Jumat, 05 Juni 2015

SEKALI LAGI, PENDIDIKAN KARAKTER

          Kementerian Pendidikan Nasional (2011) telah merilis 18 karakter  bangsa Indonsia yang harus ditanamkan kepada peserta didik di semua jenjang. Kedelapan belas itu meliputi: 1.Religius.Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.  2. Jujur. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi.Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin.Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja Keras.Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 6. Kreatif. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri.Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.8. Demokratis.  Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.9. Rasa Ingin Tahu.Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.10. Semangat Kebangsaan. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.11. Cinta Tanah Air. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.12. Menghargai Prestasi. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/Komunikatif.Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.14. Cinta Damai.Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.15. Gemar Membaca.Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.17. Peduli Sosial.Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung Jawab.Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
          Dalam sebuah acara  di salah satu stasiun TV swasta nasional beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan mengatakan,  kejujuran yang kita tanamkan pada peserta didik sekarang akan merubah wajah Indonesia 10, 15 tahun ke depan. Indonesia akan bersih dari korupsi dan berbagai kepalsuan. Nampak jelas keprihatinan pak menteri terhadap kondisi bangsa yang korup, penuh kepalsuan. Pak Anies Meyakini solusinya adalah penanaman karakter terutama kejujuran pada peserta didik.
Generasi Jujur dan Pembelajar
          Saya  sepakat dengan pak Menteri, bahwa kejujuran adalah nilai dan karakter yang sangat penting dan menjadi solusi menghapus korupsi yang telah menggurita. Tapi berdasarkan pengalaman saya sebagai guru, kejujuran menjadi paling sulit ditanamkan ke peserta didik. Saya mengukurnya dengan sulitnya mereka jujur dalam mengerjakan soal, tugas yang diberikan. Makanya tak heran (baca:menjadi rahasia umum) kecurangan kerapkali terjadi saat UN. Dalam kelas, saya seringkali memberi motivasi dan dorongan agar jujur dalam mengerjakan soal atau tugas. Saya katakan, nilai bagus tidak ada manfaatnya bila diperoleh dari membohongi diri sendiri dengan cara menyontek, atau bertanya ke teman. Dan mereka tak bergeming, kebiasan menyontek sudah mendarah daging. Kenapa mereka sulit jujur dalam mengerjakan soal misalnya? Menurut hemat saya ada beberapa hal yang melatarbelakanginya. Pertama, salah paham dalam memahami tujuan belajar. Mereka (peserta didik, orang tua, juga sebagian pendidik sendiri) beraanggapan bahwa belajar itu untuk memperoleh nilai yang baik, bagus, serta memuaskan. Orientasi pada nilai telah tertanam dalam-dalam pada diri peserta didik. Penanaman itu mereka rasakan sejak di keluarga. Orang tua seringkali memberi pengertian yang salah tentang tujuan belajar. Belajar yang rajin supaya nilainya bagus, menjadi juara. Ungkapan seperti itu yang kerapkali disampaikan ke anak saat orang tua memberi motivasi belajar. Padahal sebenarnya tujuan belajar itu 1) untuk tahu bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup, 2)untuk berlatih menyelesaikan masalah 3) menggali bakat dan minat sebagai bekal ketrampilan hidup. Kedua, saya menyebutnya faktor lingkungan. Lingkungan terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat luas. Lingkungan tidak banyak memberikan keteladanan. Ketiga,  gaya hidup instan. Anak sekarang terbiasa dengan hidup serba cepat, dimanjakan dengan berbagai kemudahan dalam segala hal sehingga tidak mau peduli dengan proses. Inginnya cepat didapat, singkat memperoleh hasil tanpa harus bersusah payah. Ini yang mendorong mereka buta mata, tak peduli dengan cara (baik tidaknya) memperolehnya.
          Di samping kejujuran, menghadirkan generasi pembelajar di dalam kelas juga memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Generasi pembelajar dicerminkan dalam 7 karakter yaitu rasa ingin tahu, gemar membaca, disiplin, kreatif, kerja keras, mandiri dan menghargai prestasi. Di antara tujuh karakter di atas, gemar membaca merupakan karakter yang paling sulit ditanamkan ke peserta didik. Mengapa demikian? Saya melihatnya, karena miskin keteladanan. Anak tidak melihat dan menyaksikan orang tuanya, bahkan gurunya gemar membaca. Kita semua (baiik guru, maupun orang tua) jauh dari sebutan gemar membaca. Coba untuk mengukur diri, berapa halaman setiap hari kita membaca buku? Berapa buku yang kita beli dalam setiap bulan? Berapa kali kita ke perpustakaan dalam seminggu? Saya dan anda akan dengan mudah  menjawabnya.  Jawabanya pasti jauh dari keteladanan untuk anak-anak kita. Ini menjadi PR kita bersama.
          Ringkasnya, pendidikan karakter bukan semata tugas guru di sekolah tetapi menjadi tugas bersama. Mari kita semua menjadi guru terbaik buat anak-anak kita, yang tidak sekadar mendidik dan mengajar lebih jauh memberi keteladanan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar