Selasa, 23 Agustus 2016

Kenapa Harus Mengorbankan Madrasah?


Membicarkan pendidikan di Indonesia tak mungkin lepas dari keberadaan madrasah. Dalam bahasa Arab,  madrasah merupakan isim makan dari “darasa” yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Di negeri asalnya, madrasah diratikan sebagai sekolah baik sekolah umum atau sekolah keagamaan. Dalam bahasa Indonesia madrasah diartikan lebih khusus untuk sekolah yang  mengajarkan keilmuan agama Islam. Madrasah merupakan perpanjangan dari sistem pesantren di tanah air.
Dalam dunia Islam madrasah berkembang sejak abad ke 5 Hijriyah, sekitar abad ke 10 atau 11 Masehi. Lahirnya madrasah seiring dengan perkembangan peradaban Islam. Madrasah lahir sejalan dengan perkembangan pemikiran  dalam Islam yang melahirkan madzhab-madzhab.  Saat itu keilmuan keislaman berada pada masa keemasan. Berbagai disiplin ilmu telah lahir seperti ilmu kalam, ilmu fiqhi, ilmu ushul fiqhi,  ulumul hadist, tafsir, kedokteran, matematika bahkan tasawuf.  Pada masa tersebut lahir madrasah-madrasah. Ada madrasah Safi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Ja’fariyah dan masih banyak lagi. Madrasah-madrasah tersebut masih sebatas halaqoh ilmiah (pertemuan ilmiah). Dalam halaqoh ilmiah terebut para tokoh madzhab seperti Syafi’i menyampaikan pemikiran atau ajaranya.
Di Indonesia, madrasah bukan sesuatu yang baru. Madrasah ada sejak sebelum kemerdekaan. Pada masa penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatera yaitu madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1908.  Pada tahun 1910, Syekh M Taib Umar mendirikan Madrasah Schoel di Batusangkar. Kemudian pada tahun 1918, Prof Mahmud Yunus mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan Madrasah Schoel. Di padang panjang, Syekh Abdul Karim Amrullah medirikan Madrasah Tawalib pada tahun 1907. Kemudian Madrasah Nurul Iman didirikan H. Abdul Samad di Jambi.
Di Jawa, perkembangan madrasah tercatat sejak 1912. NU mendirikan model madrasah pesantren dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtida’iyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustho dan Mualimin Ulya pada tahun 1919. Tahun 1912 Muhamadiyah mendirikan madrasah dengan mengapropriasi sistem pendidian Belanda Plus. Al Irsyad (1913) mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtida’iyah, Tsanawiyah, Mualimin dan Tahasus. Kemudian di Jawa Barat PUI mendirikan model madrasah pertanian.
Setelah kemerdekaan, pada 1946 di bentuklah Departemen Agama yang akan mengurus keberagamaan di Indonesia termasuk pendidikan Islam, khususnya madrasah. Secara instansional departemen agama diserahi kewajiban dan bertangung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut.
Dalam upaya meningkatkan madrasah, pemerintah melalui Kementerian Agama memberikan bantuan dalam bentuk material dan bimbingan. Untuk itu,  Kementerian Agama mengeluarkan peraturan Menteri Agama No 1 Tahun 1946 dan disempurnakan dengan peraturan Menteri Agama No 7 Tahun 1952. Di dalam peraturan tersebut terdapat ketentuan jenjang pendidikan pada madrasah yang terdiri dari : Madrasah Rendah ( Madrasah Ibtidaiyah), Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (Madrasah Tsanawiyah), Madrasah Lanjutan Atas ( Madrasah Aliyah). Sejak itu madrasah dijadikan sebagai sekolah formal oleh pemerintah.
Haidar Daulay (2009) dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, pemerintah mengeluarkan SKB 3 Mentri (menteri Agama, Pendidikan dan Kebudayaan) pada tanggal 24 Maret 1975 yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream  pendidikan nasional. Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat. Kedua, lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan kesekolah umum yang setingkat lebih tinggi. Ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.
 Namun tak semua madrasah beralih fungsi sebagai sekolah formal. Ada madrasah yang bertahan sebagai madrash diniyah yang dalam masyarakat dikenal dengan sebutan sekolah sore. Madrasah-madrasah Diniyah masih eksis hingga saat ini. Di berbagai daerah bahkan belajar di sekolah sore (baca:madrasah diniyah) diwajibkan. Di madrasah-madrasah tersebut peserta didik diajarkan pendidikan Al Quran dan ilmu agama lainnya. Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) diharapkan mampu mencetak karakter anak didik. Di madrasah akhlak mulia ditanamkan sejak dini.
Menurut data EMIS Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI (2015), jumlah lembaga Pendidikan Keagamaan Islam cukup spektakuler. Ada sekitar 29 ribu pondok pesantren yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah santri 4 juta orang. Sementara Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) berjumlah 76.566 dengan jumlah santri 6.000.062 orang. Adapun TPQ tempat anak-anak pra sekolah dan sekolah dasar berjumlah 123.271 lembaga memiliki santri berjumlah 7.121.304 orang.
FDS membubarkan madrasah
          Perjalanan panjang madrasah menjadi tak bermakna ketika beberapa waktu lalu Menteri Pendidikan Nasional, Muhadjir Efendy berencana menerapkan sistem Ful Day School (FDS). Sebab itu, tak heran ketika gagasan dan wacana itu ditolak banyak pihak. Kemedikbud seakan buta sejarah. Sang Menteri baru itu seakan menutup mata atau tak membaca keberadaan ribuan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT). Padahal MDT telah memberi kontribusi besar dalam mencetak siswa-siswi berakhlak mulia. Kalau Pak Muhadjir Efendy mengkawatirkan peserta didik sepulang sekolah, MDT sudah menjadi solusinya. Mustinya, Kemendibud memberi perhatian lebih kepada MDT seperti yang dilakukan oleh banyak pemerintah daerah sehingga di waktu mendatang peran MDT lebih dapat dirasakan.
          Menurut Ruchman Basori (2016), gagasan full day school (FDS) menjadi tepat bagi masyarakat perkotaan yang komplek. Orang tuanya bekerja di luar rumah, kondisi jalan yang macet dan kerap membahayakan. Secara substantif membekali karakter, moral dan akhlak anak di tengah kemiskinan penyelenggaraan pondok pesantren, MDT dan TPA. Namun menjadi kontra produktif jika di semua wilayah Indonesia utamanya pedesaan diselenggarakan FDS. Perlu dipikirkan FDS bukan berlaku menyeluruh di semua wilayah NKRI namun bersifat fakultatif. (http://www.nu.or.id/)
          Tapi faktanya, di perkotaan MDT bermunculan bak jamur di musim hujan. Masyarakat perkotaan menyadari kebutuhan pada MDT. Tantangan mendidik anak di perkotaan terutama dalam menghadapi derasnya arus globalisasi membuat para orangtua melirik MDT. MDT dipilih sebagai tempat yang tepat pada sore hari untuk anak. Di MDT anak kita belajar Alquran, salat, dan memperdalam pengetahuan dan pengamalan agama.
          Di samping itu, sekolah di perkotaan juga tak semuanya siap. Banyak sekolah yang secara tegas menolak FDS karena fasilitas yang tak memungkinkan. Sekolah yang ruang kelasnya terbatas sehingga melaksanakan pembelajaran menjadi dua tahap (pagi-sore) apa mungkin memberlakukan FDS? Jelas, tak bisa. Belum lagi terkait keterbatasan tenaga pendidik, sarana dan lainnya.
          Akhir kata, gagasan FDS masih terlalu dini untuk diterapkan. Indonesia belum siap menjalankan sistem FDS. Masih seabreg permasalahan yang wajib diselesaikan terlebih dulu seperti prasarana, keterbatasan tenaga pendidik juga lainya. Dan yang paling penting, pemberlakuan FDS akan membubarkan Madrasah Diniyah Takmiliyah. Apa kita rela mengorbankan MDT yang telah berjasa membekali anak didik dengan akhlak mulia? Wa Allahu Alam






Tidak ada komentar:

Posting Komentar