Rabu, 07 Oktober 2015

Memutus Urat Nadi KPK


          Sebanyak 45 anggota DPR RI mengusulkan Rancangan UU revisi KPK yang diberi judul Urgensi Usul Inisiatif DPR RI RUU Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Revisi UU KPK sebenarnya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 dan menjadi inisiatif pemerintah, tetapi kini diusulkan masuk menjadi RUU Prioritas Prolegnas 2015 dan menjadi inisiatif DPR. RUU  revisi tentang KPK itu diusulkan oleh sebagian anggota dewan dari Fraksi PDI-P, Nasdem, PKB, dan Golkar. Sebelumnya Presiden Jokowi telah menginstruksikan Menkumham untuk meminta usulan revisi UU KPK itu ditarik. Namun, sampai saat ini, pemerintah belum juga mencabut usulan percepatan pembahasan RUU KPK tersebut. Sehingga sekarang diusulkan oleh DPR dan diakui sebagai inisiatif DPR.
          Rancangan UU revisi KPK ini disebut-sebut oleh berbagai kalangan sebagai pelemahan, pengerdilan kewenangan KPK. Bahkan khalayak ramai menyebutnya sebagai pencabutan nyawa KPK. RUU rvisi KPK ibarat pisau yang memutus urat nadi KPK. Apa benar demikian? Hal-hal berikut dapat menjelaskan lebih jauh, pertama, Pasal 14 ayat 1 huruf a draf RUU KPK menjelaskan bahwa KPK tidak dapat melakukan penyadapan  kecuali setelah mendapat izin dari ketua Pengadilan Negeri. Padahal menurut pasal 12 ayat 1 huruf a UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang berlaku saat ini, KPK tak perlu izin hakim untuk bisa melakukan penyadapan. KPK bebas melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan. Dengan pasal karet seperti ini hak KPK diamputasi pada tahap penyelidikan dan hanya membolehkan melakukan penyadapan pada tahap penyidikan itu pun harus mendapat izin terlebh dahulu dari Pengadilan Negeri. Padahal KPK berhasil mengungkap berbagai kasus korupsi melalui tangkap tangan sejak tahap penyelidikan dengan menggunakan kewenangan penyadapan.
            Kedua, Pasal 41 ayat 3  draft RUU KPK disebutkan bahwa penyelidik dan penyidik KPK harus berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Mereka direkomendasikan oleh instansi masing-masing (Polri-Kejaksaan) untuk bekerja di KPK. Dan selama di KPK mereka diberhentikan sementara dari instansi asal mereka. Padahal selama ini KPK memilih sendiri Penyelidik dan Penyidiknya baik  yang bersal dari Kepolisian, Kejaksaan, atau dari luar kedua institusi tersebut. KPK juga rutin merekrut pegawainya lewat program Indonesia memanggil. Pasal ini memberi ruang pada  institusi lain untuk mengintervensi  KPK.
          Ketiga, Pasal 42 draft RUU KPK, disebutkan Komisi KPK diberi kewenangan  mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap  penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat (2) KUHP. Padahal dalam sejarah, KPK selama ini tidak pernah, tidak boleh mengeluarkan SP3.  Karenanya KPK selalu  menyelesaikan, menuntaskan semua perkara kasus korupsi yang ditanganinya.
          Keempat, Pasal 51 draft revisi UU KPK mengatur bahwaa saat penyidikan selesai, para penyidik akan menyampaikan laporan ke pimpinan KPK. Kemudian Pasal 53 ayat 1 disebutkan Penuntut adalah Jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Nah, sampai pada titik kewenangan penuntutan KPK  dicabut. KPK tak dapat melakukan penuntutan dalam pekara korupsi. Selama ini, KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, sekaligus penuntutan sesuai  UU 30 tahun 2002 tentang KPK.
          Kelima, lebih menyedihkan, dalam RUU revisi KPK yang sedang dibahas di DPR usia (keberadaan) KPK dibatasi 12 tahun sejak tanggal UU ditetapkan. Menurut asumsi anggota dewan waktu 12 tahun sudah lebih dari cukup untuk memberantas korupsi. Dari sini terlihat mereka bak malaikat pencabut nyawa, memutus urat nadi KPK. Pembatasan 12 tahun bagi KPK ini tertuang dalam Pasal 5 Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dibagikan kepada anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Pleno Baleg, Selasa (6/10/2015), di Jakarta. Kemudian KPK juga hanya dapat mengusut kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp 50 miliar. (http://nasional.kompas.com/)
Tolak, selamatkan KPK
          Penolakan terhadap rencana revisi UU KPK  bermunculan dari berbagai elemen yang ada di negeri ini. KPK sendiri  telah menolak usulan revisi tersebut. Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menyatakan enam poin penolakan terhadap draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dia menilai, beberapa pasal yang direvisi maupun pasal baru yang tercantum dalam draf tak mendukung fungsi KPK. Diantaranya, terkait pembatasan 12 tahun untuk KPK jelas bertentangan dangan  Pasal 2 angka 2 TAP MPR No 8/2001 MPR RI mengamanatkan pembentukkan KPK dan tidak disebutkan adanya pembatasan waktu.  (http://news.metrotvnews.com/)
          Sebenarnya, Presiden sendiri sebelumnya menolak revisi UU KPK itu. Pada bulan Juni yang lalu Presiden telah  memerintahkan Menhukam untuk mencabut usulan RUU tersebut. Namum, nampaknya perintah Presiden ini belum dilakukan. Karena surat penolakan Pemerintah  tak kunjung diterima  DPR. Dan sekarang saat, revisi UU KPK menjadi pembahasan di gedung DPR, pihak istana mengaku Presiden tidak atau belum mengetahui. Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (7/10/2015), menegaskan bahwa Istana belum mendapatkan informasi pasti soal pembahasan revisi UU KPK di DPR itu. Maka dari itu, Presiden memerintahkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk memberikan penjelasan soal kelanjutan revisi itu. Lebih lanjut, Teten mengungkapkan bahwa sikap Presiden Jokowi sudah cukup jelas terkait dengan revisi UU KPK. Presiden menilai UU KPK belum perlu untuk diubah. (http://nasional.kompas.com/)
          Bila sikap presiden itu bukan basa-basi belaka, maka ada secercah harapan bagi kelangsungan hidup KPK. Karena seperti diketahui pembahasan RUU  menjadi UU harus dilakukan oleh DPR dan Pemerintah. Jika Pemerintah menolak, otomatis tidak bisa dibahas apalagi disahkan. Kita tunggu saja komitmen Presiden Jokowi. Bila yang terjadi sebaliknya, maka saatnya rakyat bangkit, mempertanyakan komitmen dan ucapan penolakan tersebut.
          Akhir kata, bagaimanapun KPK harus hidup, harus kuat, dan harus kita selamatkan dari setiap upaya pelemahan, pengerdilan, dan pemusnahan. KPK telah memberi harapan pada pemberantasan korupsi. Walau harus diakui masih belum maksimal, terbukti korupsi masih merajalela. Ada KPK saja korupsi bisa merajalela apalagi tidak ada. Karenanya pilihannya hanya satu, KPK harus diselamatkan.

         
         




Tidak ada komentar:

Posting Komentar