Sabtu, 23 April 2016

Setahun Di Kompasiana



          Tanggal 16 April besok  adalah satu tahun saya bergabung dengan Kompasiana. Sampai saat ini saya tercatat telah  menulis 162 artikel. Dihargai oleh Admin dengan 15 HL, 86 Pilihan. Di banding teman yang lain, saya mungkin belum terketegorikan sebagai kompasianer aktif. Saya baru bisa menulis tiga sampai empat artikel dalam satu minggu. Ya, lumayan di tengah kesibukan mengajar juga berbagi waktu untuk keluarga.
          Kompasiana menjadi tempat belajar. Saya memperoleh banyak dan berbagai disiplin  ilmu. Ada politik, pendidikan, agama, budaya juga sastra. Walhasil lengkap. Kompasiana merupakan tempat diskusi menarik. Walau untuk yang ini, saya sering melewatkannya. Faktor kesibukan, jaringan internet yang terkadang lelet, membuat saya tak dapat nongkrong lebih lama depan komputer untuk berdiskusi. Setelah menulis, saya memilih melepas tulisan. Kadang baru hari berikutnya saya melihatnya, membalas komentar atau sekadar mengucap salam kenal dengan yang lain.
          Setelah di Kompasiana, saya biasa mengirim tulisan ke beberapa harian umum daerah. Kadang dimuat, tak jarang juga dilepas begitu saja oleh redaktur. Bisa jadi tema tidak sesuai kebutuhan atau tulisan tak layak terbit. Dari 162 artikel di Kompasiana 60 buah di muat di dua harian yang berbeda. Lumayan ada honornya,  dapat dbelikan pulsa, buku bacaan juga kebutuhan lain.
          Pengalaman satu tahun terakhir menulis ada beberapa catatan kecil yang saya ingat, rasakan. Catatan ini anggap saja sebagai pengalaman berharga buat saya juga teman kompasianer lain. Saya merasakan bahwa tulisan atau karya ilmiah lainnya tak mendapat penghargaan  seperti harusnya. Masyarakat belum bisa menghargai karya tulis. Padahal menulis bukan hal mudah. Tidak semua orang bisa. Tak sedikit orang pandai yang tidak mampu menulis. Menulis merupakan sebuah ketrampilan yang tidak semua orang menguasainya.
Dalam bahasa Imam Ghazali menulis merupakan salah satu ketegori orang berilmu. Lebih lengkap Ghazali menyebutkan, Alim (orang berilmu) itu ada tiga macam. Yaitu alim bil qhalbi, alim bil lisan, alim bil qolam.
Alim bil qhalbi adalah mereka yang memiliki ilmu luas. Tapi ilmunya hanya di dalam hati dan otaknya. Ia tak mampu mengaktualisasikannya kepada orang lain. Ilmunya tak dikomunikasikan baik dengan bahasa lisan maupun tulisan.
Alim bil lisan  adalah para orator. Memilki ilmu, mampu menyampaikan ilmunya dengan ceramah (lisan). Ia sangat mahir mengkomunikasikan ilmu pada orang lain. Sehingga ilmu yang dimiliki bisa dipahami dan bermanfaat untuk orang banyak. Ia tidak memendam, tapi menyebarkan ilmunya.
Alim bil qolam adalah para penulis. Penulis adalah mereka yang memilki wawasan luas (berilmu) dan mengkomunikasikan ilmunya dengan tulisan baik lewat buku atau lainnya.  Penulis punya kelebihan yang tak dimiliki oleh yang lain yakni ilmu yang disampaikan (karyanya) bertahan dalam waktu yang cukup lama. Contoh, kita dapat memperoleh pancaran ilmu Imam Ghazali, walau beliau tidak sejaman dengan kita.
Terkait dengan rendahnya penghargaan pada karya tulis, saya ada sedikit pengalaman. Saya  mengirim tulisan , Perpustakaan DPR dan Budaya Literasi, ke salah satu harian umum daerah, alhamdulillah dimuat. Tapi mengejutkan,  tulisan yang sebelumnya dapat dibaca di Kompasiana itu diatasnamakan orang lain. Aneh, memang. Padahal saya mengirim lewat email secara lengkap, tak ada yang lewat, termasuk nama saya sebagai penulis. Saya mengirim surat keberatan, meminta redaksi meralat. Sedihnya, keberatan saya tak digubris. Sampai hari ini, tak ada ralat terkait kesalan fatal tersebut. Ini satu contoh betapa masyarakat kita tak menghargai karya orang lain. Padahal dewan redaksi itu tentu bukan orang awam. Mereka juga para penulis senior. Nyatanya, mereka belum bisa menghargai sebuah karya tulis orang lain. Bagaimana dengan orang awam?
Pernah juga saya membaca tulisan  di salah satu harian umum. Tulisan itu persis seperti yang saya baca di Kompasiana sebelumnya. Saya konfirmasi ke pemilik tulisan di Kompasiana, dia menegaskan bahwa tulisannya dicopas 100 %. Saya sedih. Ternyata, penulis yang saya kagumi karena tulisannya sering dimuat adalah seorang copy paste, plagiator. Bisa jadi tulisan saya terkalahkan  oleh para plagiat sepert itu di meja redaksi.
Selain itu, jadi penulis kudu siap miskin. Ungkapan itu saya dengar sudah lama. Ungkapan tersebut ada benarnya bila diterjemahkan pada kecilnya honorium tulisan. Saya merasakannya sekarang. Sebab itu, kenapa banyak orang pandai yang malas menulis. Bisa jadi itu bukan karena soal kemampuan tapi soal rendahnya penghargaan.
Namun demikian, kehadiiran Kompasiana memberi semangat lebih. Idealisme banyak kompasianer yang berbagi informasi, ilmu, pengalaman di media ini membakar jiwa idealisme. Maka menulis menjadi kebutuhan dan tuntutan. Menulis dimaknnai sebagai ibadah, berbagi dengan sesama. Menulis diartikan sebagai sedekah. Dan menulis menjadi media mengamalkan ilmu.
Akhirnya, Kompasiana hadir dalam kehidupan saya dengan membawa obor semangat berkarya. Menulis menjadi pilihan hidup. Menulislah, terus menulis. Terimakasih buat Komapasian. Terimakasih buat semua.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar