Minggu, 13 Desember 2015

Memahami Kemarahan Jokowi


         

          Beberapa hari lalu rakyat telah menyaksikan akrobatik politik tingkat tinggi di gedung DPR RI. Sidang etik MKD yang menjadi sorotan tajam publik maenjadi bukti betapa kuatnya Setya Novanto (SN). Terlihat dengan kasat mata, betapa SN tidak saja menguasai anggota dewan (baik KMP atau KIH), bahkan sekretariat Dewan pun berada di tangannya. Pengawalan ekstra ketat dilakukan oleh pengawalan dalam DPR saat SN masuk dan keluar ruangan. Sidang etik dengan teradu, SN yang diharapkan publik dilakukan terbuka diputuskan tertutup. Wakil ketua MKD, Junimart Girsang mengatakan, sidang digelar tertutup kaarena permintaan teradu. Rakyat kembali dikecewakan. Kekecewaan dan kemarahan rakyat bisa diamati dari ungkapan para tokoh nasional seperti Syafii Marif, mantan ketua Muhammadiyah, Gus Solah, pengasuh Pesantren Buntet Jombang, juga Romo Benny Susetyo,
          Apa yang dirasakan rakyat ternyata dialami juga oleh Presiden Jokowi. Kekecewaan dan kemarahan Jokowi terlihat jelas saat diwawancarai oleh awak media di istana. Presiden mengatakan, proses yang berjalan di MKD harus kita hormati, tetapi tidak boleh yang namanya lembaga negara itu dipermainkan. Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa lembaga negara lain. Saya ngga apa dikatakan presiden gila, presiden saraf, presiden koppig, nga apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut, meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Ngak bisa. Ini masalah kepatutan, masalah kepantasan, masalah etika, masalah morlitas. Dan itu masalah wibawa negara. (http://news.detik.com/)
          Ungkapan dan kata-kata Presiden menunjukkan kemarahan besar dan kekecewaannya terhadap proses yang berjalan di MKD terakhir. Sebuah proses persidangan etik yang mengabaikan logika sehat dan hati nurani.  Yakni persidangan yang hanya sandiwara, dagelan politik, yang memperjelas pengkianatan dan kemunafikan sebagian besar anggota MKD.
          Baru kali ini, kita semua menyaksikan Pak Jokowi marah. Presiden selama ini dikenal sangat sabar. Sejak menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI hingga Presiden RI, segala hianaan, cacian, fitnah ditanggapinya dengan jiwa besar. Beliau hanya mengatakan ora popo. Ungkapan itu sangat dikenal oleh masyarakat, menggambarkan kesabaran beliau selama ini.
          Banyak kalangan menilai kemarahan Presiden sebagai hal yang wajar. Karena sebelumnya Presiden sudah menegaskan agar proses sidang etik tidak diintervensi. MKD diminta independen, berlaku adil. Melihat persidangan terakhir, saat MKD mengadili SN sungguh jauh dari keadilan. Ukuran yang paling sederhana dapat bisa dilihat dari bagaimana MKD memperlakukan berbeda antara Sudirman Said, Ma’ruf Syamsuddin dan SN. MKD sangat mengistimewakan teradu, SN. Semua keinginan SN dikabulkan. MKD telah mengundurukan jadwal pemeriksaan dari puku 09.00 sampai pukul 13.30, menyatakan sidang tertutup, tidak ada tanya jawab terkait rekaman. Semuanya permintaan SN. MKD tidak bernyali sama sekali. SN diperiksa tidak kurang dari 3 jam. Sedangkan Sudirman Said diperiksa selama 7 jam lebih, Syamsuddin Ma’ruf 12 jam lebih. Sebuah diskriminasi yang mencolok mata.
          Kemarahan Presiden Jokowi juga sangat manusiawi. Kesabaran tentu ada batasnya. Tidak mungkin seorang akan berdiam diri saat harkat dan martabatnya diinjak-injak, terlebih Jokowi sebagai Presiden. Kemarahan Jokowi bukan hanya representasi dirinya, tapi lebih dari itu. Mungkinkah seorang warga negara (apalagi presiden) berdiam diri ketika presiden sebagai simbul negara diinjak-injak harkat dan martabatnya? Kaitan dengan ini, Jaksa Agung, mengatakan mencatut nama Presiden sama saja dengan merusak wibawa negara. Wajar dan manusiawi Presiden marah. Tapi, penyelidikan  yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung atas kasus papa minta saham itu bukan karena kemarahan Presiden. Kejagung sudah melakukannya sebelum beliau marah. Kejagung melihat, menyaksikan dari pemberitaan media, ada dugaan pemufakatan jahat yang telah dilakukan oleh SN dan Reza Chalid. Jadi, kasus ini bukan delik aduan, juga bukan delik perintah.(http://www.jaringnews.com/)
Bagaimana memahaminya?
          Menurut hemat saya, kemarahan Jokowi harus dipahami sebagai berikut: pertama, kemarahan Jokowi menjadi peringatan keras buat semua, terutama bagi para politisi. Jangan mempermainkan lembaga negara, apalagi menginjak harkat dan martabatnya. Seperti yang ditegaskan Jimly Asshiddiqy, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).  permasalahan ini menjadi pertaruhan bangsa. Jimly meminta agar Jokowi dan publik bersabar menanti keputusan MKD.  Keseriusan MKD akan terlihat dari keputusannya. (http://news.liputan6.com/)
          Kedua, mengisyaratkan perintah kepada penegak hukum untuk segera bertindak dan melangkah lebih cepat dan serius terkait kasus ini. Selama ini, Kejagung sedang melakukan penyelidikan, KPK masih memperlajari,  sedang Polri menunggu aduan. Presiden sebenarnya bisa saja langsung melapor ke Kepolisian. Itu tidak dilakukan untuk menghindari konfrontaasi langsung dengan Ketua DPR. Jokowi memilih  menyelesaikannya lewat jalur politik terlebih dahulu. Atau bisa jadi karena faktor kesibukan dan padatnya jadwal dan agenda kegiatan Presiden seperti yang ditegaskan oleh Menkopolhukam, Luhut Binsar Panjaitan. Dan kabar terakhir, Jokowi meminta ke Polri untuk mencari jejak Reza Chalid.
          Ketiga, sebagai pembelajaran bahwa  ke depan kita semua harus menjaga simbol-simbol negara seperti Presiden,  Wakil Presiden, lembaga tinggi negara, bendera, lagu kebangsaan dan lainnya.
          Keempat, harusnya dijadikan bahan intropeksi diri oleh Ketua DPR, Setya Novanto. Sebagai manusia yang diberi oleh Tuhan akal sehat dan hati nurani, SN mustinya melakukan intropeksi diri. Sebab logika yang digunakan untuk melakukan perlawanan, bantahan terhadap aduan Sudirman Said terkait kasus pelanggaran etik jelas berlawanan dengan akal sehat dan hati nurani. Salah satu contoh, SN berlogika bahwa perekaman yang dilakukan Ma’riuf Syamsuddin adalah ilegal karena tidak minta izin kepada pihak yang terekam. Ini logika yang mengada-ada.  SN harusnya sadar, di rumahnya yang super megah itu pasti ada CCTV.  CCTV itu merekam setiap orang yang mendekat, masuk rumah. Apa itu ilegal? Dalam rekaman yang diputar di sidang MKD sebelumnya, sangat jelas peran aktif yang bersangkutan dalam upaya lobi, meminta saham dan mencatut nama Presiden.
          Akhir kata, kemarahan Jokowi harus dapat dipahami oleh kita semua. Kemarahan beliau mengisyaratkan betapa seriusnya permasalahan pencatutan nama Presiden. Karenanya jangan dipermainkan. Harkat dan martabat lembaga tinggi dan simbol negara harus dijaga, jangan dicemari apalagi diinjak-injak.  Pesan ini harus bisa diambil oleh anggota MKD, elit politik. Jangan jual harga diri bangsa dan negara hanya untuk mellindungi kepentingan pribadi atau kelompok. Wa Allahu Alam
Penulis adalah alumni IAIN Walisongo Semarang, tinggal di Indramayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar