Kamis, 05 Mei 2016

Parpol Ancam Demokrasi


          Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. (https://id.wikipedia.org/)
          Demokrasi di sebuah negara seperti Indonesia mengalami pasang surut. Ada peniliaian terhadap perkembangan demokrasi suatu negara. Indek demokrasi namanya. Indeks Demokrasi Idonesia (IDI) terakhir dianggap membaik. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2015   mencatat Indeks Demokrasi Indonesia 2014 meningkat 9,32 poin mencapai angka 73,04. Ini artinya demokras di negara kita  membaik. Meski meningkat tajam, Indonesia masih berada dalam kategori 'sedang'. (https://m.tempo.co/)
          Sebagai proses dinamis, jika tidak dijaga demokrasi bisa saja memburuk.  Menurut Musda Mulia (2015), demokrasi itu bukan sesuatu yang stabil. Kapan waktu bisa anjlok.  Ancaman demokrasi sendiri dilihat dari IDI ada dua faktor. Pertama, kontribusi partai politik. Kalau kaderisasi kurang, tidak akan membawa peningkatan dalam indeks demokrasi. Parpol tidak berjalan baik, praktis outputnya, anggota DPR-nya juga tidak akan menunjukkan kualitas seperti yang tergambar sekarang. Itu bisa berimbas ke kinerja DPR yang  memperburuk nilai demokrasi.
Kemudian, ancaman kedua adalah soal peraturan daerah yang diskriminatif. Perda diskriminatif ini ditunjukkan kepada kaum perempuan, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), serta kaum disable (kaum penyandang cacat). Jika ada Perda  diskriminatit akan memperburuk demokrasi Indonesia.
Sekarang khalayak ramai mencemaskan apa yang dilakukan partai politik. Parpol dinilai melakukan segala hal berdasarkan kepentinganya yang sempit dan sesaat. Parpol hanya memandang dan mendahulukan kelompoknya. Partai politik tak melihat sesuatu berdasarkan kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan sesaat untuk eksistensi diri partai menjadi perimbangan utama. Paling mutakhir, hal-hal di atas tercermin dalam tarik ulur politik terkait revisi Undang-undang Pilkada. Rencana revisi UU tersebut mendapat perhatian khusus oleh masyarakat luas.
Rencana merevisi UU Pilkada muncul setelah Basuki Tjahja Purnama Purnama (Ahok) memutuskan untuk menggunakan jalur independen (perseorangan) dalam Pilkada 2017 mendatang.  Ahok yang fenomenal menjadi inspirasi di beberapa daerah untuk mendorong tokoh potensial menjadi calon kepala daerah lewat jalur independen. Eksistensi partai terancam. Kemudian lahirlah tuduhan deparpolisasi. Akhirnya, kekhawatiran partai menjelma menjadi wacana revisi UU tersebut.
Terkait dengan revisi UU Pilkada, ada beberapa hal yang membuat cemas masyarakat luas. Kecemasan itu tepatnya sebuah kekhawatiran tergerusnya demokrasi karena ula partai politik. Paling mutakhir soal syarat dukungan calon independen.  Kasak-kusuk anggota legislatif dari berbagai partai seperti PDIP, Golkar juga lainnya telah mewacanakan meningkatkan syarat dukungan KTP yang awalnya 6,5-10% dari jumlah daftar pemilih tetap menjadi 15-20% dari jumlah daftar pemilih tetap dengan alasan agar seimbang dengan parpol.
Di sisi lain, tentang keharusan  seorang anggota DPRD  DPD, atau DPR RI untuk mengundurkan diri jika ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah, partai politik justru  secara sepihak menolak. Padahal  hal itu sudah menjadi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Januari 2015, MK telah mengabulkan sebagian permohonan judicial review terkait Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Dengan putusan tersebut, maka Pasal 7 huruf s UU a quo dianggap inkonstitusional. Pasal 7 huruf s mengatakan, bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup memberitahukan pencalonannya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada pimpinan, sehingga tidak perlu mengundurkan diri. Dengan dikabulkannya judicial review   berarti setiap anggota DPR, DPD, dan DPRD harus mengundurkan diri saat mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Pemerintah sendiri telah menyampaikan draf usulan revisi UU Pilkada. Pemerintah menyebutkan 16 point materi usulan perubahan UU Pilkada tersebut. Salah satu poin revisi versi pemerintah adalah terkait kewajiban anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS agar mundur dari jabatannya jika hendak mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Pemerintah  juga tak mengusulkan perubahan pada syarat pencalonan perseorangan.
Kemudian kekhawatiran publik lainnya adalah gelagat merapatnya hampir semua partai ke pemerintah. Kekuatan penyeimbang di DPR hanya tersisa Partai Gerindra dan Demokrat.  Ini menjadi ancaman bagi demokrasi. Ini terkait persoalan ketidakseimbangan kekuatan politik antara pemerintah dan legislatif. Ketidakseimbangan seperti ini  akan menghambat efektifitas Checks and balances.
Checks and balances diperlukan untuk  pengawasan  dan keseimbangan antara pemerintah dan parlemen. Dalam checks and balances system, masing- masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system  merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.  Bila Checks and balances  tidak berjalan efektif, demokrasi akan terancam, sulit berkembang.
Akhirnya, kita hanya bisa berharap pada konsistensi Pemerintahan Jokowi-JK dalam menegakan demokrasi. Pada point ke-2 dalam Nawacita disebutkan,  membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
Semangat demokrasi dalam point ke-2 Nawacita itu harus ditagih. Jokowi harus menghadirkan kehidupan demokrasi yang lebih baik.  Apa yang menjadi kekhawatiran rakyat akan terancamnya demokrasi oleh Parpol wajib dihilangkan. Di sini, kepiawaian Jokowi-JK dalam berpolitik dan menghadirkan demokrasi dipertaruhkan.  Bila Jokowi merangkul semua partai bergabung ke kabinet dengan menyisahkan satu atau dua partai di parlemen,  maka hal itu tak bedanya dengan Parpol. Jokowi telah melanggar janjinya sendiri terkait koalisi tanpa syarat dan pemerintahan yang efeisien. Jokowi ikut mencengkram demokrasi. Demikian dengan syarat bagi calon independen,  Pemerintah kudu mempertahankan syarat yang ada, tidak memberatkannya. Wa Allahu Alam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar