Sabtu, 23 April 2016

Melindungi Petugas Pajak


          Di tengah isu skandal Panama Papers yang mengebohkan, kita dikejutkan dengan berita terbunuhnya dua petugas pajak di Nias Sumatera Utara. Juru sita pajak negara bernama Parada Toga Fransriano S dan anggota satuan pengamanan, Soza Nolo Lase, tewas setelah ditikam wajib pajak bernama Agusman Lase. Agusman Lase diketahui telah mengemplang pajak sebesar 14 milyar selama 2,5 tahun.  Nilai itu tentu terhitung besar untuk ukuran wilayah pajak seperti Nias.
          Peristiwa pembunuhan tersebut terjadi di Jalan Yos Sudarso, Desa Hilihao kilometer 5, Kota Gunungsitoli sekitar pukul 11.30 WIB Selasa 14 April lalu. Usai membunuh dua petugas pajak, Agusman Lase kemudian menyerahkan diri ke Polres Nias dan mengakui perbuatannya. Polres Nias pun langsung memproses yang bersangkutan.
          Dugaan publik, tidak sedikit wajib pajak seperti Agusman Lase yang selama ini mengemplang uang pajak. Bayangkan, tagihan pajak terhadap seorang pedagang karet kelas menengah seperti Agusman saja bisa mencapai Rp 14 miliar. Padahal, di daratan Sumatera, ada ratusan bahkan mungkin ribuan pedagang sekelas Agusman. Penasihat Gabungan Perusahaan Karet Indonesia, Daud Husni Bastari, menyebut banyak perusahaan perdagangan karet dengan status badan usaha yang tidak jelas. Para pengepul itu tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). 
          Belum  lagi secara nasional, potensi pendapatan dari pajak tentu sangat besar. Untuk itu, tak berlebihan bila Pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp 1.822,6 triliun. Ini adalah target yang tidak mudah diraih. Pada triwulan pertama, misalnya, duit yang terkumpul baru Rp 247,6 triliun alias 13,6 persen dari target, turun dibanding perolehan pada periode yang sama tahun lalu.  Tapi bukan berarti target itu tak rasional bila melihat potensi yang ada. Pada posisi ini, petugas pajak ditantang bekerja lebih keras lagi. Apalagi pengalaman sebelumnya, perolehan pajak secara nasional belum bisa capai target.
          Seperti diketahui, alasan di atas menyebabkan Dirjen Pajak mengundurkan diri akhir tahun lalu. Sigit Priadi Pramudito mengundurkan diri, meletakan jabatan karena merasa tidak mampu memenuhi target penerimaan pajak tahun 2015. Saat itu, penerimaan pajak memang masih mengkhawatirkan. Seperti diungkapkan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro,  realisasi penerimaan pajak hingga akhir November 2015 baru mencapai 65 persen dari target APBNP 2015 Rp 1.294,2 triliun.
            Terkait tragedi memilukan tersebut, Dirjen Pajak Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi meminta Kepala Polri Jenderal Pol Badrodin Haiti mengerahkan bawahannya untuk mengawal kegiatan pegawai pajak, khususnya saat menagih pajak ke wajib pajak. Pasalnya, tugas menagih pajak ke wajib pajak berisiko terhadap keselamatan petugas pajak. Sebelumnya,  kerja sama soal itu sebenarnya telah dijalin antara Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, dan Kepolisian RI. Sayang, pemanfaatannya tidak maksimal.
          Insiden pertama kali bagi petugas pajak ini disesalkan banyak pihak. Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi, menilai ada unsur kelalaian yang menyebabkan tewasnya dua petugas pajak, Parada Toga Fransriano Siahaan dan Sozanolo Lase.  Ken Dwijugiasteadi merasa kecolongan. Harusnya penagihan itu dikawal kepolisian. Itu merupakan bagian  standard operating procedure (SOP) dalam semua aktivitas petugas pajak di lapangan seperti penagihan atau lainnya. Namun, yang bersangkutan (petugas pajak) merasa aman-aman saja. Mereka berdua  menganggap daerah tersebut adalah daerahnya sendiri.  Karena salah satu dari mereka (Sozanolo) adalah orang Nias asli. Sozanolo merupakan pegawai di kantor pelayanan penyuluhan dan konsultasi perpajakan (KP2KP) Gunungsitoli.
          Terkait inseden ini, center for Indoneisa Taxation Analysis (CITA) mendesak pemerintah segera mengeluarkan intruski Presiden tentang perlindungan Hukum bagi Fiskus. Direktur Ekskutif CITA, Yustinus Prastowo menuturkan pembunuhan kedua petugas apajak itu merupakan bagian dari serangkaian intimidasi yang sudah lama terdengar mengiringi tugas petugas pajak. Karenanya ia  mengingatkan pemerintah bahwa perlindungan bagi para abdi negara yang menunaikan tugas mutlak diperlukan  (http://www.cnnindonesia.com/)
          Sebenarnya pemerintah telah menuntaskan rancangan intruksi Presiden tentang perlindungan Hukum bagi Pegawai Pajak dalam menghimpun Penerimaan Negara sejak tahun 2015 lalu. Namun, hingga kini, intruksi tersebut belum juga diterbitkan. Tewasnya dua petuga pajak di Nias diharapkan menjadi perhatian sekaligus peringatan semua pihak terkait penerbitan Inpres tersebut. Tak ada alasan untuk menunda. Ini penting, menjadi darurat.
Perlindungan
Untuk memberikan perlindungan pada petugas pajak,  kita harus memberikan pendampingan keamanan dari aparat negara baik kepolisian atau TNI.  Seperti disinggung sebelumnya, kerja sama antara Dirjen pajak, Polri serta TNI mesti dioptimalkan. Petugas pajak wajib meminta pendampingan sebelum bertugas dalam penagihan misalnya. Prosedur itu kudu ditempuh, tak boleh diabaikan. Sehingga hal yang tak diinginkan saat bertugas bisa dihindari. Jajaran Kepolisian dari Polda, Polres sampai Polsek harus siaga, siap bila diminta pendampingan tersebut. Kerja sama yang baik antara petugas pajak dan aparat secara tidak langsung akan membantu pemasukan pajak negara.
Kemudian, memberikan asuransi. Petugas pajak terutama bagi mereka yang bertugas dalam tugas berisiko tinggi seperti  penagihan terhadap wajib pajak sepantasnya diasuransikan. Asuransi sebagai jaminan atas apa yang akan menimpa sang petugas. Bila ada hal  tak diinginkan, yang bersangkutan atau keluarganya dapat mengajukan klaim terhadap apa yang menjadi haknya. Asuransi merupakan salah satu bentuk pengendalian risiko yang dilakukan dengan cara mengalihkan/transfer risiko dari satu pihak ke pihak lain dalam hal ini adalah perusahaan asuransi. Ini dilakukan semata-mata untuk memberikan perlindungan bagi petugas pajak.
Selain itu, memberikan izin penggunaan senjata tajam. Dalam kondisi tertentu petugas pajak diperkenankan menggunakan senjata tajam. Maka, mereka pun kudu dibekali ketrampilan menggunakan senjata dengan benar.  Sehingga izin penggunaan senjata bagi petugas pajak tak akan menjadi masalah baru akibat kesalahan petugas yang bersangkutan dalam menggunakan senjata tajam.
Akhir kata, membayar pajak adalah kewajiban setiap warga negara. Pajak harus masuk ke khas negara semaksimal mungkin. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab Dirjen Pajak, secara khusus petugas pajak. Di lapangan, petugas pajak menjadi ujung tombak penarikan pajak ke negara.
Di tengah masyarakat, masih banyak wajib pajak yang tak menyadari pentingnya membayar pajak. Mereka menghindari pajak seperti  diduga pada mereka yang namanya tercantum di Panama Papers. Tak sedikit juga yang mengemplang, tak membayar. Padahal pajak menjadi pemasukan khas negara yang signifikan. Uang pajak diperuntukkan untuk melaksanakan pembangunan di segala sektor.
          Bagi pengemplang pajak, petugas pajak dianggap musuh. Ini menjadi resiko berat bagi petugas pajak dalam menjalankan tugas negara. Para abdi negara itu dihadapkan pada resiko keamanan. Sebab itu mereka berhak mendapat perlindungan. Perlindungan berupa pendampingan keamanan oleh aparat keamanan (Polri-TNI), asuransi jiwa, serta izin kepemilikan senjata tajam. Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar