Kamis, 07 Januari 2016

2016 Politik Teduh, Mungkinkah?


          Selama tahun 2015 kegaduhan politik sangat dirasakan oleh semua elemen masyarakat. Goncangan dari kegaduhan itu tak hanya terlihat pada tataran  elit poltik tapi bisa dirasakan secara langsung pada ruang publik. Kegaduhan politk elit melahirkan kegaduhan publik. Itu terlihat jelas,  dapat disaksikan di media sosial seperti Facebook dan Twiter.  Polarisasi rakyat akibat Pilpres dua tahun silam telah mempertajam kegaduhan tersebut. Karena kegaduhan juga bermuara pada pertaruhan kepentingan politik  antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) baik di parlemen maupun di pemerintahan.
          Di tahun 2016 ini, rakyat berharap kepada para politisi untuk bersikap lebih dewasa. Mereka diminta tak lagi membuat kegaduhan. Politisi di parlemen dituntut fokus menjalankan apa yang menjadi tugas, fungsi dan kewenangannya. Sehingga keberadaan mereka dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat yang memilih. Selama ini eksistensi anggota DPR tak ubahnya para badut yang seringkali menciptakan dagelan politk yang tak lucu, yang hanya mendatangkan kegaduhan. Mereka hanya berebut kepentingan dan kekuasaan. Mereka tak banyak berbuat untuk rakyat. Terbukti sejak dilantik mereka hanya bisa menyelesaikan atau mengesahkan tiga Undang-undang. Sungguh ironis sekaligus memalukan.
          Sebelumnya, harapan di atas telah disampaikan oleh Ketua MPR, Zulkifli Hasan. Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan, saatnya semua pihak bersatu mencari solusi, meninggalkan segala polemik yang menguras energi dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Jangan biarkan perpecahan menghancurkan bangsa ini. Mari kita ciptakan politik yang teduh. Jangan ciptakan kegaduhan lagi. (http://news.liputan6.com/)
          Paling Mutakhir, harapan juga disampaikan oleh pengamat politik, Prof Ikrar Nursabakti. Dalam tayangan di salah satu TV swasta nasional beberapa hari yang lalu, beliau meminta semua partai politik untuk menciptakan politik teduh. Politisi diminta bertindak, berprilaku lebih dewasa. Secara khusus, Prof Ikrar meminta PDIP untuk bisa menahan diri dan mendisiplinkan beberapa kader yang dalam penilaianya berlebihan. Seperti diketahui beberapa politisi PDIP seperti Rieke Diah Pitaloka, Efendi Simbolon, Masinton Pasaribu justru kerapkali menjadi sumber kegaduhan. Ini menjadi aneh. Bukankah mereka dari parpol pendukung pemerintah?
Mungkinkah?
          Sekarang pertanyaanya, mungkinkah politik di tanah air akan menjadi lebih teduh seperti keinginan kita semua? Melihat perkembangan, gelagat yang ada nampaknya harapan politk teduh di 2016 itu seperti panggang jauh dari api. Belum ada tanda-tanda yang mengarah ke sana. Ada beberapa fakta yang menurut hemat saya bisa dijadikan argumentasi, pertama, isu reshufle kabinet jilid dua. Di penghujung tahun lalu isu itu menjadi hangat kembali. Adalah Aziz Subekti yang melempar bola panas itu. Ia mengatakan bahwa dalam waktu dekat Presiden Jokowi akan mereshufle kebinet. PAN memperoleh jatah dua kursi. Taufik Kurniawan, kader PAN yang saat ini menjadi wakil ketua DPR menggantikan Ignasius Jonan sebagai Menteri Perhubungan. Kemudian Asman Asnur menggantikan Siti Nurbaya dari Partai Nasdem sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Aziz Subekti menyebutkan memperoleh informasi itu dari orang dalam istana. Spontan pernyataan ini mendapat reaksi dari berbagai pihak. Publik menganggapnya sebagai intervensi, mendikte Presiden. Pihak istana melalui sekretaris Kabinet Pramono Anung akhirnya menyampaikan bantahan. Intervensi seperti ini sebelumnya dilakukan oleh DPR melalui Pansus Pelindo II. Pansus yang diketuai oleh Reike Diah Pitaloka itu merekomendasikan Presiden untuk memberhentikan Rini Soemarni sebagai Menteri BUMN. Hal di atas yang memaksa Presiden mengeluarkan statemen, meminta semua pihak agar tidak mengintervensi Presiden. Reshufle adalah hak perogatif Presiden, tegasnya.
          Kedua, rencana pansus Freepot. Setelah kasus papa minta saham yang mengguncang politik tanah air meredah dengan mundurnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR, beberapa anggota dewan menggulirkan wacana pembentukan pansus Freeport. Pansus bertujuan untuk menyelidiki lebih jauh tentang perpanjangan PT Freeport. Bila ini terwujud, dipastikan kegaduhan besar akan menyusul. Karena ini ditengarai sebagai uapaya balas dendam sebagian kalangan dewan terkait kasus papa minta saham yang heboh itu.
Ketiga, konflik internal beberapa paryai politik yang tak berujung seperti yang dialami Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Parta Golkar. Konflik yang berawal adanya keinginan sebagian anggota atau tokoh partai untuk bergabung dengan pemerintah sementara yang lain menolaknya. Konflik internal telah melahirkan dua kepengurusan. Di PPP, kubu Djan Farid dan Romahurmuzy. Dalam internal Partai Golkar, kubu Aburizal Bakrie berhadapan dengan kubu Agung Laksono. Konflik berkepanjangan di kedua partai ini telah mencoreng iklim demokrasi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Dan pastinya, konflik internal itu telah menciderai iklim politik teduh yang diharapkan.
Keempat, legalitas Partai Golkar. Partai berlambang pohon beringin itu dianggap tak legal lagi setelah Menteri Hukum dan HAM mencabut  SK Nomor M HH-01 AH.11.01 Tahun 2015,    yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono dan tidak mengesahan kepengurusan Aburizal Bakri. Menkumham mengembalikan pada kepengurusan Golkar hasil Munas Riau sesuai keputusan Mahkamah Agung yang memutuskan SK Mekumham terkait kepengurusan Agung Laksono cacat hukum. Sementara kepengurusan Munas Riau telah berakhir per 31 Desember 2015. Masalah legalitas Partai Golkar berdampak pada persoalan legal standing usulan Fraksi Golkar yang mengusulkan penggantian Setya Novanto oleh Ade Komaruddin. Terkait dengan ini, Wakil Sekretaris Jendral Partai Golkar hasi Munas Ancol Dave Laksono meminta pelantikan Ade Komarudin  sebagai Ketua DPR ditunda. Dave beralasan, hingga saat ini tak ada kepengurusan Golkar yang sah. Ini nampaknya menjadi awal babak baru kegaduhan di parlemen.
          Akhir kata, fakta dan realitas di atas telah meruntuhkan optimisme menghadirkan politk teduh di 2016. Namun demikian politik tetap saja politik. Banyak kemungkinan bisa terjadi. Segala hal dalam politik tak ada yang pasti, bisa berubah. Harapan kita tentu perubahan positif yang muncul di panggung politik nasional di waktu yang akan datang sehingga mampu menghadirkan keteduhan politik nasional. Perubahan positif itu akan lebih cepat berpengaruh mewujudkan politik teduh bila eilt partai bisa menahan diri. Dan para pimpinan partai politik menjadi kunci dalam mengendalikan anggotanya. Mereka diminta memberikan contoh berpolitk teduh, juga jangan ragu mendisiplinkan mereka yang membuat gaduh. Wa Allahu Alam
(Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, Rabu, 6 Januari 2016)


          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar