Jumat, 15 Januari 2016

MEA dan Pendidikan Kita


          Terhitung 1 Januari  lalu, Asean Economic Community (AEC) atau dalam istilah  bahasa Indonesia Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) diberlakukan. MEA atau AEC adalah bentuk kerja sama antara anggota negara-negara Asean  yang terdiri dari Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Melalui kerja sama tersebut akan diberlakukan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. MEA dipersiapkan dan dirancang  untuk mewujudkan wawasn ASEAN 2020.  Dengan diberlakukannya MEA, jelas persaingan usaha akan semakin sempit walau pangsa pasar lebih luas meliputi negara-negara ASEAN.
          Pembentukan MEA berawal dari kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada KTT selanjutnya yang berlangsung di Bali Oktober 2003, petinggi ASEAN mendeklarasikan bahwa pembentukan MEA pada tahun 2016.
          Pertanyaanya adalah apakah  kita semua, Indonesia sudah siap guna mengahadapi MEA? Dalam sebuah kesempatan, Presiden Jokowi menegaskan bahwa siap tidak siap Indonesia harus siap. Jangan takut. Kita harus bangun optimisme. Terkait dengan kesiapan Indonesia, beberapa kalangan mengusulkan agar kita fokus pada nilai unnggul. Nilai lebih yang dimiliki.  Tentu dengan tidak mengabaikan potensi unggul lainnya.
          Anas Arief, Kepala Bagian Perlindungan Konsummen Kementerian Kordinator Perekonomian berpendapat, Indonesia memliki keunggulan dalam beberapa sektor. Diantaranya, Anas Arif menyebutkan keunggulan sektor kontriuksi, sektor kesehatan, sektor kelautan dan produk lokal. Pada sektor tersebut Indonesia bisa memfokuskan diri.  Untuk sektor kontrusksi permasalahan kita ada pada sertifikasi.  Demikian pula sektor kesehatan, secara profesional talenta Indonesia diakui oleh Jepang. Namun sertifitaktnya belum dimiliki. (http://nasional.republika.co.id/)
          Walaupun di banyak sektor Indonesia memiliki nilai unggul itu tidak menjamin akan memenangkan persaiangan. Keunggulan tersebut membutuhkan SDM  yang handal untuk menyulapnya menjadi kemenangan. Dan SDM yang diharapkan sangat bergntung dunia  pendidikan. Sementara dunia pendidikan kita masih dipertanyakan oleh banyak pihak seperti Daniel Johan, Kapoksi Komisi IV  DPR RI. Ini yang harus dijawab oleh dunia pendidikan kita.
          Daniel Johan, menyebutkan Indoensia masih memiliki kelemahan dalam persaingan di MEA. Disebutkannya kelemahan tersebut diantaranya di bidang pendidikan, pemerintahan, birokrasi, sistem dan peraturan undang-undang. Secara khusus dalam bidang pendidikan, Daniel Johan berargumentasi Kelemahan Indonesia di bidang pendidikan dapat dilihat dari sedikitnya lulusan sarjana dibandingkan sekolah dasar. (http://www.beritasatu.com/)
Pendidikan kita
            Pendidikan mengemban peran sangat  penting dalam membangun  sumber daya manusia (SDM) handal yang kompetitif,  mampu bersaing dengan negara lain. Oleh karena itu untuk menyambut MEA, dunia pendidikan kita harus mampu mempersiapkan SDM yang terampil, peka dan kritis dalam menghadapi tantangan maupun perubahan-perubahan yang akan terjadi di dunia pendidikan mendatang. Dina Nur Hayati (2015) menyebutkan, tantangan MEA dalam dunia pendidikan yang akan dihadapi antara lain, menjamurnya lembaga pendidikan asing, standar dan orientasi pendidikan yang makin pro pasar, serta pasar tenaga kerja yang dibanjiri tenaga kerja asing. (https://dinanurhayati.wordpress.com)
          Kehadiran lembaga pendidikan asing di era MEA merupakan suatu kenistaan yang tak dapat ditolak tapi harus disikapi, disiasat, dihadapi dan dipersiapkan oleh lembaga pendidikan kita. Ke depan persaingan lembaga pendidikan akan lebih ketat lagi. Persaingan tak hanya antara lembaga pendidikan kita, juga dengan lembaga pendidikan asing. Di sini, mutu dan  kualitas pendidikan akan dipertaruhkan. Sebab tidak mustahil untuk mengejar mutu dan kualitas, masyarakat kita memilih lembaga pendidikan asing. Bukankah selama ini sebagian dari mereka juga bersekolah atau kuliah di lembaga pendidikan asing, bahkan untuk itu mereka rela meninggalkan tanah air untuk belajar di luar ke Malaysia, Australia misalnya?
          Ini menjadi tantangan yang harus disadari oleh semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di tanah air. Semua civitas pendidikan harus siap dan mempersiapkan diri menghadapi MEA. Mereka dituntut meningkatkan kemampuan, kualitas, etos kerja, dan tanggung jawab. Ditambah lagi posisi mereka sebagai produsen SDM Indonesia.
          Kemudian pendidikan kita ke depan harus berorientasi pada pangsa pasar. Saya teringat dengan konsep pendidikan Link annd Match yang digagas mantan Menteri Pendidikan Prof. Dr wardiman Joyonogoro. Link and Match ialah pendekatan menghendaki adanya hubungan anatara dunia pendidikan dan dunia usaha atau industri. Dunia penidikan disiapkan sebagai pemasok tenaga kerja handal sedangkan dunia usaha sebagai pengguna. Sehingga dalam Link and Match, kurikulum menyesuaikan dunia usaha dan industri.
          Beberapa waktu lalu,  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan mencabut pemberlakuan Kurikulun 2013 dengan alasan penerapan kurikulum itu terlalu buru-buru. Kurikulum 2013  disempurnakan. Mustinya, penyempurnaan itu juga mengakomodir kepentingan kita semua menghadapi MEA. Karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya tantangan dan tuntutan dunia pendidikan terkait MEA adalah berorientasi pada pasar. Karena kurikulum 2013 yang sedang direvisi oleh Kemendikbut idealnya tanggap terhadap pesoalan MEA. Sehingga ke depan kurikulum pendidikan bisa menjawab kebutuhan menghadapi pasar bebas.
          Dan paling penting dari semuanya adalah kesiapan guru dalam menghadapi MEA. Karena guru berada pada garda terdepan pendidikan, yang menyiapkan SDM Indonesia bersaing di MEA. Untuk itu guru harus meningkatkan etos kerja, kualitas diri, kreatifitas dalam mendidik dan mengajar peserta didik. Program Tunjangan Sertifikasi Guru (TPG) yang digulirkan oleh Pemerintah beberapa tahun belakangan harus dimaknai sebagai usaha meningkatkan kulaitas, profesionalisme  disamping meningkatkan kesejahteraan guru tentunya.
          Walhasil, MEA sudah di depan mata. Kita tak bisa menghindar. Semua harus siap termasuk dunia pendidikan. Dan guru sebagai pelaku pendidikan yang berada di garda terdepan harusnya lebih tanggap dan siap. Jangan pernah meremehkan.  Bila Pendidikan kita tak siap, bisa jadi masyarakat kita sendiri akan memilih lembaga pendidikan asing. Ini menjadi memalukan. Selain itu , pendidikan kita tak akan mampu mencetak SDM Indonesia handal yang dapat bersaing dan memenangkan di era MEA. Ini yang menjadi ketakutan sebagian dari kita. Sekarang saatnya kita buang ketakutan, menyongsong optimisme ke depan dengan usaha dan kerja keras. Wa Allahu Alam

Dimuat di Harian Radar Cierbon, 12 Januari 2016, Fajar Cirebon, 13 Janauary 2016





Tidak ada komentar:

Posting Komentar