Kamis, 15 Oktober 2015

Guru Tidak Boleh Sejahtera


          Diskursus tentang perlu tidaknya meneruskan program Tunjangan Profesi Guru (TPG) masih hangat dibicarakan di kalangan para pendidik dan di lingkaran pengambil kebijakan. Lebih lagi, hal itu dikaitkan dengan kinerja guru yang dinilai banyak kalangan (termasuk Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Sumarna Surapranata) tidak berubah setelah menerima tunjangan sertifikasi. Sertifikasi dinilai hanya membuat guru menjadi konsumtif, gemar memberi barang termasuk barang-barang mewah semisal mobil. Guru tak mampu menjadi teladan hidup sederhana. Lebih jauh lagi, ada catatan yang menyebutkan bahwa setelah sertifikasi guru digulirkan, angka perceraian di kalangan guru (baca:PNS terutama) di berbagai daerah meningkat.Tunjangan sertifikasi juga dimanfaatkan oleh sebagian guru untuk menunaikan ibadah haji, membangun rumah. Sertifikasi guru hanya merubah kesejahteraan dan gaya hidup mereka.
          Satu contoh, Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah (BKDD) Ciamis mencatat ada 99 PNS yang bercerai pada 2013 lalu. Mereka terdiri dari 63 PNS perempuan dan 36 PNS laki-laki.Dari 63 PNS perempuan yang menggugat cerai suaminya tersebut,75 persen diantaranya adalah guru SD yang sudah menikmati penghasilan tinggi dari tunjangan sertifikasi. Sementara hingga Februari 2014 sudah ada 20 PNS yang bercerai. (http://www.hidayatullah.com)
            Wakil Bupati Lumajang, As'at Malik  pernah bercerita, tunjangan sertifikasi yang didapat oleh guru di daerahnya digunakan untuk keperluan yang konsumtif, seperti membeli mobil. Ada pula yang menggunakan untuk biaya naik haji. Ada istilah di kalangan guru, yakni haji jarkasih (haji dengan biaya jaminan sertifikasi), As’at mengatakan di sejumlah sekolah, terutama SMP dan SMA banyak mobil milik para guru yang diparkir di halaman sekolah. Meski bukan mobil baru dan dibeli dengan di bawah Rp 100 juta, hal itu menjadi hak para guru. Namun As’at mengingatkan tujuan pemerintah memberikan tunjangan sertifikasi senilai Rp 40 juta per orang, tujuannya agar digunakan untuk peningkatan kinerja masing-masing guru. Misalnya guru bisa beli sendiri laptop untuk menunjang pelaksanaan tugasnya.
Tidak Boleh Sejahtera
          Apa benar guru tak boleh sejahtera? Apa benar guru tidak boleh menikmati hasil jerih payahnya sebagai pendidik profesional? Apa Tunjangan sertifikasi hanya untuk peningkatan kinerja saja? Pertanyaan-pertanyaan  semacam itu menggelitik saya untuk menelusuri lebih jauh. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan dosen, tidak diatur secara jelas untuk apa saja tunjangan sertifikasi guru itu bisa digunakan. Hanya dalam Pasal 4 disebutkan bahwa Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dari ayat ini bisa ditarik kesimpulan bahwa fungsi sertifikasi guru adalah 1) untuk meningkatkan martabat guru, 2) meningkatkan peran guru 3) meningkatkan mutu pendidikan. Kemudian apa yang dimaksud martabat guru itu?  Apa kesejateraannya? Apa kedudukannya di tengah masysarakat? Dalam UU tersebut tidak ada penjelasan lebih jauh tentang maratabat guru dimaksud.
          Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2008), martabat diartikan sebagai tingkatan, derajat, pangkat, harga diri.  Dalam realitas sosial, martabat seseorang itu akan terangkat bila kesejahteraan meningkat (menjadi kaya), memperoleh kedudukan atau jabatan, menjadi orang kuat  secara politik, berpengaruh di tengah masyarakat atau lainnya. Bila demikian, menjadi sah-sah saja bila guru profesional yang berpengasilan besar harkat, martabatnya menjadi terangkat dan meningkat. Guru menjadi terhormat, disegani. Mereka hidup sejahtera. Mereka berkendaraan roda empat. Mereka menjadi haji dari sertifikasi. Begitu seterusnya. Apa ada yang salah? Tentu tidak ada yang salah. Hanya Pasal 4 di atas menyebut fungsi tunjangan sertifikasi lainnya yakni menuntut peran guru lebih besar dan membaiknya mutu pendidikan. Dua hal tersebut yang mendapat sorotan dari khalayak ramai. Harusnya guru tidak hanya meningkat martabatnya, tapi perannya dalam melakukan tugas mengajar pun lebih kompeten sehingga mutu pendidikan di Indonesia berubah  lebih baik dan berkualitas.
          Oleh karenanya, menurut hemat saya, ada hal-hal yang harus selalu diperhatikan dan diingat oleh para guru bersertifikasi agar mereka tidak tersorot tajam, tidak terkoreksi negatif, tidak mendapat cibiran dari masyarakat luas atau Pemerintah, pertama, meningkatkan kompetensi sebagai guru profesional.  Menurut UU No.14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, kompetensi guru itu meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Keempat kompetensi itu harus selalu terjaga, meningkat dengan seiringnya waktu. Jangan sebaliknya, sertifikasi bergulir kompetensi menurun dan amburadul. Ini yang memalukan para guru.
          Kedua, jadilah guru yang dalam istilah Amirullah Syarbini (2015) disebutnya sebagai guru hebat. Yaitu guru, disamping memiliki empat kompetensi di atas juga menguasai keahlian publik speaking dan pandai menulis. Publik speaking adalah kemampuan berbicara di depan orang banyak sehingga peserta didik senantiasa merindukan bimbingan, pembelajaran darinya. Publik speaking adalah kemampuan yang biasa dimilki oleh orang-orang besar seperti Soekarno, M. Nasir, Buya Hamka, Ary Ginanjar, AA Gim, Mario Teguh dan lainnya. Sedang menulis bisa dalam bentuk buku, artikel di media massa atau lainnya. Tentu semuanya butuh proses, harus belajar. Maka mulailah dari sekarang.
          Ketiga, meningkatkan kreatifitas dalam kegiatan belajar mengajar khususnya atau pendidikan secara umum. Kreatifitas bisa dalam bentuk menciptakan model-model pembelajaran sendiri, membuat media pembelajaran dengan memanfaatkan sarana yang ada di sekolah, juga mengantarkan siswa berprestasi sesuai bakat yang dimilikinya. Guru profesional bersertifikasi harusnya dapat membuat trobosan-trobosan saat dibutuhkan sehingga proses belajar mengajar tidak membeku dan stagnan.
          Walhasil, keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pendidikan nasional sangat bergantung pada kehebatan penyelenggaranya, terutama guru. Oleh karena itu menjadi guru profesional yang hebat nan kreatif bukan lagi sekadar tuntutan tapi menjadi kewajiban setiap guru bersertifikasi. Dan pada akhirnya Tunjangan Profesi Guru (TPG) akan menjadi solusi tepat bagi Pemerintah untuk mengantarkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini ditegaskan dengan jelas dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen Pasal 6 yang menjelaskan bahwa Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Wa Allahu ‘Alam
(Dimuat di Harian Radar Cirebon, Jumat 16 Oktober 2015)

         
         



Tidak ada komentar:

Posting Komentar