Minggu, 18 Oktober 2015

Tentang Hari Santri Nasional


           Presiden Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional beberapa hari yang lalu. Awalnya Presiden Jokowi berencana memilih 1 Muharom, namun karena pertimbangan bahwa 1 Muharam adalah tahun baru Islam, sudah menjadi hari libur nasional maka tidak mungkin dijadikannya sebagai Hari Santri Nasional. Dipilihnya 22 Oktober didasari pada peristiwa bersejarah perjuangan para santri merebut kemerdekaan, yakni Resolusi Jihad di Surabaya dan sekitarnya.
          Setelah Indonesia menyatakan merdeka,  tepatnya 22 Oktober 1945, Netherland Indian Civil Administration (NICA) dari pemerintahan Belanda datang untuk kembali merebut kekuasaan  di Surabaya dengan membonceng pihak Sekutu. Mennyikapi  keadaan seperti itu, KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan tentara NICA dan Sekutu yang dipimpin Inggris tersebut. 
 Resolusi Jihad merupakan seruan wajib berjihad melawan penjajah yang diserukan oleh para ulama. Resulosi Jihad ditandatangani oleh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 setelah bermusyawarah dengan ratusan kiai dari berbagai daerah. Resolusi Jihad adalah fatwah para ulama untuk merespons agresi Belanda kedua. Resolusi itu memuat seruan bahwa setiap muslim wajib memerangi penjajah. Para pejuang yang gugur dalam peperangan melawan penjajah pun dianggap mati syahid.
          Kaitan dengan 22 Oktober, Sekretaris negara, Pramono Anung menegaskan bahwa hari itu  tidak otamatis menjadi hari libur meski telah ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri (HSN) sendriri merupakan usulan dari internal kabinet dan pihak eksternal yang terkait.
Muhammadiyah Menolak
          Sayangnya, HSN yang merupakan pengakuan terhadap peranan penting umat Islam Indonesia  dalam perjuangan kemerdekaan tersebut tidak disepakati (baca: ditolak) oleh salah satu ormas Islam, dalam hal ini Muhammmadiyah.
Adalah Haedar Nasir, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang menyatakan Muhammadiyah keberatan dengan penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Muhammadiyah menilai penetapan Hari Santri Nasional dapat mengganggu ukhuwah umat Islam lewat polarisasi antara santri dan nonsantri yang selama ini sudah mulai mencair. Muhammadiyah juga secara resmi akan mengirim surat kepada Presiden,  menyatakan keberatan dengan penetapan  HSN tersebut. (http://khazanah.republika.co.id/)
Menurut Haedar, Muhammadiyah tidak ingin umat Islam makin terpolarisasi dalam kategorisasi santri dan nonsantri. Hari Santri akan menguatkan kesan eksklusif di tubuh umat dan bangsa. Padahal, selama ini santri-nonsantri makin mencair dan mengarah konvergensi. Untuk apa membuat seremonial umat yang justru membuat kita terbelah. Apalagi hari yang dipilih sangat eksklusif dan milik satu kelompok Islam. Hal itu kian menambah kesenjangan yang berpotensi mengganggu ukhuwah umat Islam.
Memaknai Lebih Jauh
          Sebenarnya Polarisasi seperti disebut Haedar Nasir adalah politik de vide et impera ala Belanda. Politik de vide et impera atau politik pecah belah ,  politik adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. (https://id.wikipedia.org/)
 Clifford Gerts seorang antropolog asal Amerika serikat setelah melakukan penelelitian pada tahun 1960 an mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan. Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang muslim yang mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat islam. Kelompok abangan merupakan golongan penduduk jawa muslim yang memprtikkan islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan kelompok santri yang ortodoks dan cenderung mengikuti kepercayaan adat yang didalamnya mengandung unsur tradisi Hindu, Budha, dan Animisme. Sedangkan kelompok priyayi digunakan sebagai istilah orang yang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi atau sering disebut kaum bangsawan.
Sebenarnya penggolongan ketiga kategorisasi ini tidaklah terlalu tepat. Banyak ahli yang mementahkanya karena pengelompokkan priyayi – non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri – abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.
       Dan sekarang sesungguhnya sudah tidak relevan lagi (baca:tidak tepat) berbicara soal polarisasi priyayi, santri, abangan. Karena saya yakin, kita sudah menyadari dan memahami bahwa polarisasi itu diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Sebenarnya Haedar Nasir sendiri mengakui, dalam bahasa beliau, selama ini santri-nonsantri makin mencair dan mengarah konvergensi. Karenanya saya menyangsikan, apa  Haedar Nasir mengajak kita kembali ke jaman penjajah dengan mengkategorikan kembali masyarakat jawa ke tiga kategori itu? Saya yakin, tidak.
          Oleh karena itu, menurut hemat saya, terlepas penolakan dari saudara-saudara kita, Muhammadiyah, selayaknya kita memaknai HSN lebih jauh lagi. Pemaknaan itu diantaranya menjadikan HSN sebagai pengakuan negara terhadap peran umat Islam apa pun golongan, kelompoknya. Pengakuan itu harus kita hargai dengan senantiasa meningkatkan peran dan fungsi kita dalam membangun bangsa dan negara. Peran umat Islam, siapa, apa pun golongannya akan berdampak positif pada kemajuan Indonesia.
Kemudian, HSN juga harus dimaknai sebagai hari persatuan umat Islam dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Bukan saatnya lagi kita mempermasalahkan santri atau tidak santri. Kita harus bersama-sama berperan aktif memajukan negara dan bangsa. Santri dalam HSN hanya simbol yang ingin diambil dari tubuh umat Islam Indonesia.
Akhir kata, HSN selayaknya menyatukan kita umat Islam untuk berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak sebaliknya. Karenanya,  sangat arif bila kita tidak memperdebatkannya lebih panjang lagi. Wa Allahu ‘Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar