Rabu, 11 Mei 2016

Belajar dari Shadiq Khan


          Sepekan belakangan, dunia dikejutkan dengan kemenangan Shadiq Khan sebagai Wali kota London, Inggris. Shadiq Khan merupakan muslim pertama yang menjadi Wali kota di Inggris. Dia mengalahkan lawan politiknya dari partai konsevatif Zac Goldsmith  dengan selisih suara yang cukup signifikan. Shadiq Khan memperoleh suara 57 persen atau 1,3 juta orang.
          Kemenangan Shadiq Khan dalam pertarungan merebut posisi Wali kota London itu seperti dongeng di negeri modern. Hal itu disebabkan latar belakangnya sebagai orang biasa, kaum pinggiran. Orang tua Khan adalah seorang imigran dari Pakistan yang mencoba memperbaiki kehidupan di London. Ayah Khan hanya berprofesi sebagai sopir bus merah khas London yang menjadi kebanggaan Inggris. Sedangkan ibunya seorang penjahit. Orang tua Shadiq Khan yang  imigran Pakistan membuatnya sering mendapat olok-olok dari berbagai kalangan bernada rasial.  Shadiq Khan tinggal di daerah etnis minoritas yang kulturnya beragam dan merasakan betul suka duka menjadi seorang minoritas di London.
Khan lahir di London pada tahun 1970 dari pasangan imigran yang baru datang dari Pakistan. Khan adalah anak kelima dari total delapan bersaudara. Dia tumbuh di sebuah apartemen padat di Tooting yang dikenal dihuni warga multietnis dan multikultur di London selatan. Komunitas sekitar Khan tinggal inilah yang nantinya akan menempa Khan menjadi politisi yang bangga dengan keberagaman.
Khan mendapat gelar di bidang hukum dari University of North London. Pada 1994 kemudian ia menjadi pengacara di firma hukum Christian Fisher. Di sinilah kemudian ia berjumpa dengan pengacara Saadiya yang kemudian dia persunting menjadi istrinya. Sebagai pengacara, Khan ahli di bidang pembelaan hak asasi manusia. Pada 2008, ia ditunjuk oleh Perdana Menteri Inggris waktu itu, Gordon Brown, menjadi seorang menteri. Ia menjadi Muslim pertama di Inggris yang menjadi seorang menteri.
Sekarang, Shadiq Khan adalah wali kota Muslim pertama  di ibu kota negara Eropa. Kehadirannya di London diharapkan oleh semua pihak bisa menghapus islamophobia  yang sedang merasuki Eropa, terutama setelah migran dari Timur Tengah menyerbu Eropa akhir-akhir ini akibat konflik berkepanjangan di Jazirah Arab seperti Syiria, Yaman.
Ada beberapa hal yang mengejutkan atas kemenangan Khan di London. Pertama, latar belakang keluarga. Seperti telah disinggung sebelumnya, Shadiq Khan berasal dari keluarga imigran. Ia keturunan Pakistan.  Anak kelima dari delapan bersaudara itu dianggap datang dari kaum marginal di London. Latar belakang itu tentu menggambarkan bagaimana kemampuan finansialnya. Sedangkan lawannya dalam pemilihan Walikota London itu adalah anak seorag milyarder.  Zac Goldsmith  adalah putra taipan keuangan James Goldsmith. Latar belakang keluarga seperti itu menyebabkan Shadiq Khan terpojokkan secara rasial. Tapi, justru isu rasial itulah yang mengantarkannya menjadi wali kota London.
Kedua, latar belakang agama. Muslim adalah kaum minoritas  di Eropa secara umum termasuk London, Inggris. Di negeri yang mayoritas non muslim, rasanya hampir tidak mungkin seorang muslim memimpin. Namun, ini nampaknya tak berlaku bagi Shadiq Khan. Latar belakang agama, menyebabkan Khan dituduh sebagai pendukung kaum ekstrimis. Shadiq Khan kerap kali dikaitkan dengan beberapa link ulama yang mendukung para ekstremis.
Ketiga, Shadiq Khan menang di tengah hembusan isu Islamphobia di Eropa. Yakni prasangka buruk dan sikap diskriminatif terhadap Islam atau umat muslim. Terlebih setelah insiden teror di Paris. Ini juga sebuah keajaiban nyata. Tapi begitulah. Kemajuan tekhnologi, media, dan era keterbukaan mendorong pemilih bersikap rasional.
Pelajaran
          Apa yang dapat dipetik dari fenomena Shadiq Khan di London? Sebagai negara yang terus belajar dalam hal berdemokrasi, apa yang dapat dipelajari dari kemenangan seorang Shadiq Khan? Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran untuk kita di Indonesia. Sebuah pelajaran berharga dari negara maju untuk negara berkembang seperti Indonesia. Pertama, membangun demokrasi rasional. Pemilihan (Pilkada, Pilpres atau lainnya) dalam sistem demokrasi semestinya tidak hanya menghasilkan pemimpin dengan perolehan suara terbanyak, tetapi juga pemimpin dengan kompetensi dan integritas tinggi. Demokrasi seharusnya meritokrasi ketika pemilih memilih pemimpin mereka berdasarkan kualitas kemampuan dan integritas sang pemimpin, bukan karena kualitas-kualitas lain seperti suku, agama, ras, atau golongan.
Mereka yang memilih karena kualitas kepemimpinan, kompetensi, dan integritas pemimpin ialah pemilih rasional. Sebaliknya, mereka yang memilih karena ikatan-ikatan sosiologis seperti suku, agama, ras, golongan, atau organisasi serta politik uang ialah pemilih emosional.  Shadiq Khan menjadi pemimpin bukan saja karena meraih suara yang terbanyak tetapi melahirkan para pemilih rasional. Yaitu mereka yang memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak,  integritas, kejujuran, serta kualitas sang pemimpin. Mereka memilih pemimpin yang memiliki visi-misi jelas, terukur.
Kedua, membuang kampaye hitam. Kaitan dengan Shadiq Khan, menurut analisa Amir Sodikin, kampanye hitam Goldsmith telah membuat Partai Konservatif kehilangan kantong-kantong suara yang didominasi kaum minoritas yang multietnik dan multikultur. Tanpa memandang agama dan ras, mereka pada akhirnya memilih kandidat yang tak mempersoalkan agama dan ras itu sendiri. (Kompas.com)
          Kampanye hitam tak akan digubris oleh pemilih rasional. Justru kampanye hitam akan menjadi senjata makan tuan. Terkait ini, sebenarnya kita sudah memiliki pengalaman. Anda pasti masih ingat Pilpres 2014, kampanye hitam terhadap Jokowi menjadikannya unggul dan menang.  Kampanye hitam biasanya terkait dengan agama, suku, dan ras.  Dan sekarang Shadiq Khan mengulang, mengingatkan, serta menegaskan kembali hal itu. Sebab itu, ke depan, politik kita harus bersih dari kampanye hitam baik di Pilkada atau Pilpres
Ketiga, mengesampingkan paksaan, kekerasan. Kampanye yang bersifat ancaman tidak akan membuat takut. Justru sebaliknya, publik atau pemilih akan bersikap negatif. Dan kempanye semacam itu akan menjadi bumerang. Para pemilih akan berlarian meninggalkan. Mereka akan memilih sesuai keyakinannya.
Keempat, tidak mempolitisi agama. Mempolitisi agama akan dimaknai oleh masyarakat sebagai penodaan agama. Dan masyarakat sekarang tak akan tertipu pada muslihat para politisi yang memanfaatkan agama. Politisasi agama tak akan laku dalam masyarakat modern. Karenanya, politisasi agama sama saja dengan bunuh diri politik.
Akhir kata, fenomena kemenangan Shadiq Khan mengejutkan dunia. Seorang muslim imigran asal Pakistan terpilih menjadi wali kota London. Shadiq Khan dapat dijadikan inspirasi untuk demokrasi  di tanah air. Bahwa demokrasi itu harus rasional. Demokrasi rasional mengesampingkan semua yang berbau kampanye hitam. Demokrasi rasional membuang jauh hal-hal rasis. Demokrasi rasional tak pernah memanfaatkan isu agama.Wa Allahu Alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar