Selasa, 16 Agustus 2016

Pilkada DKI dan Pilpres 2019


Pilkada serentak tahap kedua akan dilaksanakan 2017 mendatang. Gegap gempita pesta politik  sudah terasa di berbagai daerah. Pilkada 2017 akan menentukan 7 gubernur, 76 Bupati dan 18 Walikota. Diantara banyak daerah, DKI Jakarta menjadi primadona dalam pemberitaan di media massa. Berbeda dengan pemilihan gubernur sebelumnya, Pilkada DKI tahun depan sungguh luar biasa. Suhu politik memanas sejak dua tahun yang lalu saat daerah lain masih sunyi senyap.
DKI Jakarta menjadi sangat spesial, berbeda jauh dengan daerah lain. Sebabnya tak lain karena faktor Ahok, saya menyebutnya Ahok efek. Ahok menjadi daya tarik yang luar biasa di pentas politik DKI Jakarta. Ahok menjadi icon pemimpin jujur, tegas, berani yang didambahkan rakyat Indonesia.  Ahok efek telah meluas secara nasional. Ahok menjadi topik pemberitaan di berbagai media baik cetak atau online tidak hanya di DKI Jakarta juga di daerah-daerah lain dua tahun terakhir. Ahok efek menjadi sempurna ketika muncul gerakan Teman Ahok. Teman Ahok dengan tema sejuta KTP tersebut telah mengukuhkan fenomena Ahok sebagai sesuatu yang luar biasa.
Kemudian faktor Jokowi. Membicarakan Ahok rasanya tak mungkin mengabaikan Jokowi. Paling tidak untuk dua alasan. Pertama, karena keduanya pernah berduet sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Hubungan Jokowi-Ahok sangat dekat. Keduanya merasakan  banyak kecocokan dalam  berbagai hal. Kecocokan itu tetap terbina walau Jokowi telah menjadi Presiden, Ahok menduduki jabatan yang ditinggal Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta.
Kedua, kepentingan Jokowi pada gubernur  DKI Jakarta mendatang. Jokowi menginginkan gubernur Jakarta yang akan datang adalah orang yang memiliki banyak kecocokan dengan dirinya. Sebab bagaimanapun Jakarta adalah ibu kota negara. Dalam banyak urusan, pemerintah pusat harus bersinggungan dengan Pemprop Jakarta.
Selanjutnya faktor PDI-P atau lebih khusus Ibu Megawati. Tak dapat disangkal sebagai partai  pemenang, pemilik kursi terbanyak di DPRD Jakata keberadaan PDI-P menjadi pusat perhatian. PDI-P yang memiliki 28 kursi di DPRD merupakan satu-satunya partai yang bisa mengajukan pasangan calon tanpa harus berkoalisi. Belum lagi  PDI-P memilki kader terbaik yang tak dimiliki partai lain seperti Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini, gubernur Jateng dan Walikota Surabaya. Keduanya sudah lama digadang-gadang oleh banyak pihak untuk jadi gubernur Jakarta. Hubungang PDI-P Ahok yang mengalami pasang surut menguras perhatian publik dalam waktu yang tak singkat.
Sepertihalnya Jokowi, PDI-P memiliki kepentingan yang sama. Kepentingan tersebut pernah ditegaskan oleh Hasto Kristianto dalam sebuah acara di salah satu TV swasta. Sekjen PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa PDIP menginginkan keselarasan antara Pemerintah pusat dan Pemprop Jakarta.
Terakhir,  faktor Pilpres 2019 mendatang. Perjalanan Jokowi dari Solo ke Jakarta kemudian berakhir menjadi Presiden RI ke 7 itu menjadi catatan khusus bagi sejarah poliitik Indonesia.  Pilkada Jakarta akan dijadikan pintu masuk ke istana merdeka. Artinya, Gubernur Jakarta mendatang diprediksi dan disiapkan untuk calon Presiden atau Wakil Presiden. Maka pertarungan partai politik memeperbutkan DKI-1 semakin panas yang menentukan peta konstelasi Pilpres yang akan datang.
Pilpres 2019
          Faktor terakhir ini yang menurut hemat saya sangat menarik. Ini fenomena baru dalam sejarah politik nasional. Fenomena ini muncul setelah Jokowi sukses menjadi Presiden setelah sebelumnya merebut kursi Gubernur DKI Jakarta dari Fouzi Bowo. Apa rumus politik yang diyakini partai-partai sekarang itu rasional? Apa logis Jakarta menjadi pintu masuk istana negara?
          Untuk sekarang adigium politik di atas menjadi nyata dan rasional. Faktanya adalah Pilkada DKI Jakarta sekarang. Suhu politik yang panas di Jakarta belakangan menunjukan hal tersebut. Ditambah lagi banyak tokoh nasional yang turun gunung di Pilkada Jakarta. Sebut saja Yusril Ihza Mahendra, Adiyaksa Daud, Belakangan juga muncul nama Rizal Ramli dan Anies Baswedan, dua menteri yang baru saja direshufle Jokowi.
Pengamat Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio berpendapat, Pilkada DKI Jakarta bisa menjadi tolak ukur Pilpres 2019. Alasannya Jakarta merupakan miniatur Indonesia, sehingga bakal calon gubernur DKI bisa menentukan calon presiden ke depan. Hal senada diungkapkan Ketua Pemenangan Pemilu PKS Agung Sutiarso Menurutnya, jabatan Gubernur DKI Jakarta menjadi posisi yang seksi dan banyak diperebutkan. Ia menganggap, gubernur yang berhasil memimpin Ibu Kota berpeluang maju dalam kontes pilres nanti. (http://www.republika.co.id/)
Kemudian dari segi anggaran Jakarta yang sangat besar sekaligus pusat pemerintahan. Keberhasilan seseorang memimpin dan membangun Jakarta dinilai layak memimpin Indonesia. Mengukur keberhasilan dari besar anggaran juga dipahami sebagai kemampuan seorang mengemban amanat dalam mengelola uang negara. Akhirnya, Jakarta dianggap sebagai tangga terakhir menuju kepemimpinan nasional.
Maka tak heran jika Pilkada DKI dijadikan pintu masuk persaiangan Pilpres 2019. Deal-deal politik dalam pentas DKI dihubungkan dengan kepentingan Pilpres yang akan datang. Partai besar seperti PDI-P dan Golkar berebut pengaruh dan simpati publik. Pilkada Jakarta yang akan menjadi perhatian rakyat Indonesia itu akan menjadi panggung politik maha dahsyat. Setiap partai politik akan memerankan, mempertontonkan permainan politiknya.
Coba diamati, bagaimana cepatnya Golkar menyatakan dukungan pada Jokowi untuk Pilpres 2019? Selangkah setelah itu, Golkar merangkul dan mendukung Ahok saat  hubunganya dengan  PDI-P sedikit bermasalah. Para pengamat menilai itu merupakan kepiawaian  Partai Beringin dalam mengambil (baca:merebut) Jokowi dari PDI-P. Dan Ahok disiapkan sebagai cawapres besutan Golkar. Tentu ini masih pridiksi. Tapi pridiksi politik tersebut menggambarkan apa yang terjadi dalam pentas politik DKI Jakarta. Sekarang kecepatan Golkar membaca situasi itu sedang dipelajari, diantisipasi oleh PDI-P. Kabar terkini, PDI-P bersediah mendukung Ahok dengan mengajukan Djarot Saeful Hidayat sebagai cawagub. Peta politik DKI dan arah Pilpres mendatangpun mulai terbaca.
Terlepas itu semua, rakyat awam seperti saya hanya bisa berharap Pilkada Jakarta berjalan lancar, berkualitas serta menghasilkan kepemimpinan yang ideal bagi warga Jakarta. DKI Jakarta sebagai miniatur Indonesia kudu mampu mempertontonkan pesta demokrasi yang jujur, bersih dan adil. Sehingga Jakarta menjadi contoh bagi daerah lain. Soal adagium politik, Jakarta pintu masuk istana negara biarkan rakyat yang menentukan kebenarannya. Bagi rakyat, apapun istilahnya, kepemimpinan daerah maupun nasional kedepan harus lebih berkualitas lagi.  Wa Allahu Alam














Tidak ada komentar:

Posting Komentar