Selasa, 05 April 2016

Perpustakaan DPR Dan Budaya Literasi



                 Beberapa waktu lalu, DPR RI mewacanakan pembangunan perpustakaan termegah di Asia Tenggara dalam kompleks parlemen. Tujuannya untuk membantu anggota dewan dalam meningkatkan kinerja. Anggaran  diambil dari  proyek DPR di APBN 2016 senilai 570 milyar. Perpustakaan ini nantinya akan menjadi satu gedung dengan gedung baru untuk ruang kerja anggota.
                 Pro kontra bermunculan. Tidak sedikit penolakan dari masyarakat luas, bahkan kalangan DPR sendiri. Fraksi Nasdem misalnya, dari awal telah menolak gagasan tersebut. Alasanya, karena eranya sekarang adalah e-library, perpustakaan digital.  Selain itu, perpustakaan yang ada saja belum termanfaatkan secara maksiamal.  Berdasarkan laporan  merdeka.com selama periode Januari hingga Desember 2015, tercatat 4.953 pengunjung telah hadir di perpustakaan ini.  Pengujung yang datang rata-rata merupakan tenaga ahli. Anggota DPR jarang datang.
                     Perpustakaan yang direncakana akan menampung sekitar 600.000 koleksi buku dan karya sejenis itu juga ditolak oleh Forum Indonesia untuk Trasnsparansi Anggaran (Fitra). Fitra beragumentasi, proyek itu telah menyalahi perencanaan awal, anggaran yang sebesar sangat rawan penyelewengan, serta memiliki potensi mark up yang sangat tinggi. (http://kabar24.bisnis.com/)
                 Sebenarnya pembangunan DPR merupakan gagasan yang bagus. Hanya, menurut hemat saya, momentumnya tidak tepat. Dalam mengambil kebijakan, pemerintah sepatutnya membuat skala prioritas. Yakni mendahulukan yang lebih penting dan mendesak dari banyak hal penting. Menentukan  skala prioritas memerlukan kajian dan pertimbangan banyak aspek.  Karenanya, anggota DPR diminta bijak dalam memandang soal rencana tersebut. Mereka kudu mengkaji ulang berbagai program, membuat prioritas.
                 Perpustakaan yang ada sebenarnya dapat dimaksimalkan  manfaatnya oleh anggota dewan. Kalau perpustakaan yang ada saja sepi pengunjung, apa pantas mengusulkan yang baru? Anggota dewan adalah teladan bagi rakyat. Sepantasnya mereka memberi contoh dan teladan yang baik.
                 Dan sayangnya, gagasan dan wacana pembangunan perpustakaan termegah  itu tidak berbanding lurus dengan minat baca masyarakat. Ada ketimpangan yang sangat mencoolok. Kemegahan perpustakaan DPR tak mencerminkan minat baca rakyatnya. Berdasarkan sebuah surveii Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Penelitian di bidang literasi yang dilakukan oleh  Central Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Budaya Literasi
Hasil penelitian di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa yang  dilhat dan didengar dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), seperti ditulis selasar.com 29-5-2015,  pada tahun 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Kita belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Kita belum mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis  belum mengakar kuat dalam budaya bangsa kita. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis.
Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat umum), lingkungan terpelajar atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang disebut budaya literasi. Peserta didik belum tertanam kecintaan membaca. Bahkan guru dan dosen, tak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya. Itu bisa dibuktikan dengan  minimnya jumlah buku yang dimiliki mereka. Perpustakaan sekolah yang tak terawat dapat menjadi saksi bisu betapa civitas akademika itu jauh dari  budaya literasi.  Sebab itu, di awal tahun pelajaran 2015-2016 yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan  telah mengeluarkan peraturan menteri (Permen), yang mewajibkan para siswa membaca buku 10 menit sebelum jam belajar dimulai.
Taufiq Ismail pernah melakukan penelitian. Pada tahun 1996 menemukan perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia 0 buku. Ini tentu memperhatinkan.
                 Apa budaya litersai itu?  Budaya  seperti disebutkan wikipedia.org diartikan sebagai sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan literasi dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan menulis dan membaca masyarakat dalam suatu Negara.
                 Melihat masih rendahnya minat baca masyarakat, menurut hemat saya anggaran besar itu lebih baik dimanfaatkan untuk membangun budaya literasi, khususnya mendorong minat baca bangsa ini. Berikut hal-hal yang bisa dilakukan. Pertama, subsidii buku. Di beberapa negara maju, pembelian buku memperoleh subsidi dari pemerintah. Sebagai nagara berkembang yang mengejar ketertinggalan di berbagai sektor, tak salah jika Pemerintah Indonesia mengusahakan hal tersebut. Subsidi akan membantu masyarakat dalam memiliki serta membaca buku. Ini terlihat mustahil. Tapi selagi ada usaha dari semua pihak, saya  yakin tidak ada yang mustahil.
                 Kedua, mengoptimalkan peran perpustakaan daerah. Keberadaan perpustakaan daerah selama ini belum menunjukkan perannya dalam masyarakat. Keberadaanya antara ada dan tiada. Ini terkait dengan pengelolaan dan pelayanan yang belum maksimal. Sebab itu pelayanan wajib ditingkatkan, koleksi buku ditambah. Perpustakaan daerah diupayakan membuat terobosan dengan kegiatan menarik seperti lomba menulis, lomba baca puisi,  atau lainnya.
Ke depan perpustakaan daerah diminta menjadi lokomotif  minat baca masyaraat. Ini  sebuah tantangan berat sekaligus tanggung jawab  dalam upaya menanamkan budaya membaca dan menulis. Kemudian, rasanya tidak rasional bila satu daerah hanya satu perpustakaan. Sebab itu, perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk membangun perpustakaan umum di setiap kecamatan atau desa. Ini semata-mata untuk mendekatkan bacaan ke masyarakat.
                 Akhir kata, wacana pembangunan perpustakaan DPR perlu dipertimbangkan. Gagasan itu pada dasarnya baik, bagus. Hanya momentumnya yang belum tepat. Ada banyak hal yang wajib diprioritaskan oleh bangsa ini. Salah satunya adalah upaya membangkitkan minat baca masyarakat atau budaya literasi. Budaya literasi bangsa kita tertinggal jauh dari negara lain. Sebab itu, sebelum membangun gedung perpustakan megah yang menghabiskan anggaran besar, alangkah bijaknya kita membangun budaya literasi bangsa kita terlebih dahulu. Dana besar tersebut bisa digunakan untuk membangun  perpustakaan umum di setiap kecamatan atau penambahan stok buku perpustakaan daerah yang ada. Pemerintah juga bisa mensubsidi buku. 
Wa Allahu Alam      
Dimuat di Harian Umum RADAR CIREBON Rabu 6 April 2016






Tidak ada komentar:

Posting Komentar