Selasa, 23 Agustus 2016

Merangkul Diaspora, Perlukah?


            Kasus Arcandra dan Gloria Hamel menyadarkan bangsa ini pada dua hal. Pertama, perlunya merevisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Kedua, keberadaan diaspora Indonesia di luar negeri. RUU revisi tentang kewarganegaraan  sudah masuk ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI walaupun belum menjadi prioritas tahun 2016.  Dan mengenai diaspora, pemerintah sedang menggagas untuk merangkul mereka.
          Bagi  banyak orang,  diaspora bisa jadi sesuatu yang baru. Apa diaspora itu? Diaspora adalah orang-orang Indonesia yang menetap di luar Indonesia. Istilah ini berlaku bagi orang-orang yang lahir di Indonesia dan berdarah Indonesia yang menjadi warga negara tetap ataupun menetap sementara di negara asing. Sebagai aset bangsa yang potensial, kaum diaspora merupakan golongan yang mempunyai karakteristik tersendiri karena mereka adalah orang-orang yang terbiasa dalam kompetisi global.  (Wikipidia Bahasa Indonesia)
          Kasus Arcandra menyadarkan kita semua bahwa banyak orang Indonesia yang berkualitas, berprestasi  yang tinggal di luar negeri. Pada tahun 2012, Dubes RI di Amerika Serikat pernah berinisiatif mengumpulkan diaspora Indonesia di Amerika dalam kongres Diaspora Indonesia.  Kegiatan tersebut, seperti dikatakan Dubes RI Dino Pati Jalal saat itu  bertujuan untuk menghubungkan komunitas diaspora Indonesia di seluruh dunia. Dengan koneksi ini maka akan muncul pemberdayaam dan kesempatan yang menciptakan keuntungan untuk semua. Ribuan orang datang.
Dari kongres diaspora pertama tersebut terungkap fakta bahwa ada sekitar 150 ribu orang Indonesia yang tinggal di Amerika.  Diperkirakan dari  250 juta total penduduk Indonesia, 8 juta orang tinggal di luar negeri tersebar 35 negara. Angka ini cukup fantastis, betapa besar potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang ada di luar negeri. Kongres Diaspora Indonesia Ke-3 dilaksanakan di Jakarta pada Agustus 2015 lalu.
Fakta di atas mendorong pemerintah untuk merangkul diaspora. SDM Indonesia  di luar negeri tersebut diminta berpartisipasi dalam membangun negeri. Pemerintah berencana memulangkan para diaspora tersebut ke Tanah Air. Dengan pemulangan aset-aset bangsa tersebut, daya saing Indonesia di tengah persaingan global diharapkan bisa meningkat.
Seperti ditegaskan Presiden Jokowi,  banyak putra-putri terbaik bangsa Indonesia yang memiliki karier cemerlang di berbagai belahan dunia. Di 'Negeri Paman Sam', misalnya, terdapat 74 profesor yang berkecimpung di universitas-universitas terkemuka. Jumlah tersebut belum termasuk yang tersebar di negara lain, seperti di Korea Selatan, Jepang, dan Jerman. Belum lagi doktornya ada berapa ratus. Di Silicon Valley, ada ratusan WNI yang bekerja di sana. Kenapa  mereka tidak bekerja di Indonesia?  (mediaindonesia.com)
Terkait rencana pemerintah, Ketua DPR RI, Ade Komarudin, mengapresiasi rencana tersebut secara positif. Menurutnya, kasihan negeri ini. Banyak putra-putri terbaik  yang mengabdikan diri bukan kepada bangsanya tapi kepada negeri orang. Kita jangan terlalu picik dalam membaca dan memahami permasalahan. Nasionalisme dalam era globalisasi berbeda definisi dengan nasionalisme pada jaman penjajahan dulu. Jangankan yang dididik oleh bangsa kita, dididik oleh bangsa lain pun kalau bagus kenapa tidak jadi warga negara Indonesia, daripada mengisi negara ini oleh orang-orang yang tidak berkualitas. (www.antaranews.com)
Perlukah?
         Merangkul atau mengembalikan diaspora Indonesia ke tanah air telah digagas oleh pemerintah seperti disinggung sebelumnya Pertanyaan kita, apa itu perlu? Menurut hemat saya, mengembalikan mereka tidak sekadar perlu tapi sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, diaspora adalah aset dan potensi bangsa yang wajib digali. Kita tak boleh mengabaikan. Tak boleh merasa tak membutuhkan. Dalam membangun negeri, semua potensi kudu bisa berpartisipasi. Belum lagi, berdasarkan fakta para diaspora Indonesia mayoritas adalah orang-orang sukses secara ekonomi.  Potensi ekonomi yang berada di luar negeri tersebut dapat dikembalikan ke tanah air. Kepala BKPM Franky Sibrani pernah menegaskan, nilai remitansi dari diaspora telah mencapai 8 miliar dolar AS pertahun.
         Potensi lain dapat dilihat pada diaspora Indonesia di Amerika misalnya. Berdasarkan data yang dipublikasikan mediaindonesia.com, 48 persen warga diapora berpendidikan di atas sarjana. Pendapatan rata-rata mereka US59 ribu dolar di atas rata-rata pendapatan pendapatan warga Amerika sendiri yakni US45 ribu pertahun. Ini potensi besar, sekaligus menggiurkan. Tak logis jika kita mengabaikannya.
         Kedua, alasan nasionalisme. Banyak diantara para diaspora yang ingin kembali ke tanah air. Mereka ingin berkarya, berinvestasi, bekerja di tanah air. Mereka ingin berbaigi dengan anak bangsa lainnya. Sayang, rasa nasionalisme yang masih tertanam kuat dalam jiwa para diaspora tersebut selama ini tak mendapat respon atau tanggapan yang baik dari pemerintah, kita semua yang ada di tanah air.
         Saya pernah menyaksikan keluhan seorang doktor dalam sebuah acara salah satu TV swasta nasional. Doktor diaspora itu telah mengajukan lamaran kerja ke 30 lebih perusahaan/intansi di Indonesia. Tak satu pun yang menerimanya. Kalau mereka memilki nasionalisme seperti itu kenapa kita tak merangkulnya. Bukankah mereka adalah anak bangsa seperti kita?
         Ketiga, Indonesia butuh dana besar. Dalam membangun ekonomi, saat ini Indonesia membutuhan suntikan dana besar. Apalagi komitmen Jokowi-JK dalam mengejar ketertinggalan dalam infrastruktur. Kebijakan Tax Ammnesty merupakan salah satu upaya menggali dana tersebut. Dan diaspora merupaka  potensi sumber dana lain yang dapat ditarik dari luar, masuk ke Indonesia.
         Walhasil, diapora adalah potensi. Mereka anak bangsa layaknya yang lain. Merangkul mereka adalah hal wajar dan logis. Menjadi tugas pemerintah bagaimana cara merangkul mereka. Pemerintah bisa memberikan hak kewarganegaraan bagi mereka yang berwarga negara asing. Bisa juga memberlakukan dwikewarganegaraan seperti yang ditempuh banyak negara menyikapi kaum diaspora.  Atau menarik mereka dalam berinvestasi di tanah air.
         Langka-langka tersebut melibatkan banyak pihak, kementerian, instansi. Kerja sama di antara mereka dibutuhkan untuk sukses merangkul diaspora. Kasus Arcandara mesti jadi pelajaran bagi semua. Sepantasnya kita semua mengulurkan tangan, menyambut saudara sebangsa setanah air, para diaspora. Wa Allahu Alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar