Selasa, 06 Oktober 2015

PNS HARUS NETRAL


          Pemilihan kepala daerah secara langsung akan dilaksanakan secara serentak 9 Desember 2015 mendatang. Berbagai tahapan pilkada telah dilalui. Berbagai permasalahan telah diselesaikan,  telah dicarikan solusi, disiapkan perangkat hukum atau aturannya. Diantara persoalan krusial  yang membaya-bayangi pelaksanaan  pilkada adalah permasalahan netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, suara PNS kerapkali dijadikan rebutan berbagai kepentingan politik setiap kali pemungutan suara baik untuk pemilhan kepala daerah maupun pemilihan anggota dewan. PNS sering kali dimanfaatkan, sehingga mereka tak netral lagi dalam menyikapi pemilihan. Padahal sesuai aturan yang berlaku, mereka harus netral. Mereka tak boleh terlibat dalam aktifitas politk. Tak boleh menjadi pengurus partai atau team sukses pasangan calon kepala daerah. Mereka tidak diperkenankan mengikuti kegiatan kampanye.
          Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dalam pasal 4 ayat 12, 13 ,14, dan 15 telah  dijelaskan berbagai larangan terkait dengan Pemilihan Umum atau Pemilukada. Khusus terkait dengan Pemilukada ayat 15 dalam pasal yang sama menegaskan larangan  memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara: a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye;
dan/atau d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit  kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Latar Belakang
          Keberpihakan PNS pada salah satu calon kepala daerah, menurut hemat saya tak lepas dari latar belakang berikut, pertama, bayang-bayang sejarah atau masa lalu. Seperti diketahui oleh orang banyak (baca:rahasi umum) bahwa PNS selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto (selama orde baru) selalu dimanfaatkan untuk kepentingan politk penguasa. Waktu itu PNS identik dengan Golkar, partai penguasa. Lahirnya Korps Pegawai Negeri (KORPRI) disinyalir, diciptakan untuk mempermudah mengarahkan PNS pada kepentingan politik praktis saat itu.  Seperti yang digambarkan oleh Mohtar Mas’oed (1994), sejak pembentukannya, KORPRI secara umum sangat efektif dalam menggerakkan PNS  beserta keluarganya untuk memilih Golkar dalam setiap pemeilihan umum, dan dalam menjauhkan mereka dari kegiatan partai politik. Ketidakpatuhan pada tuntutan KORPRI bisa berakibat hilangnya pekerjaan sebagai pegawai negeri. Dalam keadaan  ekonomi yang tidak dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi warganya, kehilangan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah, sekalipun gajinya kecil, akan mengakibatkan penderitaan yang besar.
          Kedua, keengganan ke luar dari zona nyaman, tidak ingin berubah. Keluar dari zona nyaman memang bukan sesuatu yang mudah. Setiap orang bila dalam posisi yang aman, menyenangkan (terlepas bagaimana cara memperolehnya) akan sulit diajak keluar, meninggalkannya. Menurut Inna Muthmainah (2012), konsultan psikologi reguler di EXPERD Jakarta, perasaan nyaman pada satu kondisi memang dirasakan berbeda pada setiap orang atau kelompok. Buat kebanyakan orang, hidup dari mengemis tentu amat tak menyenangkan dan merendahkan harga diri. Namun, sebagian lain tidak demikian. Mereka lebih nyaman hidup dari meminta-minta. Ketika banyak lembaga yang datang membantu dan ingin membina mereka jadi lebih mandiri, ternyata banyak yang tak mau. Menurut mereka lebih nyaman hidup begitu. Perasaaan seperti  itu sulit dihilangkan karena berada di ambang bawah ketidaksadaran. Bahkan pemikiran logis kadang tak banyak pengaruhnya pada orang yang sudah merasa nyaman itu untuk menghilangkan kebiasaannya. Berapa banyak perokok yang sebenarnya menyadari bahaya merokok bagi kesehatan, namun tak juga mau berhenti merokok?(http://www.ummi-online.com) Demikian halnya dalam hal  pilihan politik. Saat segala kepentingan telah terpenuhi oleh penguasa (baca:kepala daerah), maka otomatis mereka (PNS) enggan bila diajak berubah, meninggalkan zona nyaman tersebut.
Ketiga, karena  tekanan secara terstruktur dan sistemik. Terstruktur  artinya  secara hirarkis dari atas ke bawah. Sistemik dalam artian terorganisir secara rapi. Untuk beberapa kasus, netralitas PNS dibayang-bayangi oleh tekanan dari penguasa setempat. Kepala daerah yang terlalu lama berkuasa biasanya menguasai mereka dengan dibarengi tekanan dan intimidasi. Jurus yang biasa digunakan adalah ancaman mutasi, atau digeser ke posisi yang tidak diinginkan.
Kuncinya Pengawasan
          Untuk menjaga netralitas PNS dalam pemilukada serentak Desember mendatang, menurut saya  kunci utamanya adalah pengawasan. Untuk tujuan ini, Kemendagri dan Kemenpan berupaya membentuk satgas netralitas secara bersama. Bahkan Kemenpan  telah mengeluarkan surat edaran pada 2 Juli 2015 yang mengharuskan PNS netral dalam Pilkada. Termasuk tidak menggunakan fasilitas jabatan untuk Pilkada, tidak salahi kewenangan dan tidak mengintervensi.  Lebih jauh, untuk tujuian pengawasn, telah disepakti dan ditandatangani kesepakatan bersama Bawaslu, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan BKN yang dibangun oleh Kemendagri. Mendagri Tjahjo Kumolo menegaskan, penandatangan kerjasama pengawasan netralitas tersebut menjadi dasar pemerintah untuk menindak pejabat yang tak netral dalam Pilkada. Kalau ada pejabat terbukti (tak netral), ya finish. Tidak akan ada peningkatan karir dan akan ada penilaian dari Kemenpan. (http://www detik.com )
            Dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 (pasal 7), PNS yang melakukan pelangggaran terhadap Pasal 4 yang melarang keberpihakan kepada calon kepala daerah akan dijatuhi hukuman.  Hukuman tersebut terdiri dari a. hukuman disiplin ringan; b. hukuman disiplin sedang; dan c. hukuman disiplin berat. Namun tentu, sanksi tegas tersebut akan menjadi  seperti macan kertas bila tidak ada pengawasan dan penegakan secara adil. Karenannya, kewajiban kita semua, untuk berpartisipasi mengawasi. Pengawasan dari semua pihak akan sangat membantu menciptakan PNS yang bersih, steril dari segala kepentingan politik.
          Akhirnya, PNS harus netral. Netralitas mereka akan meningkatkan kualitas pemilukada Desember mendatang. Jangan ciderai pesta demokrasi  dengan tindakan tak terpuji berupa keberpihakan PNS. Dan, buat masyarakat luas, diminta membantu dalam pengawasan bersama pada mereka. Pengawasan menjadi kunci utama dalam penegakan segala aturan termasuk yang terkait dengan netralitas PNS dalam Pemilukada yang akan datang. Wa Allahu ‘Alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar