Kamis, 08 September 2016

Problem Tunjangan Profesi Guru


          Beberapa waktu lalu mungkin banyak guru terkejut dengan statemen Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Saya sendiri terkejut mendengar pemberitaan di media tentang hal tersebut. Saya membaca di tempo.com, Kementerian Keuangan mengumumkan rencana pemangkasan tunjangan profesi guru sebesar Rp 23,4 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016. Pemangkasan ini merupakan bagian dari penghematan transfer ke daerah sebesar Rp 70,1 triliun. “Saya harap ini bukan berarti kami tidak memihak mereka. Dana itu berlebihan (over budgeting),” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis, 25 Agustus 2016.
Menurut Sri Mulyani, pemotongan tunjangan profesi bagi guru dilakukan menyesuaikan  dengan data jumlah guru di lapangan. Sebab, jumlah guru yang berhak menerima tunjangan profesi tak sesuai dengan jumlah saat penganggaran. Gurunya memang tak ada, atau ada gurunya tapi belum bersertifikat profesi sehingga tak bisa diberi tunjangan.
Langkah tersebut diambil karena target penerimaan negara meleset, pemerintah memangkas belanja Rp 137,6 triliun. Pemangkasan terdiri atas penghematan belanja pusat Rp 64,7 triliun, dan transfer ke daerah serta dana desa sebesar Rp 72,9 triliun.
Membaca pemberitaan di atas, guru seperti saya pasti bingung, heran. Kenapa bisa ada kelebihan? Apa ada salah hitung? Malah, saya berpikir dana tunjangan profesi guru itu kurang. Sebab, pengalaman saya demikian. Saya guru bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) bersertifikasi di Kementerian Agama (Kemenag). Pada tahun 2014 yang lalu, tunjangan prosfesi guru (TPG) saya belum terbayarkan hingga sekarang sebanyak 6 bulan.
Yang ramai jadi pemberitaan memang TPG yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Apa di Kemenag sebaliknya? Justru kekurangan dana? Sebab guru PAI seperti saya walau mengajar di lingkungan Kemendikbud, TPG-nya dikelolah oleh Kemenag. Sistem pengelolaannya bisa jadi berbeda.
Problematika terkait TPG memang selalu ada. Guru serigkali menjadi korban. Seperti dalam masalah di atas, guru tentu merasa cemas. Meraka khawatir TPG tak terbayarkan. Walau Kemendikbud telah menjamin hal itu tidak akan terjadi. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sumarna Surapranata memastikan tunjangan guru tak akan turun meski ada penurunan anggaran tunjangan profesi.
Menurut Pranata, penurunan terjadi paling tidak karena ada guru yang pensiun dan pindah kerja. Setiap tahun, ada guru yang pensiun atau pindah kerja, sehingga alokasi anggarannya tidak terserap. Akibatnya, ada dana sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa). Dana sisa tersebut berada di khas daerah. (tempo.com)
Problem
          Selama ini memang ada permasalahan yang kerap terjadi dalam proses pembayaran TPG.  Paling tidak itu yang dirasakan oleh para guru. Pertama, prosedur yang rumit. Guru setiap semester diwajibkan melakukan pemberkasan. Pemberkasan dari waktu ke waktu berkisar persoalan yang sama. Pemberkasan berupa pengisian data dengan melampirkan berkas sebagai bukti. Mulai identitas, pangkat atau jabatan, jam mengajar, pendidikan, gaji pokok, daftar hadir dan lainnya. Pemberkasan dilakukan pada bulan Januari dan Juli. Di Kementerian Agama (Kemenag),  ada pemberkasan tambahan di bulan Maret dan September, walau tak selengkap sebelumnya.
          Pemberkasan menjadi persoalan sendiri bagi guru. Sebab, disamping membutuhkan perhatian khusus juga memiliki konsekuensi pada pembayaranTPG. Bisa saja TPG kita tak terbayarkan jika dalam pemberkasan terdapat kesalahan. Apalagi kalau tak melakukan, mengabaikannya. Selain pemberkasan, guru kudu mengapdute data pokok pendidik (dapodik). Dapodik mesti dipantau terus. Jika ada point yang tak terisi, maka pembayaran TPG tidak terbayarkan.
          Kedua, pembayaran telat. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 41/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer Ke Daerah dan Dana Desa Pasal 21, 22 dinyatakan bahwa pencairan tunjangan profesi guru disalurkan secara triwulam yaiitu pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Guru  harus menunggu tiga bulan sekali untuk menerima haknya, satu kali gaji pokok. Pembayaran triwulan tersebut terkadang terlambat. Keterlambatan dikarenakan alasan teknis yang sulit dipahami dan dimengerti oleh para guru.
          Ketiga, sorotan tajam publik. TPG awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan meningkatnya kesejahteraan, kualitas dan kinerja guru diharapkan dapat membaik serta meningkat. Sehingga masyarakat luas memberi perhatian khusus pada kinerja guru. Berdasarkan banyak penelitian, kinerja guru ternyata belum banyak mengalami perubahan. Ini menjadi problem internal guru. Di tengah soratan publik, mereka merasa dilarang untuk hidup lebih sejahtera.
          Walhasil, TPG merupakan perhatian dan keberpihakan pemerintah pada para guru. TPG idealnya mensejahterakan guru. Guru layak hidup lebih baik. Bukankah peran, fungsi dan jasa mereka pada pembangunan manusia Indonsia sangat besar? Keberpihakan pemerintah mestinya tidak setengah hati dengan mempersulit pencairan TPG.
          Alangkah bijaknya, jika ke depan pemberkasan ataupun teknis pencairan TPG lainnya dipermudah. Nampaknya, bangsa kita masih berpegang teguh dengan ungkapan, kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah? Ungkapan ini menjadi ciri khas dunia birokrasi di tanah air. Lebih membahagiakan lagi bila pembayaran TPG disatukan dengan gaji seperti usulan Pegurus PGRI selama ini.
          Akhirnya, guru sepantasnya meningkatkan profesionalitas dengan mengembangkan kompetensi yang dimiliki. Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 10, guru wajib memiliki empat kompetensi yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dengan demikian, TPG akan mengantarkan guru menjadi sejahtera plus prosfesional dalam mencerdaskan anak bangsa. Wa Allahu Alam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar