Jumat, 16 September 2016

Hukuman Sebagai Alat Pendidikan


Setiap Senin pagi ada saja (bahkan banyak) anak yang berbaris di barisan depan terpisah dengan barisan peserta upaca bendera lainnya. Barisan ini khusus bagi anak-anak yang melanggar aturan pakaian dan atrirbut sekolah seperti tidak mengenakan topi, dasi atau lainnya. Diharapkan setelah mereka dipisah dari teman sekelasnya, berbaris di depan mengelompok seperti petugas upacara timbul rasa malu, takut sehingga tidak melanggar lagi di minggu berikutnya. Nyatanya mereka yang berdiri di depan menghadap siswa-siswi lainya itu justru tidak tampak rasa malu apalagi takut. Yang ada mereka menikmatinya seperti siswa lain. Artinya walau mereka berdiri berbeda tetap tidak membebani mereka. Rupanya berbaris di depan bukan lagi dipandang sebagai hukuman, tapi disikapi seperti  hal biasa.
Dalam paradigma pendidikan tempo dulu, hukuman  merupakan salah satu alat pendidikan seperti penghargaan, pujian, pemberian hadiah atau lainnya. Saya masih ingat,  dulu saat saya belajar di bangku sekolah dasar atau saat mengaji di mushallah, guru atau ustadz selalu membawa kayu panjang. Kayu itu digunakan disamping untuk menunjuk siswa, tulisan saat membaca juga digunakan untuk memukul bagi mereka yang keluar dari koridor (melanggar) proses belajar mengajar. Guru tidak segan memukul  siswa saat yang bersangkutan salah dalam membaca atau salah mengerjakan perintah. Kemudian siswa pun tidak melawan, menyadari bahwa itu bagian dari  proses pembelajaran dan pendidikan.
Berbeda dengan  keadaan sekarang, hukuman menjadi sulit digunakan sebagai media atau alat pembelajaran dan pendidikan. Kenapa? Pertama, penghormatan siswa kepada guru sudah berubah. Dulu guru itu ibarat satu-satunya sumber belajar sehingga posisi mereka sangat terhormat, juga dibutuhkan.  Sedangkan sekarang siswa beranggapan tidak hanya guru yang bisa mengajari mereka. Televisi, koran, majalah, media elektronik lainnya pun bisa. Akhirnya posisi guru sejajar dengan media  seperti TV. Anggapan seperti ini membuat penghormatan kepada guru berkurang. Tidak sedikit murid yang berani melawan gurunya. Bahkan dalam sejumlah kasus mereka berkelahi dengan guru.
Kedua, memahami Hak Asasi Manusia (HAM) secara berlebihan. Setelah HAM mewarnai dan memasuki hampir semuam gerak dan ruang kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan, hukuman tidak lagi bisa diterapkan sebagai media pembelajaran. Tidak jarang guru diperkarakan oleh murid karena kekerasan yang dari sisi guru itu dianggap sebagi hukuman yang mendidik. Tak sedikit kasus pula yang berujung ke kepolisian. Dan sedihnya, wali siswa lebih  berpihak kepada  anak mereka daripada ke guru. Lain dengan zaman saya belajar. Ketika saya dipukul oleh guru misalnya, orang tua justru mendukung guru. Mereka berkeyakinan tak mungkin guru memukul jika anaknya tak bersalah. Mereka juga memaklumi bahwa hukuman itu bagian dari pendidikan.
          Ketiga, salah memahami kesetaraan. Seiring dengan majunya teori pendidikan, guru dan peserta didik dianggap setara. Pembelajaran di kelas sudah tak searah lagi, dari guru ke peserta didik. Pembelajaran dilakukan menjadi dua arah, guru ke siswa dan sebaliknya. Peran guru tak sedominan dulu. Guru berperan hanya sebagai fasilitator dan pembimbing. Sumber belajar juga tidak hanya guru seperti disinggug sebelumnya. Akibatnya guru dipandang tak sepenting seperti dulu. Sehingga hukuman sebagai media yang diuganakan guru sebagai alat pembelajaran ditolak oleh peserta didik karena dinilai sudah tak zamannya lagi.
          Belakangan menarik apa yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Mantan Rektor Muhammadiyah Malang tersebut mengatakan, bahwa sanksi fisik yang diberikan seorang guru terhadap murid merupakan sesuatu yang bisa ditoleransi. Menurutnya, sekarang itu banyak orang salah paham dalam memahami HAM. Jadi tentang HAM melarang tindakan kekerasan itu setuju tapi dalam batas tertentu sanksi fisik pun bisa ditoleransi dalam pendidikan. Keras dalam bentuk pengajaran dapat mendidik seorang anak. Menurutnya, hal itu bisa membentuk karakter dan pribadi siswa yang tangguh.  Sebab, pendidikan bukan hanya memberikan curahan kasih sayang saja.  Pendidikan  juga membentuk pribadi anak yang kuat, tangguh dan tahan banting. Dan itu semua tiidak bisa diwujudkan tanpa pendidikan keras. Harus bisa dibedakan antara kekerasan pendidikan dan pendidikan dalam kekerasan.(cnnindonesia.com)
          Bagaimana menterjemahkan dan mengimplementasikan pendapat sang Menteri di lapangan? Menurut hemat saya, Pertama, memberi batasan yang jelas penerpan HAM dalam pendidikan. Dalam memberi batasan tersebut sepantasnya dilibatkan aktivis, tokoh HAM dan tokoh pendidikan. Mereka mesti duduk bersama, Mereka wajib mencari kesepakatan-kesepakatan terkait HAM di sekolah. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) dapat mengambil inisiatif untuk upaya tujuan tersebut.
          Kedua, menggagas UU HAM dalam pendidikan. Kesepakatan-kesepekatan yang dihasilkan  tentang HAM di sekolah diwujudkan dalam aturan perundang-undangan,  diajukan ke DPR dan Pemerintah.  Kemudian Pemerintah dan DPR dapat mengusulkan, membahas, dan mengesahkannya sebagai undang-undang. UU tentang HAM di sekolah tersebut nantinya akan dijadikan sebagai acuan guru dalam mendidik terutama yang terkait dengan sanksi atau hukuman sebagai alat pendidikan.
          Ketiga, sosialisasi. UU tentang HAM di sekolah selanjutnya kudu disosialisasikan ke masyarakat luas. Sosialisasi bertujuan memberi pemahaman bersama tentang perlunya sikap keras dalam mendidik. Sehingga masyarakat meyakini kembali bahwa mendidik itu dalam batas tertentu dibutuhkan sikap keras dari guru sebagai pendidik. Pemahaman seperti itu diharapkan menghilangkan kesalapahaman dari wali siswa ketika guru menggunakan hukuman sebagai media pembelajaran dan pendidikan pada anak-anak mereka.
          Walhasil, kesalapahaman guru dan wali siswa yang berujung ke proses hukum karena perbedaan persepsi tentang kekerasan dalam pendidikan harus dihentikan. Konflik guru dan peserta didik/wali siswa hanya meretakan hubungan peserta didik dengan guru. Padahal dalam proses pembelajaran hubungan kedua bela pihak wajib dibangun secara harmonis.
          Maka, saatnya kita semua (dunia pendidikan, pemerintah dan aktivis HAM) berbuat sesuatu untuk menghentikan kesalapahan terkait sikap keras dalam mendidik. Kita mesti duduk bersama untuk menggagas, merumuskan aturan tentang HAM dalam pendidikan.  Sehingga para pendidik bisa lebih fokus lagi menjalan tugas mendidik generasi bangsa, tak lagi direcoki oleh siapa pun menggunakan isu kekerasan dalam pendidikan. Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar