Selasa, 24 Mei 2016

Tak Sekadar Membaca


 Seperti diakui Mendikbud, persentase minat baca masayarakat Indonesia hanya 0,01 persen. Dari peresentasi tersebut dipahami bahwa dari 1000 orang hanya satu yang terbiasa membaca. Ini sangat memprihatinkan.
Sebab itu, bulan Agustus 2015 lalu, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendikbud) meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).  GLS dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut merupakan upaya untuk menumbuhkan budi pekerti pada peserta didik.  Menggunakan istilah menumbuhkan bukan menanamkan karena pada hakekatnya setiap anak memiliki budi pekerti dimaksud. Menurut Mendikbud, Anis Baswedan menumbuhkan maknanya memberi ruang bagi tumbuhkembangnya budi pekerti peserta didik.  Sebab, pada dasarnya anak sudah memilki modal dasar budi pekerti.
          Dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, guru diminta melakukan  pembiasaan mengajak peserta didik membaca buku selama 15 menit. Kegiatan 15 menit membaca itu dilakukan untuk membiaskan mereka membaca. Buku yang dibaca tidak harus buku paket atau kurikulum. Peserta didik bebas membaca buku yang disukai. Buku dapat diambil dari perpustakaan atau membawa dari rumah baik dapat meminjam orang tua, teman atau membeli sendiri.
          GLS seperti disebutkan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Mahsun bertujuan membiasakan dan memotivasi siswa untuk mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti. Dalam jangka panjang, peserta didik memilki kemampuan literasi yang tinggi. (http://litbang.kemdikbud.go.id/)
          Sekarang bagaimana pelaksanaan GLS? Apa cukup sekadar membaca 15 menit sebelum belajar? Tentu tidak. Membaca 15 menit di awal jam pelajaran itu hanya salah satu upaya membiasakan, mendorong anak  untuk mau membaca. Dengan pembiasaan tersebut membaca diharapkan menjadi kebutuhan bagi peserta didik. Juga untuk menanamkan kecintaan mereka pada membaca dan buku.
          Dalam sebuah acara di TV swasta, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, untuk mendorong minat baca masyarakat sekadar membaca buku tak cukup. Dibutuhkan gerakan bersama. Di samping membaca, kita harus mengajak orang lain membaca. GLS  merupakan usaha yang bertujuan untuk itu di lingkungan sekolah. Tapi saya meyakini GLS di sekolah saja tak cukup. Perlu gerakan di tempat lain. Gerakan itu harus bermula di keluarga dan diakhiri di lingkungan masyarakat. Ini yang dimaksud gerakan bersama seperti diungkapkan sang Menteri. Sebab itu permasalahan ini menjadi tanggungjawab setiap dari kita, bukan para pendidik di sekolah semata.
          Gerakan membaca di keluarga bisa diupayakan dengan hal-hal berikut. Pertama, teladan dari orang tua. Teladan menjadi sesuatu yang penting. Keteladan lebih mudah diterima oleh anak dibanding  perintah. Sebab, manusia memilki kecenderungan melawan perintah. Karena dalam kata perintah terdapat perampasan ego seseorang. Untuk itu gerakan membaca dalam keluarga harus dimulai dari orang tua. Ayah dan ibu kudu membiasakan  diri membaca terlebih dahulu sebelum memerintah.
          Kedua, menyisihkan uang belanja untuk membeli buku. Sehingga di rumah memilki buku bacaan. Terlebih bagi yang memilki anggaran lebih, membentuk perpustakaan kecil di sudut rumah menjadi pilihan bijak. Untuk menamkan kecintaan pada buku, orang tua dapat mengajak anak saat membeli buku.
          Ketiga, orang tua mengarahkan bacaan anak. Bacaan anak disesuaikan dengan usia mereka. Bacaan untuk anak tak perlu dibatasi. Biarkan mereka memilih bacaan yang disukai secara bebas. Orang tua cukup mendampingi dan membimbing.
          Selanjutnya, gerakan membaca di  sekolah seperti yang dicanangkan Kemendibud dengan GLS-nya. Kepala sekola dan guru harus menyikapinya dengan baik. Guru dan semua civitas sekolah wajib melaksanakan. Gerakan membaca di sekolah seyogyanya menjadi contoh bagi keluarga, masyarakat luas. Bagaimanapun di sekolah adalah tempat manusia terdidik. Sangat ironis bila sekolah sebagai lembaga pendidikan budaya membacanya lemah.
          Sebab itu, selain kegiatan 15 menit membaca setiap awal pelajaran juga diperlukan langkah lain, seperti mengoptimalkan perpustakaan sekolah. Setiap sekolah idealnya memiliki perpustakaan. Perpustakan sebagai sumber informasi, ilmu juga rujukan kudu dikelola secara baik. Selama ini,  perpustakaan sekolah terbengkalai.
Pemerintah tak sedikit memberi bantuan buku, juga gedung. Hanya pemerintah memang belum bisa menyediahkan tenaga kepustakaan untuk sekolah. Karenanya, guru wajib mengelolanya. Untuk ini, membutuhkan kesadaran tersendiri dari guru. Bagi mereka yang tidak cinta buku, tak biasa membaca panggilan moral  itu tak akan muncul. Sehingga kita menyaksikan banyak perpustakaan sekolah yang keberadaannya antara ada dan tiada.
          Majalah dinging (mading) juga musti ada di sekolah. Mading berfungsi untuk memberikan informasi. Melalui mading, siswa bisa dilatih mengelola informasi. Mading dapat berfungsi sebagai korannya sekolah. Di mading pula kreatifitas menulis bisa dikembangkan. Mereka yang berbakat menulis, melukis atau lainnya dapat ditampilkan di mading. Ini akan menjadi mootivasi luar biasa bagi peserta didik untuk melatih menulis dan menghasilkan karya. Dan otamatis kegiatan membaca menjadi lebih semarak.
          Kegiatan membaca peserta didik perlu dipantau terus oleh guru. Sekolah dapat menyediahkan buku laporan membaca siswa. Dalam setiap minggu atau bulan buku itu diperiksa guru. Guru dapat mengetahui sejauh mana peserta didiknya membaca dalam seminggu atau sebulan? Sudah berapa buku? Lebih jauh, mereka dilatih menulis ringkasan dari bacaan yang dipahami. Ini tentu sangat menarik, bermanfaat dalam menumbuhkembangkan budaya literasi anak.
Kemudian, gerakan dalam masyarakat luas.  Sebagai anggota masyarakat, setiap dari kita harus  berperan aktif dalam menggerakan minat baca. Ketika  membaca buku di berbagai tempat seperti  terminal, pasar, pinggir jalan atau lainnya, saat itu secara tak sadar kita telah mengkampanyekan pentingnya membaca.  Saya kadang merasa malu melihat orang asing yang berkunjung ke negara kita. Mereka telah terikat dengan bacaan dan buku. Mungkin anda pernah menyaksikan turis asing itu ke mana-mana, di mana saja membawa buku dan membacanya. Membawa buku seperti rokok bagi bangsa kita.
Walhasil, gerakan membaca yang dilakukan  dalam keluarga, sekolah dan masyarakat luas diharpkan bisa merubah bangsa Indonesia menjadli lebih berbudaya dan beradab. Budaya membaca akan mendorong budaya menulis. Maka, di masa mendatang Indonesia tidak lagi menjadi negara terbelakang  dalam budaya literasi. Namun, hal itu tidak semuda membalik tangan. Butuh kerja sama, kesadaran tinggi, komitmen kuat serta gerakan bersama dari masyarakat. Sekarang bagaimana dengan kita,  apa sudah siap? Jawaban  pertanyaan tersebut akan menentukan budaya leterasi, minant baca  khususnya dia waktu yang akan datang. Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar