Jumat, 22 Januari 2016

SETNOV Mangkir Lagi, Bagaimana Status Kasusnya?


Setya Novanto kembali mangkir dari panggilan Kejaksaan Agung. Kemaren (20/1), Kejaksaan Agung  menjadwalkan pemeriksaan terhadap Setya Novanto terkait kasus pemufakatan jahat dalam perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia.  Sebelumnya,  saat didesak apakah akan melakukan pemanggilan paksa apabila terus-terusan mangkir,  Jaksa Agung HM Prasetyo tetap meyakini bahwa Politikus  Partai Golkar itu akan datang pada pemanggilan yang kedua itu. Ini penolakan Setya Novanto yang kedua kalinya.  Seperti diketahui, Setya Novanto telah dipanggil untuk pertama kalinya pada Rabu 13 Januari lalu. Namun, dia memilih mangkir untuk dimintai keterangan terkait dengan kasus  tersebut.
Kaitan dengan pemanggilan Kejagung,  kuasa hukum Setya Novanto, Firman Wijaya mengatakan belum dapat memenuhi panggilan Kejagung dengan alasan keamanan. Alasan seperti ini terkesan mengada-ada, dibuat-buat. Menurut Lais Abid, Devisi Investigas ICW, alasan Setya Novanto tidak memenuhi panggilan Kejagung karena alasan keamanan sungguh tidak tepat.
Lais menegaskan, di Kejagung sudah ada prosedur bagaimana memberikan pengamanan kepada siapapun yang dipanggil untuk penyelidikan atau penyidikan.  Sebenarnya setiap penegak hukum memilki kewenangan untuk menghadirkan paksa seorang dalam konteks pemeriksaan. Dalam kasus besar seperti ini, Kejagung harus berani ambil sikap. Ia mencontohkan KPK yang berapa kali menghadirkan paksa para saksi. Saat ini kasus dugaan pemufakatan jahat tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Lais meminta Kejagung  tidak perlu menunggu keterangan dari Setya Novanto atau Reza Chalid untuk menaikkan status menjadi penyidikan. (htp://kabar24.bisnis.com)
Dalam pemanggilan pertama, Setya Novanto juga mangkir dengan alasan karena tidak ada izin dari Presiden. Terkait hal tersebut, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan bahwa sesuai dengan Undang-undag MD3 dan Keputusan MK dalam kasus pidana khusus seperti korupsi tidak mensyaratkan dan memerlukan izin dari Presiden.
Kasus Setya Novanto mendapat perhatian yang sangat besar dari publik. Kasus yang awalnya dikenal dengan sebutan papa minta saham itu sempat menggemparkan perpolitikan nasional. Dalam persidangan terbuka MKD DPR yang lalu, rakyat dengan mata telanjang menyaksikan bukti-bukti keterlibatan Setya Novanto seperti rekaman pembicaraan, kesaksian Sudirman Said sebagai pelapor dan Ma’rouf Syamsuddin sebagai saksi. Sekarang publik menunggu proses hukum di Kejagung setelah proses politik selesai dengan mundurnya yang bersangkutan dari jabatan Ketua DPR RI.
Sekarang khalayak ramai menunggu keberanian  dan ketegasan Kejagung. Apakah Kejagugng berani meningkatkan status kasus ini menjadi penyidikan setelah Setya Novanto mangkir dua kali? Atau pemanggilan ini hanya sebatas gertak yang beraroma politik? Bukankah publik selama ini menilai kinerja Jaksa Agung dalam kategori buruk? Sehingga berbagai kalangan menganggap yang bersangkutan layak untuk dirushflle. Kejagung dintuntut segera menjawab keraguan publik tersebut. Rakyat berharap penegakan hukum di tanah air tidak hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sebaliknya, di mata hukum semua dipandang, diperlakukan secara sama.
          Melihat fakta yang ada, menurut hemat saya tidak ada alasan bagi Kejagung untuk tidak menaikkan status kasus Setya Novanto menjadi penyidikan.  Paling tidak dari keterangan yang pernah disampaikan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo, yang dilansir Koran Tempo, Senin, 11/01/2016,  ada beberapa bukti kuat yang telah dikantongi Kejagung.  Pertama, Rekaman suara 8 Juni 2015 di Hotel Ritz-Carlton. Yakni suara pembicaraan antara Setya Novanto, Riza Chalid, dan Maroef Sjamsoeddin. Dalam rekaman yang diputar secara langsung saat persidangan di MKD itu, dapat dipahami dengan mudah bagaimana Setya Novanto meminta saham Freeport. Dalam salah satu ungkapan, Setya Novanto mengatakan , goal-nya ke presiden, (tapi) kuncinya ada di saya.
          Kedua, rekaman kamera CCTV di Hotel Ritz-Carlton, 8 Juni 2015. Kejaksaan Agung sudah mendapatklan salinan rekaman kamera CCTV Ritz-Carlton yang membuktikan pertemuan ketiganya.  Dari rekaman itu, Kejagung telah memastikan adanya pertemuan tersebut.
          Ketiga, kwitansi pembayaran sewa ruang hotel. Dari kwitansi itu diketahui, yang memesan dan membayar dalam pertemuan di Ritz-Carlton itu adalah Reza Chalid. Ini diketahui dari keterangan  sekretaris Rica Chalid.
          Keempat, dari hasil penelitian ahli tekhnologi diketahui bahwa rekaman suara itu asli, tidak ada rekayasa. Sehingga rekaman yang pernah  diputar dalam persidangan MKD  itu bisa dijadikan bukti. Penelitian dan kajian terhadap keaslian rekaman itu dilakukan oleh beberapa Perguruan Tinggi ternama di Bandug atas permintaan Kejagung sendiiri. Dengan demikian bukti yang saat persidangan MKD di permasalahkan itu tak bisa disangkal lagi.
          Kelima, terkait dengan kasus ini, Kejaksaan agung telah meminta keterangan 16 saksi. Diantara yang sudah dimintai keterangan adalah Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said; Deputi I Bidang Pengendalian Pembangunan Program Prioritas Kantor Staf Presiden, Damawan Prasodjo; Dina, anggota staf Setya Novanto; Komisaris PT Freeport sekaligus mantan Jaksa Agung, Marzuki Darusman; dan Sekretaris Jenderal DPR, Winantuningtyastiti. Keterangan para saksi itu menguatkan bukti adanya permufakatan jahat yang telah dilakukan oleh Setya Novanto-Reza Chalid.
          Keenam, menolak hadir dalam dua kali panggilan mengindikasikan itikad yang tidak baik dari yang bersangkutan. Penolakan itu dapat dikategorikan sebagai upaya menghalang-halangi penyelidikan. Harusnya, kalau Setya Novanto merasa benar, tidak bersalah seperti yang selama ini dikatakannya, atau pengacaranya maka pemanggilan Kejagung dapat dijadikan kesempatan pembelaan dirinya di depan hukum. Hal ini juga sekaligus memberikan keteladan ke rakyat, sebagai warga bahkan pejabat negara yang baik mustinya ia mengikuti peroses hukum tidak sebaliknya, melawan.
          Walhasil, Kejagung tidak perlu ragu apalagi takut. Dukungan rakyat sangat besar dalam penuntasan kasus pemufakatan jahat ini. Kasus ini diyakini dapat membuka kasus-kasus besar berikutnya terkait kejahatan para mafia di negeri ini. Karenanya, meningkatkan status menjadi penyidikan merupakan pilihan dan sikap tepat bagi Kejagung. Bukankah bukti sudah ada di tangan? Bukankah dengan status penyidikan, para penyidik dapat melakukan upaya pemanggilan paksa?Wa Allahu Alam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar