Sabtu, 23 April 2016

Presiden Sekelas Walikota dan Cagub Sekelas Presiden




            Judul tulisan ini mungkin sedikit janggal. Apa ada Presiden sekelas Walkota? Demikian, apa ada orang sekelas presideng menjadi calon gubernur (Cagub)? Ya, namanya juga politik. Segala hal dapat terjadi. Membaca judul di atas, saya yakin anda mengetahu siapa yang dimaksud. Tanpa berlama-lama, saya menyebut Presiden Jokowi dan bakal c.alon gubernur DKI Jakarta, Prof Yusril Ihza Mahendra.
          Anda pasti ingat, saat Pilpres tahun 2014 yang lalu, Prof. Yusril menyebut (tepatnya mengejek) Jokowi sebagai calon Presiden sekelas Walikota. Sebenarnya sebutan itu sudah dilontarkan sang Profesor ahli hukum itu ketika Jokowi mencalonkan diri menjadi calon gubernur DKI. Bahkan sampai saat ini, ejekan sang Profesor itu masih berlaku, kerap kali digunakan.
          Belum lama, ketika menjadi khatib Jumat di Masjid Nurul Iman, Blok M Square,  Jakarta Selatan, Jumat (25/3/2016), Yusril yang pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Menteri Hukum dan Perundang-undangan, serta Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada kabinet pemerintahan yang lalu itu kembali melontarkan statemen benada ejekan tersebut. 
          Yusril mengatakan, orang yang memiliki pengalaman menangani masalah nasional, pasti mampu menangani permasalahan daerah. Sebaliknya, kapabilitas seseorang akan diragukan jika menangani permasalahan nasional hanya dengan pengalaman mengelola daerah. Jadi, kalau ada tokoh yang mampu memecahkan persoalan nasional dan dia mau turun memecahkan persoalan daerah itu baik. Yang tidak baik itu, kapasitas wali kota tetapi jadi presiden, misalnya. Itu sudah kacau jadinya. (http://megapolitan.kompas.com/)
Mulutmu Harimaumu
          Mengamati tutur kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) di atas, saya teringat pepatah mulutmu adalah harimaumu. Bahwa tidak sedikit orang dibunuh (karir, kedudukan, kehormatan dll) oleh mulutnya sendiri. Paling mutakhir adalah apa yang menimpa mantan Wakil Ketua Fahri Hamzah. Gaya komunikasi politik yang arogan, ugal-ugalan, kasar menyebabkan partainya sendiri melengserkan.
          Sekarang bagaimana dengan Pak Yusril? Saya melihat beliau sedang mempertaruhkan martabat dan kehormatannya. Saya menilainya sebagai sebuah keberanian, yang menurut analisa politik saya, sangat kebablasan. Atau dalam bahasa lain terlalu berani. Bagi saya orang awam, bodoh politik, terlalu mahal kalau jabatan semisal kursi gubenur harus dibayar dengan harga diri dan kehormatan.
          Berikut penjelasan lebih jauh. Di antara calon gubernur DKI Jakarta yang namanya beredar, saya melihat Yusril yang paling berambisi, menggebu-gebu. Tapi sayang, ambisi dan semangat politik beliau tak dibarengi dengan kekuatan politik riil yang menggembirakan. Yusril adalah ketua umum PBB. PBB tak memiliki kursi satu pun di DPRD DKI Jajarta. Dengan demikian, otomatis tak dapat diandalkan. PBB tidak mungkin bisa mendaftarkan sang Ketua Umum. Ini kenyataan yang mestinya dipahami oleh Yusril. Namun, nampaknya beliau tidak memahami hal itu. Atau pura-pura tak paham sehingga menganggap realita politik tersebut tidak ada.
          Yusril nampaknya buta mata, buta pikir. Pengacara hebat yang pernah jadi Calon Presden di awal reformasi  itu memperlakukan dirinya layaknya pemimpin partai pemenang pemilu. Berkoar-koar ke sana kemari, seakan dirinya paling hebat. Walau kenyataan politik justru sebaliknya. Ia ibarat orang yang menjerit-jerit  di pinggir jalan mencari tumpangan di tengah hiruk pikuk lalu lalang kendaraan. Pertanyaan, apa ada kendaraan yang mau berhenti? Kemudian mengantarkannya ke KPUD Jakarta, mendaftarkanya  sebagai calon gubernur?
          Untuk hal di atas,  saya angkat topi, salut. Beliau tak kenal malu, apalagi gengsi. Sebagai seorang ketua umum partai, Yusril telah mendaftakan diri sebagai bakal calon di hampir semua partai. Daftar ke PDI-P, Gerindra, PKB, juga lainnya saat penjaringan cagub. Pak Yusril seperti orang yang meminta belas kasihan, dalam bahasa pengamat politik mengemis ke semua partai. Dan itu dilakukan dengan tetap semangat, percaya diri, bahkan (maaf-maaf) degan tetap sombong. Memang terdengar aneh, meminta kok dengan membusungkan dada. Tapi itu yang membedakan Pak Yusril dari politis tanah air lainnya.
          Kembali ke persoalan, kenapa saya menyebut Yusril Ihza Mahendra menjual kehormatan dan martabat? Analisanya sebagai berikut. Pertama, penumpang di partai lain, tak mungkin diposisikan sebagai calon gubernur. Paling hanya dicalonkan menjadi wakil gubernur, itu pun kalau partai-partai tersebut merelakan menutup potensi kadernya untuk memimpin DKI. Ini memang kecil kemungkinannya. Tapi tak apalah, namanya juga politik tak ada sesuatu yang tak mungkin. Hanya yang menjadi persoalan, apa Yusril mau menjadi orang nomor dua? Jelas tidak. Dalam berbagai kesempatan ia hanya bersedia dicalonkan menjadi cagub. Kecuali bila yang bersangkutan menelan ludahnya sendiri.
          Kedua, sulit mempersatukan seluruh partai. Kenapa? Karena setiap partai memiliki kepentingan, agenda politik yang berbeda. Sementara Yusril bersedia dicalonkan bila hanya ada dua pasangan calon. Yusril berambisi melawan dan mengalahkan teman sekampungnya Ahok, head to head.  Sementara Ahok sendiri sudah bulat mencalonkan diri lewat jalur independen.
          Dua hal di atas, menurut hemat saya, menjadi kendala nyata bagi Yusril Ihza Mahendara. Jadi walau beliau sudah all out, menjual harga diri dan kehormatan, nasibnya menjadi calon  gubernur akan sangat sulit. Saya tak mengatakan mustahil, karena dalam poliitik tak ada yang tidak mungkin.
          Jadi bagaimana nasib calon Gubernur sekelas Presiden sepert Yusril Ihza Mahendra? Apa harus gigit jari? Warga DKI Jakarta akan menentukannya pada Pilkada 2017 mendatang. Bisa saja Yusril mengalahkan Ahok, asal beliau memilki program kerja yang menjanjikan,  mengalahkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Ahok sebagai gubernur DKI. Sayangnya selama ini, Prof Yusril tak pernah memaparkan visi misinya memperbaiki Jakarta. Yusril hanya bisa mencari kesalahan Ahok , sang petahana. Lebih miris lagi, untuk hal itu Yusril melakukannya dengan menghalalkan segala cara.  Yusril tak sungkan menyerang Ahok berkait etnis, bahkan agama. Isu SARA digunakan sebagai senjata menyerang lawan, menyebar kebencian. Ini menjadi sisi kelemahan lain dari Yusril. Bagi pemilih cerdas tentu cara-cara yang ditempuh Yusril seperti itu tak menarik.

          Akhirnya, mulutmu harimaumu akan menggulung cita-cita Yusril jika yang bersangkutan tak merubah strateginya dalam meraih simpati masyarakat Jakarta. Selama ini Yusril sering melontarkan statemen yang blunder.  Omong besar nan kosong yang kerap disampaikan Yusril akan membuat masyarakat muak. Saatnya, Pak Yusril berubah bila ingin sukses raih DKI 1.Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar