Senin, 11 April 2016

Mobil Fortuner Untuk Pejabat, Apa Tidak Berlebihan?


          Masyarakat Jawa Barat belakangan meributkan keinginan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pasalnya, anggota legislatif daerah itu mengusulkan pergantian mobil dinas. Mereka telah mengusulkan anggara ke pemerintah propinsi, untuk 50 mobil. Anggaran dipatok berkisar 50 milyar rupiah. Sebuah angka yang tidak sedikit. Mereka beralasan, pergantian mobil dinas itu bertujuan untuk membantu kinerja,  terutama saat turun ke daerah guna menemui rakyat. Mereka menilai mobil yang ada tidak cukup. Tidak membantu memaksimalkan kerja anggota dewan. Mobil yang berusia enam tahunan itu layak diganti.
          Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Sekretariat Daerah Jawa Barat, Deny Juanda Puradimaja membenarkan, saat dirinya menjabat kepala Bappeda ikut membahas bersama Badan Anggaran DPRD Jawa Barat membahas perubahan spesifikasi mobil pinjam pakai Dewan. Ada aturan yang mencantumkan fasilitas DPRD itu setingkat Eselon II, itu se-Indonesia. Deny mengatakan, kala itu pembahasan antara tim anggaran pemerintah provinsi dan Badan Anggaran DPRD menyepakati mobil pinjam pakai anggota Dewan setara kendaraan dinas Eselon II. Di antaranya spesifikasi mobilnya 2.000 cc. Dalam aturan dimaksud tidak menyebutkan merek. Dan saat ini kendaraan dinas bagi pejabat Eselon II Jawa Barat sekelas Fortuner. Sementara kendaraan pinjam pakai anggota Dewan sekelas mobil ekonomis Toyota Rush yang dibeli tahun 2010. (https://m.tempo.co)
Pemeritah Propinsi Jawa Barat nampaknya bakal menyetujui  rencana tersebut. Gubernur Jawa Barat,  Ahmad Heryawan telah memberi sinyal akan merealisasikan keinginan anggota dewan mengganti mobil dinas dari Toyota Rush dan Innova menjadi Toyota Fortuner. Namun demikian pengadaan mobil baru itu tergantung dari DPRD Jawa Barat. Pemprov Jawa Barat dalam posisi menerima pengajuan dan merealisasikannya jika memang mobil baru dibutuhkan.
Pro kontra bermunculan di khalayak. Banyak kalangan mempertanyakan dan menolak. Menurut pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan, pengadaan mobil mewah itu tak elok. Sebaiknya anggota dewan tak bersikukuh meminta. Sebab, kondisi ekonomi masyarakat Jabar tak menentu. Harga Fortuner cukup mahal. Pengadaan mobil mewah itu dapat memperlebar jarak antara anggota dewan dengan masyarakat. Anggota dewan, seharusnya memikirkan perasaan masyarakat. Masih banyak orang yang tidak bisa ke rumah sakit karena tak ada kendaraan. Tiba-tiba, mereka (anggota dewan) datang ke daerah dengan Fortuner. Secara psikologis ini menyakitka rakyat. (http://jabar.metrotvnews.com/)
Mengambil pelajaran
Legislator pada periode ini mendapat sorotan sangat tajam. Pasalnya,  mereka (baik yang di pusat atau daerah) dipandang tak lagi sejalan dengan rakyatnya. Mereka mengingkari, mengkhianati konstuenya. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok dari kemaslahatan rakyat. Mereka tak sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka bergelimang dengan harta. Harta benda dan urusan duniawi yang diperoleh dari jabatan yang ada membuat mereka lalai.
Masih segar dalam ingatan, kegaduhan di senayan. Dari sejak dilantik mereka hanya gaduh. Tercatat, mereka hanya mampu mengesahkan tak lebih dari tiga undang-undang selama dua tahun berjalan masa periode. Mereka sibuk menuntut, tak pernah memberi solusi bermanfaat bagi kepentingan orang banyak, rakyat yang diwakili.
Belum lagi yang terjerat kasus korupsi. Berdasarkan data dari KPK, ada kurang lebih 3600 anggota dewan (DPRD/DPR RI) yang terkena kasus korupsi.  Paling mutakhir, apa yang menimpa DPRD DKI Jakarta. Salah satu anggotanya, Muhamad Sanusi tertangkap tangan KPK saat transaksi suap dengan pengusaha mewakili pihak swasta. Ketua komisi D itu diduga menerima suap terkait pembahasan rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta. Diduga kuat, M Sanusi tidak sendirian. Ini korupsi berjamaah anggota DPRD.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menyebutnya sebagai grand corruption. Laode merasa prihatin terhadap kasus suap yang menjerat Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, M Sanusi. Kasus yang menjerat politikus Partai Gerindra ini dinilai luar biasa karena melibatkan perusahaan swasta besar. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa sebuah korporasi bisa mengintervensi proses pembuatan kebijakan pemerintah.  Bisa dibayangkan bagaimana kalau semua kebijakan publik dibikin bukan berdasarkan kepentingan rakyat, tapi hanya untuk mengakomodasi kepentingan orang tertentu atau korporasi tertentu.
Fakta politik di atas, mestinya menjadi pelajaran bagi anggota DPRD Jawa Barat. Mereka tidak boleh menutup mata. Sebaliknya, mereka harus waspada. Lebih hati-hati dalam mengambil langka dan  keputusan. Ingat rakyat menanti kinerja maksimal dari anda, anggota dewan terhormat.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, usulan penggantian mobil menjadi Fortuna atau yang sekelas wajib dikaji ulang. Beberapa point berikut dapat dipertimbangkan. Pertama, menjaga perasaan rakyat. Kita tahu, ekonomi rakyat belum cukup baik bila tidak menyebutnya sedang susah. Anggota DPRD sebagai kepanjangan tangan rakyat di pemerintahan seyogyanya memperjuangkan lebih gigih lagi dalam menghadirkan kesejahteraan rakyat. Tidak elok rasanya, bila mereka mengedepankan kepentingan pribadi ketika rakyat menjerit karena himpitan ekonomi.
Kedua, mobil dinas masih layak pakai. Mobil  yang dibeli tahun 2010 itu dalam kondisi cukup baik.  Anggota dewan dapat memaksimalkan fungsi mobil dinas tersebut dalam membantu operasional kinerja mereka. Selama ini, tidak ada masalah berarti dengan mobil-mobil itu. Kecuali bila anggota dewan mengutamakan gengsi daripada tujuan utama diberikannya mobil dinas sebagai alat trasnportasi.
Ketiga, uang 50 milyar itu tidak sedikit. Dana itu bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih bermanfaat dan dirasakan langsung oleh rakyat. Dana sebersar itu dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur di Jawa Barat. Misalnya,  digunakan  guna memperbaiki ruas jalan yang rusak, membangun  atau rehab ruang kelas untuk menunjang proses belajar mengajar, atau lainnya.
Keempat, rawan penyelewengan. Berdasarkan pengalaman di berbagai daerah, usulan program atau raperda seperti itu kerap kali menjerumuskan anggota dewan ke perbuatan korupsi. Apalagi terkait dana yang tak sedikit, 50 milyar. Penyelewengan terjadi saat kebijakan itu ditenderkan.
Kelima, mementingkan kemaslahatan orang banyak (rakyat) daripada kepentingan diri. Sebagai wakil rakyat ungkapan itu harusnya tertanam kuat dalam diri setiap anggota dewan. Mereka telah berjanji saat kampanye. Ungkapan seperti disakralkan dalam sumpah janji jabatan saat pelantikan. Ingat janji adalah hutang. Hutang wajib dibayar. Rakyat menagih. Mereka akan menghukum anggota dewan yang tak menunaikan. Hukuman dijelmakan di TPS pada pemilu mendatang.
Akhir kata, Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu (8/4) mengumpulkan para kepala daerah, terutama yang baru terpilih dalam pilkada serentak 2015 lalu, di Istana Negara. Jokowi meminta para kepala daerah melakukan penghematan anggaran. Mereka diminta memberi contoh hidup hemat dan sederhana. Pesan Presiden tersebut seharusnya dipahami juga oleh anggota DPRD Jawa Barat sebagai mitra kerja ekskutif di pemerintahan. Mengganti mobil dinas yang ada dengan yang lebih berkelas jelas mencerminkan hidup mewah dan glamor. Mobil Fortuner sebagai mobil dinas baru, apa tak berlebihan? Sebagai pejabat  hal seperti itu harus dihindari. Bukankah mereka panutan bagi rakyanya?Wa Allahu Alam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar