Sabtu, 23 April 2016

Densus 88 Antiteror, Apa Masih Perlu?


          Sudah lama Densus 88  Antiteror mendapat sorotan  tajam dari publik. Terlebih, dari aktivis  Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka mempertanyakan cara yang digunakan Densus 88  Antiteror dalam menangkap, menangani pelaku teror. Mereka tak jarang menilai penangkapan sebagai pelanggaran HAM. Penilaian mereka terfokus pada persoalan terabaikannya proses atau prosedur yang ada oleh Densus 88  Antiteror. Sehingga penangkapan yang  dilakukan dinilai  melanggar HAM.
          Paling mutakhir Densus 88 antiteror terpojokkan dengan kasus penangkapan seorang terduga pelaku teror, Siyono. Pria asal  Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah itu meninggal dunia di tangan Densus 88 Antiteror setelah dilakukan penangkapan 8 Maret lalu. Siyono diduga merupakan anggota organisasi terlarang Jamaah Islamiyah yang bercita-cita mendirikan negara Islam Indonesia (NII).
          Kematian Siyono dianggap menyimpan banyak  kejanggalan. Menurut keterangan pihak kepolisian, kematian Siyono disebabkan perkelahian di dalam mobil dengan aparat. Siyono disebutkan, melawan saat digiring ke mobil. Sebelumnya, ia meminta pada polisi untuk melepas borgol.
Kejanggalan tersebut mendorong Muhammadiyah dan Komnas HAM  melakukan investigasi kasus tersebut. Termasuk melakukan otopsi terhadap jenazah terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah itu. Hasil autopsi tim forensik  yang dipimpin oleh dr. Gatot Suharto menjelaskan bahwa Siyono mengalami patah di lima iga bagian kiri, patah satu iga bagian kanan, dan tulang dada yang patah akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung. Juga ditemukan luka ketokan di kepala, tapi hal itu tidak menyebabkan perdarahan atau kematian. Dari temuan tersebut tim  forensik menegaskan  tak ada tanda-tanda yang menunjukkan perlawanan atau tangkisan dari yang bersangkutan.
          Mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi menyatakan bahwa pihaknya sudah pernah mengingatkan kepada aparat keamanan untuk tidak bertindak terlalu berlebihan dalam menangani kasus terorisme. Tindakan aparat yang berlebihan kepada mereka akan menambah militan mereka dalam aksi kekerasan. Untuk menangani soal terorisme dilakukan sesuai dengan situasi di Indonesia atau untuk kepentingan negara dan bangsa. Ketika aparat melakukan penindakan, harus disertai data yang lengkap. Karena itu  densus 88 diminta tidak memperlakukan seseorang yang masih terduga teroris sebagai teroris. (http://www.republika.co.id/)
          Menanggapi berbagai tudingan miring, Kapolri Jendara Badordin Haiti, kemaren (13/4) di Jakarta angkat bicara. Orang nomor satu di Korps Bhayangakara itu tak sepakat jika satuan berlambang burung gagak itu disebut merampas  dan melanggar HAM. Ditegaskannya, selama ini kepolisian sudah menempatkan Hak Asasi Manusia. Kalaupun terjadi kekerasan hal itu bukan berarti melanggar HAM. Bisa saja, kekerasan itu dilakukan untuk melindungi diri dari upaya perlawanan maupun penyerangan yang dilakukan tawanan.
          Di tempat terpisah, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI kemaren (13/4), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Tito Karnavian mengaskan bahwa hasil otopsi tidak dapat menjelaskan kronologis. Otopsi hanya menggambarkan luka dan bentuk kekerasan yang dialami. Untuk mengetahui lebih jauh sebab luka atau bentuk kekerasan dibutuhkan kesaksian saksi. Untuk kebutuhan tersebut, internal Polri sedang melakukan investigasi. (Radar Cirebon 14/4)
Catatan
          Terkait permasalahan di atas, menurut hemat saya ada beberapa catatan yang mesti dipahami bersama. Catatan berikut diharapkan dapat membantu dalam mendudukan permasalahan secara proporsional, juga dalam mengambil sikap. Catatan ini akan menjawab apa Densus 88 masih diperlukan?  Sebab itu,   semua pihak baik aparat, aktivis HAM dan masyarakat luas kudu memahami. Pertama, bahaya terorisme. Saya beranggapan, semua dari kita sepakat atas itu. Bahaya terorisme telah mengancam kedamaian masyarakat global. Secara kemanusian, tindakan terorisme tak segan merenggut banyak jiwa. Terorisme menyebar rasa takut. Dari sisi ekonomi, aksi teror mempersempit bahkan menutup masuknya investasi. Secara politik, terorisme mengoyak stabilitas nasional.
          Sebab itu, terorisme menjadi musuh nyata bersama msayarakat dunia, termasuk Indonesia. Teororisme harus dilawan. Setiap dari kita memiliki tanggungjawab dalam memerangi terorisme sesuai fungsi dan peran masing-masing. Melawan dan memerangi terorisme membutuhkan kesatuan dan kekompakan tekad, gerak serta langkah. Satu sama lain saling menopang dan mendukung. Tidak boleh, berceraiberai apalagi saling menyalahkan.
          Khusus untuk terorisme, Kepolisian RI telah membentuk Detasemen khusus yang disebut Densus 88 Antiteror. Pasukan khusus ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana. Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiterorisme yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan.
          Kedua, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sesuatu yang wajib dijunjung tinggi oleh semua warga negara. HAM telah diatur dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28 A, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal ini sangat tegas, bahwa menghilangkan nyawa tanpa alasan hukum yang ada merupakan pelanggaran HAM.
          Ketiga, prosedur merupakan sesuatu yang harus ditempuh dan dilalui. Prosedur tak boleh dilewatkan. Setiap hal ada prosedurnya. Dalam hal penangkapan misalnya, aparat kepolisian memilki prosedur baku. Prosedur ini menjadi acuan apa seorang polisi menjalankan tugas sesuai aturan atau tidak. Karenanya, dalam melaksanakan tugas seperti penangkapan, polisi tidak boleh melalaikan semua prosedur yang ada. Kaitan dengan ini, mengabaikan prosedur  menyebabkan pelanggaran HAM.
Keempat, penegakan hukum. Penegakan hukum akan menghadirkan keadilan. Hukum akan menjelaskan siapa yang salah dan yang tidak. Setiap persoalan seyogyanya diputus melalui jalur hukum. Proses hukum wajib didahulukan. Dan keputusan hukum harus dihormati, diterima semua pihak yang bersengketa.
Dari catatan di atas, kita memahami, bisa bersikap terkait persoalan penangkapan Siyono. Kepolisian sepatutnya segera mengusut, menginvestigasi anggotanya yang diduga meyalahi prosedur terkait penangkapan tersebut. Polri tak boleh melindungi anggotanya. Polri sebagai elemen penegak hukum sepantasnya mampu memberi contoh dalam penegakan hukum. Ini akan menjadi pembelajaran bagi yang lain. Sehingga di waktu yang akan datang tak ada aparat yang mengabaikan, melalaikan prosedur dalam setiap tindakan yang diambil. Apa pun keputusannya, semua pihak harus menerima.
Kemudian kesalahan individu atau oknum tidak boleh digeneralkan pada institusi. Karenanya, dalam masalah ini tidak dapat dikatakan Densus 88 melanggar HAM, harus dibubarkan. Densus 88 tetap dibutuhkan. Membubarkan Densus 88 akan menjadi angin segar bagi pelaku teror.  Sebab itu, Densus 88 harus meningkatkan kinerja dalam menangani terorisme. Dalam menjalankan fungsi dan peran, Densus 88 dintuntut memperhatikan dan menjungjung tinggi HAM.
Walhasil, Densus 88 Antiteror masih dibutuhkan. Mereka unjung tombak dalam menghadapi ancaman bahaya terorisme di tanah air.Terorisme yang menjadi musuh penduduk dunia itu harus dilawan secara bersama. Setiap dari kita harus mengambil peran sesuai fungsnya. Ini juga seyogyanya dijadikan momentum   bagi Densus 88 dan BNPT untuk mengevaluasi diri, agar kedepan lebih baik lagi menjalankan peran dan fungsinya. 
Dimuat di Harian RADAR CIREBON, Rabu, 20 April 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar