Jumat, 22 Januari 2016

Mengantisipasi Radikalisme di Sekolah


          Dua minggu pertama tahun ini, kita dikejutkan dengan dua pemberitaan yang mendapat perhatian sangat besar dari publik. Pertama, terkait aliran atau organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Kedua, pengeboman kawasan Sarinah Jakarta yang diduga dilakukan oleh para teroris yang berafiliasi dengan ISIS. Kedua peristiwa yang muncul berurutan tersebut seakan memberi pesan kepada kita tentang hukum sebab akibat. Bahwa paham radikalisme yang diyakini oleh sebagian masyarakat seperti mereka yang bergabung dengan Gafatar akan melahirkan tindakan teror yang tak manusiawi seperti pengeboman di Sarinah.
          Ya, terorisme memang produk dari paham radikalisme. Rasikalisme  adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham / aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa. (https://id.wikipedia.org)
          Paham radikalisme menjadi ancaman bagi generasi muda. Pasalnya gerakan radikalisme seperti Gafatar atau lainnya biasa mengincar kalangan muda, berpendidikan yang pengetahuan dan pemahaman agamanya minim. Mereka sangat mudah untuk dipengaruhi. Mereka dijadikan teroris dengan alasan berjihad di jalan Allah. Mereka diajak menegakan syariat  dan mendirikan negara Islam.  Mereka telah salah kaprah dalam memahami ajaran agama. Mereka tertipu, bersedia menjadi “pengantin jihad” dalam aksi bom bunuh diri.
          Dalam tulisan, Gafatar dan Problem Keberagamaan Kita,  yang di muat di sebuah harian umum (15/1), saya mensinyalir bahwa paham radikalisme kerapkali muncul di ruang kosong. Ruang kosong dimaksud adalah komunitas yang memiliki semangat tinggi tetapi minim juru agama yang mempuni di dalamnya.  Saya mencontohkan dunia kampus. Mahasiswa PT umum yang bermodalkan semangat tinggi namun minim pemahaman agama  dengan mudah menerima ajaran radikalisme apa pun bentuknya. Mereka meyakini pemahaman mereka yang paling benar, paling Islam. Selain mereka dianggap salah, kafir yang harus diperangi.
Perkembangan berikutnya paham radikalisme tak hanya masuk kampus tapi lebih jauh telah menyentuh sekolah. Masih segar dalam ingatan, beberapa waktu lalu Kemendikbud merasa kecolongan dengan masuknya materi beraroma radikalisme pada buku pegangan  siswa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam  dan Budi Pekerti SLTA di beberapa daerah Jawa Timur. Buku  untuk SMA/MA/SMK/MAK kelas XI, Kurikulum 2013, Cetakan 2014 dengan kontributor naskah Mustahdi dan Mustakim, penelaah Yusuf A Hasan dan Moh. Saerozi, penerbit Pusat Kurikulum Perbukuan, Balitbang Kemdndikbud  itu akhirnya ditarik  dari peredaran.
Karenanya menjadi tugas, kewajiban para pendidik di sekolah untuk membentengi peserta didik mereka dari bahaya radikalisme. Untuk mengantisipasi hal tersebut, menurut hemat saya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, pertama, sosialisasi sejak dini. Sosialisasi dilakukan secara kolektif. Artinya,  sosialisasi menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bukan hanya guru PKN atau Agama misalnya. Semua guru diminta menyampaikan bahaya terorisme dan radikalisme. Tentu tidak harus memasukan materi secara khusus. Sosialisasi dapat disampaikan pada saat materi ajar yang dapat dikaitkan seperti tentang dasar negara, semboyan negara Bhineka Tunggal Ika, toleransi, pluralisme atau lainnya. Sosialisasi dapat dilakukan saat upacara bendera setiap Senin pagi. Bisa juga dengan pemasangan sepanduk, pamlet, dan poster. Kegiatan-kegiatan ekstrakuler seperti pramuka, paskibra juga dapat dijadikan media sosialisasi.
Kedua, memberdayakan masjid atau mushollah sekolah sebagai pusat kegiatan ke-Islaman. Bagi sekolah yang memiliki masjid atau mushollah ini menjadi  keuntungan tersendiri. Guru PAI bisa memaksimalkan fungsinya sebagai juru agama di sekolah. Masjid atau mushollah harus dijadikan pusat pemberdayaan peserta didik dalam memahami, mengamalkan, menghayati Islam secara benar. Di luar jadwal yang ada di kelas, peserta didik bisa belajar agama dalam kegiatan-kegiatan di masjid atau mushollah sekolah. Di sini kreatifitas guru PAI dituntut secara maksimal agar peran dan keberadaan masjid atau mushollah sekolah dapat dirasakan manfaatnya terutama dalam menangkal radikalisme.
Ketiga, memproteksi organisasi kesiswaan seperti OSIS, Rohis (Rohani Islam). Dalam banyak kasus, radikalisme seringkali memperdayakan anak-anak yang aktif di sekolah. Semangat mereka yang bergebu-gebu akan  mudah dipengarui oleh siapa saja yang dianggap hebat, dikagumi. Maka wajib bagi para guru untuk bersama-sama mengawasi, membimbing mereka. Guru harus hadir di tengah mereka sebagai teladan, rujukan setiap persoalan yang dihadapi. Anak -anak tidak boleh dilepas begitu saja.  Baik OSIS maupun Rohis harus diproteksi dari pengaruh paham radikalisme.
Keempat, mengembangkan toleransi dan menanamkan hidup plural. Toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati setiap perbedaan yang ada baik agama, etnis, ras maupun lainnya. Sedanglan pluralisme adalah kesedian hidup bersama perbedaan-perbedaan tersebut. Di tengah keragaman, para guru harus mengedepankan, mencontohkan toleransi antara sesama warga sekolah. Dan terkait dengan radikalisme,  toleransi beragama memilki peran penting sebagai penangkal paham berbahaya tersebut. Di sini peran guru Agama sangat dominan. Guru Agama harus mampu mengayomi semua agama, madzhab, kelompok yang ada. Sehingga di sekolah tercipta kehidupan yang plural, humanis dan toleran.
          Kelima, boleh juga, sekali-kali menyelenggarakan kegiatan khusus terkait bahaya paham radikalisme. Kegiatan dapat dilakukan dengan bekerja sama Kepolisian, MUI, atau wali siswa.
          Singkat kata, radikalisme bisa ada di mana saja termasuk di sekolah. Karenanya kesiapan para pendidik  untuk mengantisipasinya menjadi sebuah keharusan. Sekolah wajib mengantisipasinya dengan sosialisasi sejak dini, memberdayakan masjid atau mushollah sekolah sebagai pusat belajar, mengamalkan dan menghayati agama secara benar, memproteksi OSIS dan Rohis, mengmbangkan hidup toleran dan plural. Dengan langkah-langkah nyata tersebut, radikalsme diharapkan tak memilki cela sedikit pon untuk bisa masuk ke sekolah.Wa Allahu Alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar