Sabtu, 27 Agustus 2016

Untuk Apa Sekolah Parlemen?



Seperti diketahui, kinerja DPR RI periode sekarang  sangat buruk. Mereka dinilai tak produktif terutama dalam hal legislasi. Buruknya kinerja oleh sebagian pihak diterjemahkan sebagai rendahnya kualitas, SDM anggota DPR. Namun demkian, faktor SDM tidaklah menjadi satu-satunya sebab. Ada sebab lain yang membuat kinerja legislatif lamban seperti faktor sosio politk, integritas anggota atau lainnya.
Menyaksikan hal di atas, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Ade Komarudin  mengutarakan gagasan dan wacana agar DPR membangun sekolah parlemen. Ia mengatakan sekolah parlemen dibutuhkan sebab selama ini banyak keluhan dari masyarakat mengenai kualitas orang-orang yang lolos menjadi anggota dewan. Politikus Partai Golkar tersebut meyakini, sekolah parlemen akan meningkatkan kualitas anggota dewan.
Akom memperkirakan biaya untuk sekolah parlemen  tidak banyak dan cukup dengan mengubah anggaran yang sudah ada. Dengan biaya yang minim, kualitas anggota dapat  ditingkatkan. Konsep sekolah parlemen tersebut direncanakan seperti universitas. Lokasi sekolah parlemen rencananya berada di Komplek Wisma DPR RI di Kopo, Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Dalam sekolah parlemen akan diajarkan fungsi dan  tugas pokok seperti fungsi legislasilasi, anggaran dan pengawasan. Akan diajarkan juga bagaimana cara membahas dan merancang undang-undang. Diharapkan keberadaan sekolah parlemen bisa meningkatkan produktifitas dan kinerja anggota dewan.
Gagasan di atas mendapat tanggapan beragam. Polemik baru pun muncul di tengah masyarakat. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus Anggota Komisi III, Arsul Sani, menilai pembangunan kapasitas anggota dewan memang diperlukan. Namun, nama dan formatnya perlu dikaji kembali apakah memang berbentuk Sekolah Parlemen atau bukan.
Berbeda dengan Asrul Sani, Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay menilai wacana pembentukan sekolah ini akan tumpang tindih dengan fungsi partai dalam proses rekrutmen dan pengkaderan. Dia mengambil contoh partainya telah memiliki sekolah kader politik yang memiliki substansi sama dengan sekolah parlemen. (http://www.merdeka.com/)
Untuk apa?
          Menurut hemat saya, sekolah parlemen bukan prioritas. Banyak masalah  bangsa yang lebih penting yang mesti disikapi dan diselesaikan anggota DPR. Sekolah parlemen tidak menjamin menjadi solusi jitu mendorong kinerja anggota dewan. Apa ada jaminan, setelah sekolah kinerja DPR membaik? Namun demikian,  bukan berarti kita tak peduli dengan merosotnya kinerja mereka. Sama sekali tidak. Bila demikian, untuk apa diselenggarakan? Berikut beberapa argumetasi, pertama, sekolah parlemen bukan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi ) DPR. Dalam Uundang-undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPD, DPR, DPRD Pasal 69 disebutkan fungsi DPR meliputi tiga hal yakni legislasi, anggaran dan pengawasan. Ketiga fungsi tersebut dijabarkan dalam Pasal 71 tentang tugas dan wewenang DPR.
          Saya berpikir sekolah parlemen itu mestinya dilakukan sebelum menjadi anggota dewan. Ini menjadi tugas partai politik.  Ketika masuk Senayan, mereka harus sudah siap menjalankan tugas pokok, fungsi dan wewenang yang diembanya sebagai wakil rakyat. Menjadi lucu, jika sudah berkantor di Senayan baru belajar (baca:sekolah) menjadi anggota parlamen.
          Untuk itu, di masa mendatang Parpol wajib menyikapinya. Bagaimanapun rendahnya kinerja DPR RI periode ini menunjukkan kegagalan Parpol dalam melakukan pendidikan politik. Parpol kudu lebih selektif lagi dalam memilih calon legislatif yang akan dipilih menjadi wakil rakyat. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2014 yang lalu, persaingan menjadi calon legislatif bertumpuh pada kekuatan modal. Integritas, kualitas, dan SDM caleg menjadi nomor sekian, tak penting lagi.
Dan sedihnya lagi, masyarakat pun memilih wakil rakyat hanya berorientasi pada materi. Siapa yang memberi dipilih. Kualitas, SDM, integritas, pendidikan Caleg diabaikan. Prilaku pragmatis seperti ini bukan tanpa alasan. Rakyat nampaknya sudah skeptis, tak percaya lagi. Siapa pun yang terpilih tak ada pengaruhnya bagi mereka. Toh, para caleg (yang terhormat) itu tak akan memperjuangkan mereka setelah duduk di kursi dewan. Di sini, Parpol memikul tugas baru dan berat yaitu meyakinkan rakyat. Dan hanya kerja keras dan bukti nyata yang akan mengubah keyakinan rakyat terhadap partai politik. 
          Kedua, menghabiskan waktu dan anggaran. Sekolah parlemen rencananya diberlakukan pada tahun  ini bagi semua anggta dewan. Padahal tugas anggota DPR semakin menumpuk terutama prihal legislasi. Pada tahun 2016 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tersisa 40 RUU. Juni 2016 lalu ditambah 10 RUU lagi sehingga menjadi 50. Itu tugas berat yang ada di depan mata anggota dewan. Kenapa membuang-buang waktu dan energi dengan wacana sekolah parlemen? Bukan lebih baik fokus pada penyelesaian Prolegnas?
          Selain itu, sekolah parlemen hanya mengabiskan anggaran. Padahal Pemerintah sekarang sedang mengencangkan ikat pinggang dalam tanda petik. Artinya, gunakan dana yang ada untuk sesuatu yang lebih penting. Membuat prioritas program adalah solusinya. Bukankah masih banyak hal yang lebih penting daripada sekadar sekolah parlemen?
          Ketiga, solusi jangka pendek. Sekolah parlemen dinilai sebagai usaha mencari solusi yang bersifat jangka pendek. Gagasan dan wacana sekolah parlemen hanya untuk menyelamatkan muka anggota dewan sekarang dari rasa malu di depan penilaian rakyat yang memilih mereka. Gagasan dan wacana tersebut sangat instan.
          Singkat kata, mengutip saran Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, anggota DPR lebih baik fokus pada tugas utamanya yang selama ini belum maksimal. Bukankah Ketua DPR RI, Ade Komaruddin sendiri telah berjanji fokus dalam hal legislasi saat menjabat sebagai Ketua dewan menggantikan Setya Novanto.
          Dalam sambutan pada Penutupan Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2015-2016, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, 17 Maret 2016 yang lalu, Ade Komaruddin mengingatkan anggotanya, terkait legislasi Pimpinan DPR mengingatkan kepada seluruh Anggota DPR, agar dapat mematuhi ketentuan kehadiran secara fisik, baik dalam rapat-rapat Alat Kelengkapan DPR maupun dalam Rapat Paripurna DPR. (http://www.dpr.go.id/)
          Nah, jika demikian, untuk apa lagi sekolah parlemen? Wa Allahu Alam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar