Selasa, 24 Mei 2016

Budaya Literasi Kita Masih Lemah


          Saat mengunjungi sebuah toko buku, saya mendengar informasi disampaikan. Bahwa untuk hari ini ada discount 20% dalam setiap pembelian buku. Saya baru ingat, ini terkait dengan Hari Buku Nasional. Saya pun memanfaatkannya. Saya membeli buku tidak seperti biasanya. Hari itu, saya lebih banyak mendapatkan buku.
Setiap 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasinal. Peringatan Hari Buku Nasional dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2002. Hari Buku Nasional sendiri merupakan ide Menteri Pendidikan  Kabinet Gotong Royong, Abdul Malik Fadjar.  Tanggal 17 Mei diambil dari pendirian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) di Jakarta yakni 17 Mei 1980.
Melalui Hari Buku Nasional diharapkan  memacu minat baca masyarakat Indonesia, sekaligus menaikkan penjualan buku. Pasalnya, di Indonesia, rata-rata hanya 18 ribu judul buku yang dicetak setiap tahunnya. Jumlah tersebut jauh berbeda dengan negara lainnya, seperti Jepang dengan 40 ribu judul buku per tahun dan China dengan 140 ribu judul buku per tahun.
Terkait minat baca, Taufiq Ismail pernah melakukan penelitian. Pada tahun 1996 menemukan perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 buku, sedangkan Indonesia 0 buku. Itu 20 tahun lalu.  Bagaimana dengan sekarang?
Sekarang, seperti diakui oleh Mendikbud Anies Baswedan, mengutip data UNESCO, persentase minat baca Indonesia hanya 0,01 persen. Dari peresentasi tersebut dipahami bahwa dari 1000 orang hanya satu yang terbiasa membaca. Ini tentu sangat minim. Juga memprihatinkan. Nampaknya, minat baca kita tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan.
Belum lama, saya menyaksikan melalui media online betapa meriahnya pameran buku Big Bad Wolf. Kegiatan yang dilaksankan di ICE Bumi Serpong Damai Tangerang itu ramai dibicarkan di dunia maya.  Dalam pameran yang setiap hari libur buka 24 jam itu antusias pengunjung  sangat tinggi. Mereka datang hingga tengah malam.  Mereka memborong buku. Maklum, sebab di pameran tersebut buku dijual sangat murah. Mengamati kegiatan itu sepertinya orang Indonesia suka membeli buku. Tapi kenapa  perkembangan minat baca  di tanah air tidak seiring dengan ramainya pameran buku itu? Apa bangsa kita hanya gemar beli buku tapi tidak mau membaca?
Data lain menyebutkan, berdasarkan sebuah survei,  Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Penelitian di bidang literasi yang dilakukan oleh  Central Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Berbagai data di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa yang  dilhat dan didengar dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), seperti ditulis selasar.com 29-5-2015,  pada tahun 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen).
Masyarakat belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Mereka belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis  belum mengakar kuat dalam budaya bangsa Indonesia. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis.
Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat umum), lingkungan terpelajar atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang disebut budaya literasi. Peserta didik belum tertanam kecintaan membaca. Bahkan guru dan dosen, tak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya. Itu bisa dibuktikan dengan  minimnya jumlah buku yang dimiliki mereka. Perpustakaan sekolah yang tak terawat dapat menjadi saksi bisu betapa civitas akademika itu jauh dari  budaya literasi. 
Sebab itu, di awal tahun pelajaran 2015-2016 yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan  telah mengeluarkan peraturan menteri (Permen), yang mewajibkan para siswa membaca buku 10 menit sebelum jam belajar dimulai. Ini sebuah upaya menamkan, menumbuhkan minat baca peserta didik. Diharapkan, kegiatan membaca itu berkelanjutan, menjadi kebiasaan hingga hari tua.
Budaya Literasi
Apa budaya litersai itu?  Budaya  seperti disebutkan wikipedia.org diartikan sebagai sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan literasi dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan  tulis-menulis. Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar.. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan menulis dan membaca masyarakat dalam suatu negara.
Untuk membangun budaya literasi, menurut hemat saya, beberapa langkah bisa dilakukan. Pertama, menumbuhkan minat baca sedini mungkin. Minat membaca diimulai dari keluarga. Orang tua wajib mendorong putra-putrinya untuk membaca banyak buku. Tak cukup itu, mereka seyogyanya memberi contoh. Mereka kudu  terlebih dahulu membiasakan membaca. Mereka dapat menciptakan lingkungan yang mendukung menumbuhkan minat baca seperti menyediakan ruang baca dengan buku bacaan yang cukup. Sebab itu, membeli buku dijadikan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dalam setiap bulannya. Menyisihkan uang bulanan untuk tujuan di atas menjadi pilihan orang tua bijak dalam  membangun budaya literasi.
          Kemudian, sekolah memiliki peran penting. Di sekolah, anak-anak wajib dibiasakan membaca. Guru memberi teladan. Mereka menanmkan kepada peserta didik kecintaan terhadap buku. Perpustakaan sekolah (diupayakan ada) sepantasnya dikelola dengan baik. Sehingga perpustakaan sekolah menjadi menarik untuk dikunjungi.
          Di sekolah, budaya tulis menulis dimulai. Peserta didik diajari menulis. Dalam setiap pembelajaran, guru dapat menyisipkan kegiatan menulis atau mengarang. Osis dilatih mengelola majalah dingding. Lebih jauh, pelajar SLTP atau SLTA dapat dipacuh untuk menerbitkan buletin, jurnal  atau lain.
          Kedua, subsidi buku. Di beberapa negara maju, pemebelian buku memperoleh subsidi dari pemerintah. Sebagai negara berkembang yang mengejar ketertinggalan di berbagai sektor, tak salah bila Pemerintah mengusahakan hal tersebut. Subsidi akan membantu masyarakat dalam memiliki serta membaca buku. Ini terlihat mustahil. Tapi selagi ada usaha dari semua pihak, saya  yakin tidak ada yang mustahil.
          Ketiga mengoptimalkan peran perpustakaan daerah. Keberadaan perpustakaan daerah selama ini belum menunjukkan perannya di tengah masyarakat dalam mendorong minat baca. Keberadaanya antara ada dan tiada. Ini terkait dengan pengelolaan dan pelayanan yang belum maksimal. Koleksi buku perlu ditambah. Perpustakaan daerah diupayakan membuat terobosan dengan kegiatan menarik seperti lomba menulis, lomba baca puisi, atau lainnya. Saya juga melihat sosialisasi masih sangat kurang.
Ke depan perpustakaan daerah diminta menjadi lokomotif  minat baca masyaraat. Ini  sebuah tantangan berat sekaligus tanggung jawab  dalam upaya menamkan budaya membaca dan menulis. Kemudian, rasanya tidak rasional bila satu daerah hanya satu perpustakaan. Sebab itu, perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk membangun perpustakaan umum di setiap kecamatan atau desa. Ini semata-mata untuk mendekatkan bacaan ke masyarakat..
Keempat, menghargai karya tulis. Bangsa ini musti belajar mennghargai karya orang lain. Dan karya tulis sepatutnya memperoleh tempat khusus, melebihi karya lain. Pemerintah dituntut memilki perhatian khusus pada para penulis. Pemerintah harus mendorong kegiatan penulisan juga penelitian.
Akhir kata, Hari Buku Nasional dimaknai tidak sebatas serimonial belaka. Hari Buku Nasional harus mampu meningkatkan minat baca masyarakat. Ini membutuhkan upaya bersama. Mengutip ungkapan Pak Anies Baswedan, kita tidak boleh hanya sekadar membaca tapi harus mengajak orang lain membaca. Lingkungan membaca harus diciptakan di mana saja kita berada. Dari budaya membaca akan lahir budaya menulis. Membaca dan menulis itulah hakekat dari budaya literasi. Wa Allahu Alam
Tulisan ini dimuat di harian umum Fajar Cirebon, Senin 23 Mei 2016




Tidak ada komentar:

Posting Komentar