Selasa, 05 April 2016

Membangun Budaya Literasi


          Anda mungkin  terkejut membaca sebuah laporan penelitian yang menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi darii Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Penelitian di bidang literasi yang dilakukan oleh  Central Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Hasil penelitian di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa yang  dilhat dan didengar dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), seperti ditulis selasar.com 29-5-2015,  pada tahun 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Kita belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Kita belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis  belum mengakar kuat dalam budaya bangsa kita. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis.
Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat umum), lingkungan terpelajar atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang disebut budaya literasi. Peserta didik belum tertanam kecintaan membaca. Bahkan guru dan dosen, tak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya. Itu bisa dibuktikan dengan  minimnya jumlah buku yang dimiliki mereka. Perpustakaan sekolah yang tak terawat dapat menjadi saksi bisu betapa civitas akademika itu jauh dari  budaya literasi.  Sebab itu, di awal tahun pelajaran 2015-2016 yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan  telah mengeluarkan peraturan menteri (Permen), yang mewajibkan para siswa membaca buku 10 menit sebelum jam belajar dimulai.
Taufiq Ismail pernah melakukan penelitian. Pada tahun 1996 menemukan perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia 0 buku. Ini tentu memperhatinkan.
          Apa budaya litersai itu?  Budaya  seperti disebutkan wikipedia.org diartikan sebagai sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan literasi dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan menulis dan membaca masyarakat dalam suatu Negara.
Latar belakang
          Kenapa kita belum terbiasa membaca menulis? Secara umum, berikut yang melatarbelakangi. Latar belakang ini dipahami sebagai sebuah kondisi yang ada dalam masyarakat. Pertama, kesadaran yang sangat rendah  tentang pentingnya membaca. Mereka beranggapan membaca hanya menghabiskan waktu. Membaca tak mendatangkan manfaat atau keuntungan. Lebih baik bekerja, jelas menghasilkan uang. Padahal bekerja apa pun membutuhkan bacaan. Bacaan yang terkait dengan pekerjaan tentunya. Keyakinan seperti itu juga ada di kalangan sebagian pelajar. Mereka membaca hanya saat jelang ujian. Sebab itu bermanfaat untuk mendapat nilai baik dari guru. Mereka tak mau membaca untuk kepentingan yang lain.  
Kedua, harga buku mahal, minim perpustakaan. Harga buku yang sangat mahal membuat tak banyak orang mampu membeli buku. Lebih dari itu, membeli buku tidak dianggap sebagai kebutuhan. Apalagi bila hal itu dibandingkan dengan kebutuhan pokok. Jelas, buku akan dikesampingkan. Membeli buku hanya saat kuliah, itu pun tidak semua mahasiswa melakukannya. Hanya sebagian kecil, mereka yang mampu dan gemar membaca. Kalau untuk siswa (Pelajar SD, SLTP,SLTA), mereka hanya mengandal buku paket.
Perpustakaan juga sedikit. Setiap kabupaten/kota hanya satu perpustakaan daerah. Tidak semua sekolah memiliki. Perpustakaan yang ada tidak terkelola secara baik. Stok buku terbatas, membuat perpustakaan sepi pengunjung.
          Ketiga, penghargaan sangat minim terhadap karya tulis. Menulis tidak memperoleh apa-apa selain membuang waktu dan energi. Persepsi khalayak seperti itu bukan tanpa aslasan. Sebab dari munulis, secara materi apa yang diperoleh tak sebanding dengan keringat yang keluar. Itu gambaran keadaan dunia tulis menulis di negeri ini. Tidak ada penghargaan yang setimpal untuk para penulis.  Bangsa kita belum bisa menghargai karya ilmiah seperti menulis. Maka tak heran jika sedikit orang yang bercita-cita menjadi penulis. Hanya mereka yang memiliki idealisme tinggi yang mau menulis.
Solusi
          Untuk membangun budaya literasi, menurut hemat saya, beberapa langkah bisa dilakukan oleh kita semua. Pertama, menumbuhkan minat baca sedini mungkin. Minat membaca diimulai dari keluarga. Orang tua wajib mendorong putra-putrinya untuk membaca banyak buku. Tak cukup itu, mereka seyogyanya memberi contoh. Mereka kudu  terlebih dahulu membiasakan membaca. Mereka dapat menciptakan lingkungan yang mendukung menumbuhkan minat baca seperti ruang baca dengan buku bacaan. Sebab itu, membeli buku dijadikan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dalam setiap bulannya. Menyisihkan uang bulanan untuk tujuan di atas menjadi pilihan orang tua bijak dalam  membangun budaya literasi.
          Kemudian, sekolah memiliki peran penting. Di sekolah, anak-anak kudu dibiasakan membaca. Guru memberi teladan. Mereka menanmkan kepada peserta didik kecintaan terhadap buku. Perpustakaan sekolah (diupayakan ada) sepantasnya dikelola dengan baik. Sehingga perpustakaan sekolah menjadi menarik untuk dikunjungi.
          Di sekolah, budaya tulis menulis dimulai. Peserta didik diajari menulis. Dalam setiap pembelajaran, guru dapat menyisipkan kegiatan menulis atau mengarang. Osis dilatih mengelola majalah dingding. Lebih jauh, pelajar SLTP atau SLTA dapat dipacuh untuk menerbitkan buletin, jurnal  atau lain.
          Kedua, subsidi buku. Di beberapa negara maju, pemebelian buku memperoleh subsidi dari pemerintah. Seabagai nagara berkembang yang mengejar ketertinggalan di berbagai sektor, tak salah bila Pemerintah Indonesia mengusahakan hal tersebut. Subsidi akan membantu masyarakat dalam memiliki serta membaca buku. Ini terlihat mustahil. Tapi selagi ada usaha dari semua pihak, saya  yakin tidak ada yang mustahil.
          Ketiga mengoptimalkan peran perpustakaan daerah. Keberadaan perpustakaan daerah selama ini belum menunjukkan perannya dalam masyarakat. Keberadaanya antara ada dan tiada. Ini terkait dengan pengelolaan dan pelayanan belum maksimal. Koleksi buku perlu ditambah. Perpustakaan daerah diupayakan membuat terobosan dengan kegiatan menarik seperti lomba menulis, lomba baca puisi, atau lainnya. Saya juga melihat sosialisasi masih kurang.
Ke depan perpustakaan daerah diminta menjadi lokomotif  minat baca masyaraat. Ini  sebuah tantangan berat sekaligus tanggung jawab  dalam upaya menamkan budaya membaca dan menulis. Kemudian, rasanya tidak rasional bila satu daerah hanya satu perpustakaan. Sebab itu, perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk membangun perpustakaan umum di setiap kecamatan atau desa. Ini semata-mata untuk mendekatkan bacaan ke masyarakat. Hal itu bukankah lebih bermanfaat daripada membangun perpustakaan mega DPR? Paling tidak bisa mendatangkan manfaat lebih luas.
          Keempat, menghargai karya tulis. Bangsa ini musti belajar mennghargai karya orang lain. Dan karya tulis sepatutnya memperoleh tempat khusus, melebihi karya lain. Pemerintah dituntut memilki perhatian khusus pada para penulis. Pemerintah harus mendorong kegiatan penulisan juga penelitian.
          Akhir kata, budaya literasi bangsa kita harus bangkit. Kita tak boleh terpuruk. Bangun budaya membaca dan menulis dari keluarga. Kemudian sekolah seyogyanya mengambil peran penting menyiapakan generasi gemar baca dan menulis. Tak tertinggal, pemerintah harus sudah mulai berhitung, kapan bisa mensubsidi  buku untuk rakyat.  Wa Allahu Alam  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar