Di tengah isu skandal Panama Papers
yang mengebohkan, kita dikejutkan dengan berita terbunuhnya dua petugas pajak
di Nias Sumatera Utara. Juru sita pajak negara
bernama Parada Toga Fransriano S dan anggota satuan pengamanan, Soza Nolo Lase,
tewas setelah ditikam wajib pajak bernama Agusman Lase. Agusman Lase diketahui
telah mengemplang pajak sebesar 14 milyar selama 2,5 tahun. Nilai
itu tentu terhitung besar untuk ukuran wilayah pajak seperti Nias.
Peristiwa pembunuhan tersebut terjadi di Jalan Yos Sudarso,
Desa Hilihao kilometer 5, Kota Gunungsitoli sekitar pukul 11.30 WIB Selasa 14
April lalu. Usai membunuh dua petugas pajak, Agusman Lase kemudian menyerahkan
diri ke Polres Nias dan mengakui perbuatannya. Polres Nias pun langsung
memproses yang bersangkutan.
Dugaan
publik, tidak sedikit wajib pajak seperti Agusman Lase yang selama ini mengemplang
uang pajak. Bayangkan, tagihan pajak terhadap seorang pedagang karet kelas
menengah seperti Agusman saja bisa mencapai Rp 14 miliar. Padahal, di daratan
Sumatera, ada ratusan bahkan mungkin ribuan pedagang sekelas Agusman. Penasihat
Gabungan Perusahaan Karet Indonesia, Daud Husni Bastari, menyebut banyak
perusahaan perdagangan karet dengan status badan usaha yang tidak jelas. Para
pengepul itu tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Belum
lagi secara nasional, potensi pendapatan dari pajak tentu sangat besar.
Untuk itu, tak berlebihan bila Pemerintah menargetkan
penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp 1.822,6 triliun. Ini adalah target
yang tidak mudah diraih. Pada triwulan pertama, misalnya, duit yang terkumpul
baru Rp 247,6 triliun alias 13,6 persen dari target, turun dibanding perolehan
pada periode yang sama tahun lalu. Tapi
bukan berarti target itu tak rasional bila melihat potensi yang ada. Pada
posisi ini, petugas pajak ditantang bekerja lebih keras lagi. Apalagi
pengalaman sebelumnya, perolehan pajak secara nasional belum bisa capai target.
Seperti diketahui, alasan di atas
menyebabkan Dirjen Pajak mengundurkan diri akhir tahun lalu. Sigit Priadi Pramudito mengundurkan
diri, meletakan jabatan karena merasa tidak mampu memenuhi target penerimaan
pajak tahun 2015. Saat
itu, penerimaan
pajak memang masih mengkhawatirkan. Seperti diungkapkan Menteri Keuangan,
Bambang Brodjonegoro, realisasi
penerimaan pajak hingga akhir November 2015 baru mencapai 65 persen dari target
APBNP 2015 Rp 1.294,2 triliun.
Terkait tragedi memilukan tersebut,
Dirjen Pajak Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi meminta Kepala Polri Jenderal Pol
Badrodin Haiti mengerahkan bawahannya untuk mengawal kegiatan pegawai pajak,
khususnya saat menagih pajak ke wajib pajak. Pasalnya, tugas menagih pajak ke
wajib pajak berisiko terhadap keselamatan petugas pajak. Sebelumnya,
kerja sama soal itu sebenarnya telah
dijalin antara Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, dan Kepolisian
RI. Sayang, pemanfaatannya tidak maksimal.
Insiden
pertama kali bagi petugas pajak ini
disesalkan banyak pihak. Dirjen Pajak, Ken
Dwijugiasteadi, menilai ada unsur kelalaian yang menyebabkan tewasnya dua
petugas pajak, Parada Toga Fransriano Siahaan dan Sozanolo Lase.
Ken Dwijugiasteadi
merasa kecolongan. Harusnya penagihan itu dikawal kepolisian. Itu merupakan bagian
standard operating procedure (SOP) dalam semua
aktivitas petugas pajak di lapangan seperti penagihan atau lainnya. Namun, yang bersangkutan
(petugas pajak) merasa aman-aman saja. Mereka berdua menganggap daerah tersebut adalah daerahnya
sendiri. Karena salah satu dari mereka
(Sozanolo) adalah orang Nias asli. Sozanolo merupakan pegawai di kantor
pelayanan penyuluhan dan konsultasi perpajakan (KP2KP) Gunungsitoli.
Terkait inseden ini,
center for Indoneisa Taxation Analysis (CITA) mendesak pemerintah segera
mengeluarkan intruski Presiden tentang perlindungan Hukum bagi Fiskus. Direktur
Ekskutif CITA, Yustinus Prastowo menuturkan pembunuhan kedua petugas apajak itu
merupakan bagian dari serangkaian intimidasi yang sudah lama terdengar
mengiringi tugas petugas pajak. Karenanya ia mengingatkan pemerintah bahwa perlindungan
bagi para abdi negara yang menunaikan tugas mutlak diperlukan (http://www.cnnindonesia.com/)
Sebenarnya pemerintah
telah menuntaskan rancangan intruksi Presiden tentang perlindungan Hukum bagi
Pegawai Pajak dalam menghimpun Penerimaan Negara sejak tahun 2015 lalu. Namun,
hingga kini, intruksi tersebut belum juga diterbitkan. Tewasnya dua petuga
pajak di Nias diharapkan menjadi perhatian sekaligus peringatan semua pihak
terkait penerbitan Inpres tersebut. Tak ada alasan untuk menunda. Ini penting,
menjadi darurat.
Perlindungan
Untuk memberikan perlindungan pada petugas pajak, kita harus memberikan pendampingan keamanan
dari aparat negara baik kepolisian atau TNI.
Seperti disinggung sebelumnya, kerja sama antara Dirjen pajak, Polri
serta TNI mesti dioptimalkan. Petugas pajak wajib meminta pendampingan sebelum
bertugas dalam penagihan misalnya. Prosedur itu kudu ditempuh, tak boleh
diabaikan. Sehingga hal yang tak diinginkan saat bertugas bisa dihindari.
Jajaran Kepolisian dari Polda, Polres sampai Polsek harus siaga, siap bila
diminta pendampingan tersebut. Kerja sama yang baik antara petugas pajak dan
aparat secara tidak langsung akan membantu pemasukan pajak negara.
Kemudian, memberikan asuransi. Petugas pajak terutama bagi
mereka yang bertugas dalam tugas berisiko tinggi seperti penagihan terhadap wajib pajak sepantasnya
diasuransikan. Asuransi sebagai jaminan atas apa yang akan menimpa sang
petugas. Bila ada hal tak diinginkan,
yang bersangkutan atau keluarganya dapat mengajukan klaim terhadap apa yang
menjadi haknya. Asuransi merupakan salah satu bentuk pengendalian risiko yang
dilakukan dengan cara mengalihkan/transfer risiko dari satu pihak ke pihak lain
dalam hal ini adalah perusahaan asuransi. Ini dilakukan semata-mata untuk memberikan perlindungan bagi
petugas pajak.
Selain itu, memberikan izin penggunaan senjata tajam. Dalam
kondisi tertentu petugas pajak diperkenankan menggunakan senjata tajam. Maka,
mereka pun kudu dibekali ketrampilan menggunakan senjata dengan benar. Sehingga izin penggunaan senjata bagi petugas
pajak tak akan menjadi masalah baru akibat kesalahan petugas yang bersangkutan
dalam menggunakan senjata tajam.
Akhir kata, membayar pajak adalah kewajiban setiap warga
negara. Pajak harus masuk ke khas negara semaksimal mungkin. Ini menjadi tugas
dan tanggung jawab Dirjen Pajak, secara khusus petugas pajak. Di lapangan,
petugas pajak menjadi ujung tombak penarikan pajak ke negara.
Di tengah masyarakat, masih banyak wajib pajak yang tak
menyadari pentingnya membayar pajak. Mereka menghindari pajak seperti diduga pada mereka yang namanya tercantum di
Panama Papers. Tak sedikit juga yang mengemplang, tak membayar. Padahal pajak
menjadi pemasukan khas negara yang signifikan. Uang pajak diperuntukkan untuk
melaksanakan pembangunan di segala sektor.
Bagi pengemplang pajak,
petugas pajak dianggap musuh. Ini menjadi resiko berat bagi petugas pajak dalam
menjalankan tugas negara. Para abdi negara itu dihadapkan pada resiko keamanan.
Sebab itu mereka berhak mendapat perlindungan. Perlindungan berupa pendampingan
keamanan oleh aparat keamanan (Polri-TNI), asuransi jiwa, serta izin
kepemilikan senjata tajam. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar