Jumat, 22 Januari 2016

Kami Tidak Takut


Kamis 14 Januari lalu menjadi titik hitam bagi Indonesia. Aksi teror kembali muncul, mengusik ketenangan dan ketentraman masyarakat. Sebuah ledakan terjadi di depan pos polisi Sarinah dan gerai kopi Starbuck, Jakarta Pusat. Peristiwa terjadi sekitar pukul 10.40 WIB.  Ledakan pertama terdengar pukul 10.40 WIB. Lalu, ledakan kedua terdengar sekitar pukul 10.50 WIB, ledakan ketiga pukul 10.56, ledakan keempat pukul 10.58, ledakan kelima pukul 11.00 WIB, dan ledakan terakhir pukul 11.02 WIB. Menurut keterangan wartawan di lapangan, tiga ledakan terjadi bersusulan dan polisi menemukan senjata. Orang-orang di sekitar kompleks gedung-gedung yang berdekatan dengan Gedung Sarinah  berhamburan keluar setelah ledakan pertama terjadi. Aksi saling tembak antara aparat kepolisian dan  pelaku teror membuat masyarakat panik, terkejut. Maklum, kajadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Pasca pengeboman di kawasan Sarinah Jakarta, ada hal menarik yang menjadi pemberitaan publik dan media massa. Ini yang membedakan tragedi pengeboman sebelumnya seperti bom Bali atau lainnya. Ungkapan “Kami Tidak Takut” menjadi obat psikoligis sekaligus reaksi warga terkait isu teror yang ditebar para teroris  di ibu kota. Ungkapan itu mendapat responds sangat cepat di media masa dan dunia maya. Sehingga sehari selang peristiwa pengeboman Sarinah, “Kami Tidak Takut” menjadi trend topic dunia. Ini tentu luar biasa.
          Ungkapan “Kami Tidak Takut” merupakan responds positif masyarakat terhadap ajakan Peresiden Jokowi. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo mengecam aksi teroris di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Dia mengajak rakyat tak takut dan terkalahkan dengan tindakan tersebut.
Di tengah kunjungannya ke Kabupaten Cirebon, Jokowi mengaku telah mendapat laporan mengenai ledakan di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, disusul aksi penembakan. Presiden Jokowi mengajak rakyat tak gentar menghadapi aksi-aksi teroris.  Jokowi mengatakan , rakyat tak boleh dikalahkan dengan rasa ketakutan yang disebarkan kelompok-kelompok teroris. Kita tak boleh takut dan kalah dengan aksi teror. (http://nasional.sindonews.com/)
Presiden Jokowi pun tanpa takut langsung turun ke lokasi ledakan. Kunjungan Jokowi membuat rakyat kaget, terkejut. Jokowi ternyata tak hanya beretorika dengan mengatakan jangan takut. Jokowi telah memberi contoh dan teladan bahwa tindak terorisme harus dilawan. Maka dengan gegap-gempita rakyat pun  meneriakkan kata, Kami Tidak Takut.
Dengan “Kami Tidak Takut”, kita semua diminta bersatu dan bergandeng tangan.  Slogan itu menyadarkan masyarakat bahwa dalam melawan teroris kita harus bersatu,  saling berbagi informasi, bekerja sama dengan semua elemen baik kepolisian, TNI atau lainnya.  Perlawanan kepada teroris bukan saja  digaumkan dengan sangat dahsyat di media sosial, tetapi juga langsung turun ke lapangan. Sejumlah organisasi kemasyarakatan melakukan gerakan tabur bunga di lokasi pengboman  Sarinah dan meneriakkan kembali kata, Kami Tidak Takut.
Kami Tidak Takut merupakan responds nyata dari masyarakat bahwa tujuan teroris untuk menakut-nakuti masyarakat telah gagal. Teroris menjadi terjepit. Gerakan masyarakat yang tidak takut kepada teroris jelas akan mengubah filosofi para teroris di Indonesia. Jika masyarakat turut serta memerangi para teroris, maka aksi itu menjelma menjadi kekuatan maha dahsyat. Apalah arti kepolisian, tentara dan intelijen jika ada banyak masyarakat mendukung aksi terorisme di negeri ini. Mereka pasti tidak dapat berbuat banyak.
 Belajar pengalaman dar kawasan di  Timur Tengah yang sarat dengan konflik dan aksi terror, keberadaan polisi juga tentara sama sekali tidak berdaya menghadapi para teroris.  Karena masyarakat di sana  mendukung mereka. Para teroris dengan mudah membaur dengan rakyat, berlatih, berlindung, lalu kemudian muncul tiba-tiba dari kerumunan orang melakukan tindakan terror.
Memaknainya
          Ke depan semangat dan spirit “Kami Tidak Takut” harus  terus dijaga. Solgan tersebut,  menurut hemat saya harus dimaknai sebagai berikut, pertama, simbol perlawanan bersama terhadap segala bentuk teror di bumi nusantara. Pemerintah dan rakyat harus bersatu melawan teorisme dalam bentuk apa pun. Jangan memberi kesempatan dan ruang gerak sedikit pun pada para teroris. Perlawanan bersama tersebut harus dilandasi pada kesadaran bahwa aksi teror apa pun motivasinya, siapa pun pelakunya, apapun organisasinya, juga apapun ideologinya hanya akan mendatangkan kesengsaraan, bagi orang banyak. Aksi teror adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian univesal.
          Kedua, membangun kesadaran bersama bahwa ideologi terorisme dan radikalisme bisa ada di mana saja. Karenanya, slogan “Kami Tidak Takut” harus membangkitan kesadaran bersama untuk memproteksi diri, keluarga, lingkungan terdekat dari pengaruh paham atau ideologi radikal seperti yang diyakini ISIS misalnya. Bukankah selama ini kita sering dikejutkan dengan fakta, ternyata di antara  mereka (para teroris) berasal dari keluarga, atau lingkungan kita? Seperti diketahui, kemaren (15/1), kepolisian sedikitnya telah mengakap 6 orang di wilayah Cirebon dan Indramayu yang diduga terkait dengan aksi teror Sarinah. Ini harus menjadi pelajaran bagi kita. Diantara cara meproteksi diri dapat dilakukan dengan mempelajari, memahami dan mengamalkan  agama secara benar. Karena aksi teror seringkali dibungkus dengan semangat keagamaan.
          Ketiga, peringatan untuk semua bahwa aksi teror bisa datang kapan saja, di mana saja. Karenanya semua pihak (pemerintah, aparat, juga rakyat) diminta waspada terus, tidak boleh lengah. Kewaspadaan bersama akan mempersempit ruang gerak para pelaku teror.
          Keempat, mengingatkan semua elemen bangsa bahwa bagi kita Pancasila dan NKRI adalah sesuatu yang final. Aksi terorisme biasa berlatar belakang politik, berniat mengganti ideologi dan bentuk negara. Segala usaha yang mengarah ke arah tersebut harus ditolak. Bagi bangsa Indonesia Pancasila dan NKRI adalah harga mati, tak bisa ditawar.
          Walhasil, teriakan kita semua “Kami Tak Takut” menjadikan para teroris terpukul mundur. Mereka akan merasa gagal. Apalagii teriakan itu dimaknai sebagai simbol perlawanan bangsa ini yang membangkitkan kesadaran bahaya setiap ideologi yang mengajarkan terorisme.  Teriakan tersebut sekaligus menjadi peringatan atau warning bahwa aksi teror bisa datang kapan saja, di mana saja yang menjadikan semua rakyat wapada terhadap setiap gerakan terorisme. Akhirnya, menyadarkan semua bahwa Pancasila dan NKRI adalah final, tak tergantikan. Jangan mimpi, para teroris bisa merubahnya. Wa Allahu Alam.
Dimuat di Harian RADAR CIREBON, Senin 18 Januari 2016





Tidak ada komentar:

Posting Komentar