Di era modern Hak Asasi Manusia (HAM) dijadikan sebagai sesuatu yang harus dijungjungtinggi. HAM menjadi tolak ukur semua tindakan manusia. HAM  laksana agama baru. Melanggar HAM sama seperti melanggar agama. Semua harus tunduk pada HAM. Melawan HAM akan digugat oleh semua pihak. HAM betul-betul menjadi istemewa.
          Terkait dengan pendidikan, pemahaman HAM sering disalahartikan. HAM dijadikan alat legimitasi untuk memojokkan sikap dan tindakan guru dalam mendidik anak di sekolah. Tindakan guru terhadap peserta didik dalam beberapa kasus dianggap telah melanggar HAM. Atas nama HAM, peserta didik juga orang tua mengadukan guru ke aparat hukum. Padahal, ada solusi lain yang lebih bijak daripada proses hukum, jalur kekeluargaan atau musyawarah misalnya.
          Walhasil, ungkapan aku siap menjadi hamba bagi mereka yang mengajariku walau satu huruf kudu ditanamkan kembali ke peserta  didik. Ungkapan Imam Ali Bin Abi Thalib tersebut sepantasnya menjadi pandangan hidup anak didik kita guna meraih keberkahan ilmu yang diperoleh dari guru mereka. Kemudian guru dituntut untuk menyadari posisinya sebagai teladan bagi semua, peserta didik atau masyarakat luas. Dan masyarakat luas diminta arif dan bijak dalam menerapkan pemahaman HAM di dunia pendidikan. Sehingga di waktu mendatang kasus-kasus kekerasan tidak akan terjadi lagi di sekolah. Guru menjadi mulia karena jasa dan karyanya. Wa Allahu Alam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar