Kamis, 08 September 2016

Antara Bakat dan Minat Menulis


          Bakat dan minat dua hal berbeda. Keduanya kadang menyatu pada seseorang. Ada juga yang tak bertemu. Ada orang berbakat juga berminat. Ada yang berbakat tapi tak berminat. Sebaliknya, ada yang berminat tapi tak berbakat. Bakat dan minat dibutuhkan untuk mengantar kesuksesan seorang.
          Menurut Wijaya (1988), bakat adalah suatu kondisi pada seseorang yang memungkinkannya dengan suatu latihan khusus mencapai suatu kecakapan, pengetahuan, dan keterampilan khusus, misalnya berupa kemampuan berbahasa, kemampuan bermain musik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini seseorang yang berbakat musik, misalnya, dengan latihan yang sama dengan orang lain yang tidak berbakat musik, akan lebih cepat menguasai keterampilan musik tersebut.
          Menurut Sumadi Suryabrata (1988), minat adalah kecenderungan dalam diri individu untuk tertatik pada sesuatu objek atau menyenangi sesuatu objek     . Johny Killis (1988), mendefinisikan minat sebagai pendorong yang menyebabkan seseorang memberi perhatian terhadap orang, sesuatu, aktivitas-aktivitas tertentu.  
Seperti dengan yang lain, menulis membutuhkan bakat juga minat. Seorang yang berbakat menulis tapi tak berminat tentu sulit mewujudkan tulisan bagus. Sebaliknya, seorang berminat kuat untuk menulis tapi tak berbakat. Sekarang bagaiamana menghadirkan keduanya pada diri kita.
Ada anggapan bahwa bakat adalah bawaan dari lahir. Tak bisa dicari. Bakat tak diperoleh dengan usaha, kerja keras, berlatih, atau belajar. Apa benar anggapan seperti itu? Apa benar orang yang tak berbakat menulis misalnya tak akan bisa menulis walau dengan belajar, berlatih?
Menjawab pertanyaan ini sangat penting. Sebab, banyak orang tak mau berusaha karena menganggap dirinya tak berbakat. Tak sedikit orang yang tak mau menulis karena beranggapan dirinya tak mempunyai bakat. Tidak ada keturunan penulis. Ini sebenarnya salah kaprah. Salah dalam memahami makna bakat.
Sesungguhnya manusia itu memilki potensi yang sangat majemuk. Dalam bahasa Munif Chatib (2012), dalam diri manusia terdapat harta karun yang melimpah. Harta karun dimaksud adalah potensi terpendam yang ada pada seseorang. Gardner (1983) menyebut potensi majemuk tersebut sebagai kecerdasan.  Potensi-potensi itu mesti digali terus. Potensi yang sudah tergali disebut sebagai bakat. Dengan demikian, setiap dari kita memiliki potensi bakat dalam banyak hal.
Setiap orang sejatinya berpotensi menjadi penulis. Menulis itu sekadar mengubah ide yang ada dalam pikiran dalam bentuk tulisan. Apa yang terlintas dalam pikiran dan hati digoreskan di atas kertas, itulah menulis. Setiap saat akal dan hati  berpikir. Berpikir tentang keinginan, harapan, mencari jawaban atau solusi hidup dan lainnya.
Hanya permasalahannya, banyak orang tak biasa menuliskan apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan. Sehingga potensi terpendam itu tak tergali. Untuk itu, bagi yang ingin menemukan bakat menulis maka tak ada cara lain kecuali memulai membiasakan menulis setiap hal. Menulis apa yang dirasakan, dilihat, dan dipikirkan.
Tapi tak semua orang berminat untuk menulis. Sebab, mereka belum merasakan manfaat menulis. Minat mengalami pasang surut termasuk dalam hal menulis. Saya sendiri tak jarang merasakan kejenuhan. Malas menulis. Selera menulis tiba-tiba menghilang.  Saat minat menulis menurun tentu akan sulit melahirkan tulisan berkualitas, enak dibaca oleh siapa pun.
Sekarang apa minat menulis itu bisa diupayakan? Jelas bisa. LN Sumaranje (2014) menyebut tujuh hal yang wajib dipahami dalam menjaga motivasi dan minat dalam menulis. Pertama, niatkan menulis untuk ibadah. Ibadah itu tak melulu bersifat ritual. Mendatangkan manfaat bagi orang banyak juga termasuk ibadah. Ibadah sosial namanya. Dan tulisan akan sangat bermanfaat bagi orang yang membutuhkan. Tulisan kita akan memberi sumbangsi terhadap peradaban manusia di waktu mendatang.
Kedua, melihat penulis yang perjuangannya lebih sulit. Sudah menjadi rumus kehidupan, jika kita melihat yang berada di bawah kita, maka akan tumbuh kesadaran bahwa kita masih beruntung. Berkacalah pada penulis-penulis besar tempo dulu. Di tengah keterbatasan dalam segala hal seperti tekhnologi saat itu mereka mampu melahirkan puluhan bahkan ratusan buku berkualitas yang masih dibaca sampai hari ini. Kalau mereka saja bisa, kenapa kita tidak bisa? Bukankah zaman kita lebih mudah? Berbagai fasilitas mengiringi kita dalam menulis.
Ketiga, menulis dengan atau tanpa mood. Menulis terbaik adalah saat hati lagi mood lagi enak. Tapi usahakanlah menulis dalam setiap keadaan baik lagi bahagia, sedih, bahkan marah. Menulislah saat lapang, sempit. Saat banyak uang atau “saku rata”. Menulis adalah keniscyaan. Dengan demikian kebiasan menulis akan terbangun.
Keempat, bergabung dengan komunitas penulis maka semangat menulis akan selalu terjaga. Bergabunglah dengan komunitas menulis  seperti “Kelas menulis”, ‘Sekolah Menulis” atau lainnya. Di sana kita membiaskan menulis, membaca tulisan sesama penulis. Juga, terpenting bisa menjaga minat dan motivasi dalam menulis.
Kelima, terbuka pada perkembangan terbaru. Kecepatan informasi makin tak terbendung. Segala metode, kiat, cara atau how to di semua bidang sedemikian cepat. Perkembangan itu kudu diikuti. Carilah hal-hal terbaru. Hal terbaru akan menjadi inspirasi atau ide menulis. Silakan beradu cepat menulis tentang hal-hal yang baru denga sesama penulis lainnya. Untuk itu, perbanyaklah membaca, lakukan terus goegliing di dunia maya.
Keenam, yakinlah kualitas dan kuantitas tulisan akan berkembang. Karya lebih banyak, tulisan lebih bagus. Tak mungkin tak ada perubahan jika kita memaksimalkan ikhtiar dan doa. Tidak mungkin kita berjalan di tempat, apalagi mundur ke belakang. Jika kita mampu memompa motivasi menulis secara terus menerus, Allah pasti memberikan jalan, menganugrahkan perubahan ke arah yang lebih baik dalam hal menulis.
Ketujuh, jadikan menulis seperti bernapas. Saat menjadikan menulis sebagai aktivitas rutin maka menulis akan menjadi napas hidup kita. Anggapan seperti ini tak berlebihan. Bagi seorang berjiwa penulis hidup tak lepas dari tulisan. Menulis akan menyatu. Maka mewujudkan menulis seperti napas tak lain cara hanya dengan menulis, menulis dan menulis. Menulislah setiap waktu kosong anda.
Akhir kata, baik bakat maupun minat menulis, keduanya bisa diupayakan. Bakat menulis bisa digali oleh setiap orang. Minat menulis juga dapat dijaga. Sekarang bagaimana dengan kita? Apa kita siap menggali kemampuan atau potensi menulis yang ada pada diri kita? Saya dan anda wajib menjawabnya. Jawaban saya dan anda akan berpengaruh pada budaya literasi bangsa kita yang masih tertinggal jauh dengan bangsa lain lain. Wa Allahu Alam


          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar