Selasa, 06 Oktober 2015

Ada Apa Dengan Gubernur BI?


          Kegaduhan politik kembali terjadi. Nampaknya panggung politk di negeri ini tak pernah sepi, selalu gaduh. Padahal, dalam mengatasi kondisi ekonomi, seperti sering disampaikan Presiden dibutuhkan stabilitas. Dan sangat ironis, kegaduhan kali ini tidak bersumber dari politisi melainkan dari seorang gubernur BI. Ada apa dengan sang Gubernur? Alih-alih fokus bekerja, menguatkan nilai rupiah kok malah membuat kegaduhan. Padahal, secara langsung, tanggung jawab merosotnya nilai tukar rupiah berada di pundaknya.
          Adalah Agus Martowardoyo  yang mengkritik rencana Presiden untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.  Agus sebelumnya meminta agar langkah pemerintah untuk menurunkan harga BBM jangan hanya dijadikan sebagai ajang mencari popularitas. Menurut Agus, pemerintah harus konsisten lantaran sudah ada keputusan untuk me-review harga BBM setiap enam bulan atau tiga bulan sekali. Rencana itu jangan untuk popularitas, tetapi harus betul-betul untuk akuntabilitas dan juga mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Jadi kalau mau di-review (harga BBM) setiap 6 bulan, kita harus lakukan dengan disiplin setiap 6 bulan di-review dan kalau perlu turun, turun. Kalau perlu naik, ya naik, tetapi yang penting konsistensi.  Kritik tajam dengan menyalahkan Presiden ini disampaikan ke publik secara terbuka di kantor BI, Jakarta, Jumat (2/10/2015). (http://bisniskeuangan.kompas.com/)
          Sebelumnya, dalam rapat kabinet terbatas, Presiden Jokowi meminta pada Pertamina untuk menghitung ulang harga BBM. Bila dimungkinkan, Presiden meminta Pertamina untuk menurunkan harga BBM. Dalam rapat tersebut, Presiden memerintahkan Pertamina agar segera menghitung besaran penurunan harga bensin dan solar. Sebab, masih ada ruang bagi Pertamina untuk menurunkan harga BBM. Hal itu, menurut Presiden untuk membantu meringankan rakyat kecil mengahdapi kesulitan ekonomi seperti sekarang dan mengangkat daya beli mereka. Penurunan harga BBM juga direncanakan dengan berbarengan dengan peluncuran kebijakan program padat karya yang berpeluang menyedot banyak tenaga kerja. Direktur Utama Pertamina Dwi Sucipto pun berjanji siap melaksanakan titah Presiden. Yang aneh, kenapa Gubernur BI menolaknya?
          Kecaman bermunculan, menyayangkan sikap yang diambil gubernur BI. Anggota Komisi XI DPR, Muhammad Misbakhun, mempertanyakan sikap Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo yang mengkritik rencana Presiden Joko Widodo menurunkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Misbakhun meminta Presiden Jokowi tak tinggal diam dan segera memberikan sanksi untuk Agus. Harus ada sanksi politik kepada dia karena menyerang kebijakan Presiden secara terbuka dan head to head.  Juga, Politisi PDI Perjuangan, Charles Honoris, menilai hal itu sebagai pernyataan seorang yang frustrasi yang sedang mencari perhatian. Bukannya lebih baik melakukan tindakan-tindakan strategis agar rupiah kembali menguat malah Agus ikut-ikutan berkomentar bak politisi di media. Ini tindakan ngawur, tak berdasar.
          Sebagai orang awam, saya melihat apa yang dilakukan Gubernur BI merupakan sebuah pelanggaran etika yang serius. Sebagai Gubernur BI, tak sepatutnya Agus Martowardoyo menyerang Presiden secara terbuka. Ini melampaui kewenangannya sebagai Gubernur BI. Permasalahan naik atau turunnya harga BBM itu kewenangan penuh Presiden, bukan kewenangan, tidak terkait dengan BI. Kalau saja ingin mengkritisi bisa dilakukannya secara tertutup. Ini sebuah kesengajaan yang bisa jadi bermodus politik. Ada kekuatan politik yang mendorong Agus Martowardoyo untuk melakukan hal tersebut. Namun siapa kekuatan  di balik Agus Martowardoyo? Sulit  mencari jawabannya atas pertanyaan itu. Ini permainan politik tingkat tinggi.
          Sikap yang ditunjukkan Gubernur BI menggambarkan kesombongan dan kecongkakan pejabat. Mungkin karena gaji Gubernur BI yang lebih besar berlipat-lipat dibanding gaji Presiden sehingga dapat membusungkan dada sang Gubernur. Seperti diketahui oleh khalayak, gaji Gubernur BI mencapai 200 juta lebih perbulan, sedang Presiden hanya puluhan juta rupiah. Ketimpangan penggajian seperti ini yang pernah dipersoalkan Plt KPK Taufiqurrahman Ruki. Menurutnya,  ada kejanggalan dan ketidakadilan dalam sistem penggajian di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan gaji presiden di bawah Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Direktur Utama (Dirut) BUMN. Sistem penggajian seperti ini jelas sangat janggal, tidak beres. Presiden adalah penanggungjawab tertinggi di Republik ini? Tapi kenapa gajinya lebih kecil?     (http://ekbis.sindonews.com/)
          Kasus Agus Matowardoyo juga menegaskan bahwa kita miskin keteladanan. Para petinggi negeri  tak bisa memberi contoh baik kepada rakyat di bawah. Mereka hanya mempertontonkan kekuasaan, keserakahan, kesombongan dan ambisi. Sehingga dalam kondisi negara yang sangat sulit pun tak membuat mereka sadar. Menghadapi berbagai persoalan berat termasuk kesulitan ekonomi seharusnya para petinggi negeri bersatu padu, merapatkan barisan, berpegangan tangan, menyatukan langkah dan gerak. Bukan sebaliknya? Saling menyalahkan, saling menyerang, saling menghujat. Sungguh memalukan dan memilukan.
          Dan ternyata keterbukaan, kebebasan berpendapat, demokratisasi  bangsa kita telah kelewat batas. Demokrasi dan keterbukaan telah melampaui batas etika, norma, dan budaya bangsa. Sehingga atas nama kebebasan dan demokrasi, orang bisa melakukan apa saja. Nampaknya ke depan hal seperti ini harus diformat ulang. Revolusi mental yang sedang dilakukan bangsa kita harus bisa menggarap hal-hal semisal ini.
          Walhasil, rakyat sebenarnya sudah bosan, merasa muak dengan kegaduhan-kagaduhan politk seperti ini. Semoga ini yang terakhir. Karenanya ke depan kita berharap, semua fokus bekerja sesuai fungsi dan kewenangannya. Kata kerja dan bekerja adalah satu-satunya pilihan yang tepat untuk menghadapi kesulitan bangsa seperti sekarang. Saling menyalahkan di tengah krisis bukanlah pilihan yang tepat. Mari berpikir, mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Maka harapan bangkit dari krisis akan menjadi kenyataan. Bukankah setelah kesulitan pasti ada kemudahan? Wa Allahu ‘Alam

         

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar